Cari Blog Ini

Tantangan misi perdamaian United Nations Interim Force In Lebanon (UNIFIL) di Lebanon Selatan 2006-2011



I. Pernyataan Masalah
Sebuah tembakan roket dari Lebanon kembali menghantam Israel Pada 29 November 2011. Tembakan ini memicu militer Israel melakukan tembakan balasan dan meningkatkan ketegangan baru di perbatasan Israel-Lebanon. Media Israel melaporkan bahwa total empat roket Katyusha menghantam wilayah tersebut, termasuk satu yang menghantam tanki gas dan menyebabkan kebakaran. Seorang juru bicara militer Lebanon mengatakan paling sedikit satu roket ditembakkan dari wilayah Rumaysh dan paling sedikit empat roket Israel ditembakkan sebagai balasan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan dan mendesak pengekangan maksimal untuk mencegah eskalasi. Melalui misi perdamaian atau Peacekeeping Operation (PKO) United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL), PBB mendeteksi tembakan paling sedikit satu roket ke Israel segera sesudah tengah malam dari wilayah Rumaysh di Lebanon selatan. Komandan UNIFIL Mayor Jenderal Alberto Asarta Cuevas mengatakan serangan itu jelas dimaksudkan untuk merongrong stabilitas di wilayah itu.
Saling tembak terakhir sepanjang perbatasan Israel-Lebanon yang selalu tegang terjadi pada 1 Agustus 2011. Ketika pasukan dari kedua negara melakukan penembakan sepanjang Blue Line, perbatasan yang ditarik PBB. Insiden tersebut muncul hampir satu tahun setelah pasukan Israel dan Lebanon saling membalas tembakan sepanjang perbatasan yang sama, menewaskan dua tentara Lebanon dan seorang wartawan bersama dengan seorang perwira senior Israel.
Pada Mei 2011, ketegangan sekali lagi berkobar. Saat itu pengunjuk rasa memenuhi perbatasan antara kedua negara untuk menandai ulang tahun pembentukan negara Yahudi pada 1948, yang Palestina istilahkan dengan "nakba" atau bencana. Pasukan Israel menewaskan 10 orang dan melukai lebih dari 110 orang lainnya ketika para pengunjuk rasa itu mencoba membanjiri melintasi perbatasan dari Lebanon.
Bukti tetap tegangnya perbatasan Israel-Lebanon adalah telah berulang kali tembakan roket dari Lebanon menghantam Israel sejak perang Lebanon kedua pada 2006. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pernah mengeluarkan pernyataan melalui juru bicaranya yang mengutuk serangan-serangan roket ini. Dia mengatakan UNIFIL sedang menyelidiki keadaan kejadian dalam kerjasama yang erat dengan Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF). Ada sekitar 30.000 roket di Lebanon selatan, semua di bawah kendali militan Hizbullah.
Ketegangan perbatasan Israel-Lebanon telah berlangsung lama sejak bermula Perang Sipil Lebanon 1975-1990. Sejarah Lebanon sejak kemerdekaan telah ditandai oleh periode kemakmuran diselingi kekacauan politik pada posisi Beirut sebagai pusat regional keuangan dan perdagangan Lebanon. Pada tahun 1958 pemberontakan pecah dan pasukan AS dikirim ke Lebanon dalam menanggapi situasi ini. Selama tahun 1960, Beirut fokus pada pariwisata dan sektor perbankan berbasis kemakmuran sedangkan daerah lain di negara itu terutama Selatan, Utara dan Lembah Bekaa, tetap miskin dibandingkan Beirut, dari sini akar perang sipil berawal.
Pada awal 1970-an, perbedaan muncul sebagai pertanda perang sipil lebanon. Bermula dengan kehadiran pengungsi Palestina, banyak dari mereka tiba setelah perang Arab-Israel 1967 dan Black September 1970 di Yordania, ditambah dengan Yasser Arafat dan Palestine Liberation Organization (PLO) serta terjadi perdebatan masalah Palestina, perbedaan Islam dan Kristen tumbuh lebih intens. Lebanon saat itu terbagi antara Lebanon selatan dan barat Beirut menjadi basis bagi PLO dan milisi Muslim serta Lebanon Timur dan pegunungan Lebanon menjadi basis Kristen. Garis konfrontasi utama di Beirut dikenal sebagai Jalur Hijau.
Pada tanggal 11 Maret 1978, sebelas tentara PLO dari Lebanon mendarat di sebuah pantai di utara Israel dan membajak dua bus penuh penumpang di Haifa menuju Tel-Aviv. Mereka membunuh 37 warga Israel dan melukai 76 warga Israel. Akhirnya 16 Maret 1978 Israel menginvasi Lebanon selama empat hari yang dikenal Operasi Litani, tentara Israel menduduki sebagian besar wilayah selatan Sungai Litani.
Pada tanggal 19 Maret 1978, tiga hari setelah invasi pertama Israel terhadap Lebanon mencapai Sungai Litani, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengeluarkan Resolusi 425. Melalui resolusi ini PBB menyerukan tiga perintah pada Israel, pertama, segera menghentikan tindakan militer, kedua, menarik segera pasukannya dari semua wilayah Lebanon dan ketiga, memutuskan pembentukan pasukan interim di Lebanon selatan dengan tujuan mengkonfirmasi penarikan pasukan Israel, memulihkan perdamaian dan keamanan internasional serta membantu Pemerintah Lebanon dalam menjamin kembalinya otoritas efektif pemerintah Lebanon di daerah tersebut. Dengan mandat enam bulan, UNIFIL berdiri sejak 23 Maret 1978.
Di bawah tekanan Amerika Serikat (AS), Israel menarik mundur pasukannya dari Lebanon pada Oktober 1978 tetapi tetap mempertahankan kontrol dari wilayah selatan dengan mengelola 12 mil / 19 km lebar zona keamanan di sepanjang perbatasan. Posisi ini dipegang oleh sekutu Israel, South Lebanon Army (SLA), sebuah milisi Kristen di bawah pimpinan Mayor Saad Haddad. Israel memasok SLA dengan senjata, sumber daya dan penempatan penasihat untuk membantu milisi. Sebagai Akibatnya, mandat UNIFIL di bawah DK PBB Resolusi 425 berulang kali diperbaharui dan diperpanjang.
Keberadaan UNIFIL belum mampu menghentikan ketegangan perbatasan Israel-Lebanon. Diawali invasi kedua Lebanon pada bulan Juni 1982, meskipun Israel akhirnya mundur dari wilayah Beirut. Setelah menyelesaikan penarikan bertahap pada bulan Juni 1985, Israel mempertahankan 10 - 20 km sabuk keamanan di sepanjang perbatasan milik Lebanon. Pada bulan Mei 2000, Israel menarik diri dari Lebanon selatan seluruhnya karena SLA dibubarkan, tetapi UNIFIL tetap bertugas karena mandatnya belum sepenuhnya terpenuhi. Pada bulan Juli 2006, Israel memblokade laut Lebanon dan Hizbullah menculik tentara Israel, hal ini berlanjut dengan serangan roket dari militan Hizbullah dan memicu perang Lebanon Kedua selama 34 hari.
Pada 11 Agustus 2006 DK PBB mengeluarkan resolusi 1701 tahun 2006 demi mengakhiri ketegangan perbatasan. PBB Menyatakan keprihatinan maksimal pada peningkatan permusuhan di Israel-Lebanon sejak serangan Hizbullah terhadap Israel pada tanggal 12 Juli 2006. PBB Menekankan kebutuhan untuk mengakhiri kekerasan, tetapi pada saat yang sama menekankan kebutuhan untuk mengatasi segera penyebab yang telah menimbulkan krisis saat ini, termasuk dengan pembebasan tanpa syarat tentara yang diculik Israel.
Dengan resolusi 1701 tahun 2006, DK PBB secara signifikan meningkatkan fungsi UNIFIL dan memperluas mandat awalnya menjadi :
1) Monitor penghentian permusuhan
2) Mendampingi dan mendukung Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF)
3) Mengkoordinasikan kegiatan dengan Pemerintah Lebanon dan Israel
4) Memberikan bantuan untuk membantu dan memastikan akses kemanusiaan ke penduduk sipil, pemulangan sukarela dan aman bagi pengungsi
5) Membantu LAF dalam mengambil langkah-langkah menuju pembentukan Blue Line dan Sungai Litani yang bebas
6) Membantu Pemerintah Lebanon dalam mengamankan perbatasannya dan titik-titik masuk lainnya
Ukuran keberhasilan suatu PKO dapat dilihat dari kondisi negara yang tengah dilanda konflik. Kehadiran PKO seharusnya dapat mencegah terjadinya kembali konflik. Oleh karena itu, dimensi post conflict peace building perlu dipertimbangkan sejak awal penggelaran PKO. Dalam hal ini, peranan Peacebuilding Commission (PBC) dalam menyusun mandat dari suatu misi perdamaian dapat lebih ditingkatkan . Ukuran itu ternyata tidak tampak di perbatasan Israel-Lebanon walaupun UNIFIL telah berdiri sejak 23 Maret 1978 perang telah terjadi berulang kali pada tahun 1978, 1982 dan 2006. Penempatan kurang lebih 12.081 (dua belas ribu delapan puluh satu) peacekeeper UNIFIL saat ini (Desember 2011) hanya memiliki peranan yang terbatas di perbatasan Israel-Lebanon.
Dalam proposal ini penulis akan membahas kendala-kendala mewujudkan perdamaian perbatasan Israel-Lebanon melalui UNIFIL. Hal ini terlihat dengan alasan-alasan berikut yaitu, bekelanjutannya peluncuran-peluncuran roket sepanjang perbatasan Israel-Lebanon, terjadinya penambahan peacekeepers dan bergantinya mandat-mandat yang dibebankan kepada UNIFIL. Hingga Desember 2011 roket masih saling menghantam, peacekeeper masih ditambahkan. DK PBB masih memperpanjang mandat melalui Resolusi 2004 sebagai pengganti Resolusi 1704 di Lebanon sepanjang 12 bulan hingga 20 Agustus 2012 sebagai bukti terjadinya kendala-kendala.

II. Pertanyaan Penelitian
Dengan melihat pemaparan di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) yang diajukan oleh penulis adalah:
• Bagaimanakah kendala-kendala perdamaian perbatasan Israel-Lebanon melalui UNIFIL 2006-2011 !

III. Tinjaun Pustaka
Tinjauan pustaka dalam skripsi ini mengacu kepada versi terbaru yang penulis temukan mengenai pembahasan penelitian yang memiliki kesamaan dari peneliti yang lain. Dalam skripsi ini objek PKO UNIFIL merupakan objek yang baru dan berbeda dari penelitian sebelumnya yang membahas PKO UNAMID, meskipun penulis akui pembahasan kemudian terdapat persamaan dan perbedaan dalam penelitiannya.
Adapun skripsi yang membahas kendala-kendala PKO tersebut telah dibahas oleh Fierda Milasari Rahmawati, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Program Studi Hubungan Internasional, Jakarta, 2010. Fierda mengambil judul skripsi “Peacekeeping Operation PBB Pada Konflik Darfur Tahun 2004-2008”.
Pertanyaan yang diajukan Fierda adalah Kendala-kendala apa saja yang ditemui pada PKO PBB di konflik Darfur. Pertanyaan ini dijawab dengan Konsep Peacekeeping dalam paham Westphalian, Konsep wider peacekeeping dan Konsep intervensi pihak ketiga yang dikemukakan oleh Patrick M. Regan.
Kesimpulan yang didapat dari skripsi tersebut ialah misi-misi perdamaian yang dilakukan melalui intervensi pihak ketiga, terutama oleh DK PBB, tidak berhasil menjaga stabilitas dan menciptakan perdamaian karena pengaruh mandat DK PBB, pembiayaan untuk PKO, kurangnya itikad baik dari pemerintah Sudan untuk membantu pasukan PBB dalam menyudahi konflik Darfur dan besar-kecilnya dukungan dan kontribusi yang diberikan oleh organisasi lain, negara-negara anggota PBB maupun aktor lainnya.
Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi Fierda dapat dilihat dari berbedanya objek PKO yang diteliti. Penulis dengan meniliti UNIFIL akan mengalami kendala berbeda dengan yang dihadapi UNAMID (United Nations African Union Mission in Darfur). Penulis juga akan menekankan pada bagaimana resolusi konflik pasca perang, hal ini merupakan hal yang kurang difokuskan oleh Fierda.




IV. Kerangka Pemikiran
Untuk menjelaskan masalah yang ada, maka penulis akan menggunakan pendekatan Pendekatan Resolusi Konflik dan pendekatan Wider Peacekeeping. Berdasarkan pendekatan-pendekatan ini diharapkan dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk menjelaskan permasalahan yang ada.
A. Pendekatan Resolusi Konflik
Studi tentang resolusi konflik muncul ketika era perang dingin. Studi ini berkembang pada sekitar tahun 1950-an pada saat pengembangan senjata nuklir dan konflik antara Negara super power yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat internasional. Beberapa dari grup akademisi melihat bahwa studi konflik merupakan sebuah fenomena umum yang dapat terjadi di kondisi Negara-negara anarki, yang saling berkompetisi baik dalam politik domestik sebuah Negara, hubungan politik internasional antar Negara, maupun konflik antar individu. Mereka berpendapat dalam menyelesaikan konflik itu dibutuhkan adanya resolusi konflik sebagai bentuk mediasi dari konflik tersebut .
Dalam menjelaskan resolusi konflik Israel-Lebanon 2006, penulis akan menggunakan analisa konflik multi disipliner Johan Galtung. Ilmuwan studi konflik dari Skandinavia ini memanfaatkan pendekatan multidisipliner yang dalam hal ini berarti pendekatan analisis konflik tidak hanya berpijak pada satu metodologi dan teori, tetapi merupakan campuran dari disiplin psikologi, hubungan internasional dan ekonomi.
Salah satu sumbangan sosiologi konflik Galtung ialah memperlihatkan berbagai individu, kelompok dan organisasi yang membawa angka kepentingannya masing-masing. Kepentingan bisa berwujud dalam bentuk ekonomis maupun politis. Dua kelompok sosial dengan kepentingan ekonomis dalam satu lingkungan yang sama, misalnya dua kelompok pedagang di pasar, masing-masing menciptakan persepsi terhadap kepentingan kelompok luarnya. Proses ini akan membawa pada bentuk perilaku-perilaku tertentu yang menciptakan kontradiksi dan situasi ketegangan.
Johan Galtung menggunakan segitiga konflik Galtung sebagai bukti multidisiplinernya. Johan Galtung meneliti dengan tiga segitiga konflik yang terdiri dari tiga model segitiga galtung. Segitiga pertama yaitu mengenai awal mula konflik (kontradiksi, attitude dan behavior), segitiga kedua mengenai resolusi konflik (peace building, peace making dan Peacekeeping) dan segitiga ketiga mengenai tipe kekerasan (kekerasan terstuktur, kekerasan yang membudaya dan kekerasan langsung) .
Berhubung dalam penelitian ini akan membahas resolusi konflik maka berikut hanya penulis paparkan segitiga konflik Galtung mengenai proses resolusi konflik yang terdiri dari :
1) Peacekeeping, yaitu sebuah model proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.
2) Peacemaking, yaitu proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan.
3) Peacebuilding, yaitu proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative peace (the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.
Berdasarkan hukum internasional, penyelesaian sengketa (dispute settlement) merupakan tema penting yang tidak dapat diabaikan. Disatu pihak, penyelesaian persengketaan dapat memperlihatkan bukti efektifitas penerapan hukum internasional dan diihak lain juga dapat memperlihatkan peran PBB sebagai salah satu institusi yang autoritatif dalam mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia. Sebagaimana dinyatakan dalam piagam PBB pasal 1 (1) semua upaya penyelesaian pertikaian damai merupakan cermin prinsip utama hukum internasional .
Namun dalam hukum internasional tidak dinyatakan secara jelas tentang cara atau metode apa yang disebut sebagai cara-cara yang damai. Cara-cara penyelesaian damai hanya didasarkan semata-mata persetujuan dari kesemua pihak secara sukarela. Sebagai implikasinya, dalam hukum internasional terdapat berbagai cara yang tersedia untuk mengakomodasi keinginan dari negara-negara sekaligus sebagai bentuk fleksibilitas dari hukum internasional, termasuk hingga penyelesaian sengketa dengan menggunakan kekerasan dalam hukum internasional, seperti operasi Peacekeeping .
Menurut John T. Rourke dalam ‘International politics in the world stage’, misi perdamaian melalui organisasi internasional bukanlah ide baru. Immanuel Kant pada dua abad yang lalu telah merumuskan Idea for a Universal History from Cosmopolitan Point Of View (1784), Kant berpendapat, “Melalui perang, melalui pajak dan akumulasi pelucutan senjata yang tak pernah berhenti, setelah kehancuran, revolusi dan bahkan kelelahan yang lengkap”, kemudian Kant memprediksi hakikat manusia menggiring masyarakat lain “dengan alasan yang bias mengatakan kepada mereka di awal yakni setiap masyarakat harus melangkah dari kondisi tanpa hukum yang liar kepada liga bangsa-bangsa demi mengamankan perdamaian”.
Ide ini telah berevolusi pada penggunaan PKO dalam struktur internasional oleh Concert of Europe, Liga bangsa-bangsa, North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan PBB. Poin yang penting yang akan dibahas penulis ialah PBB sebagai organisasi global. PKO telah terbukti menjadi salah satu alat yang paling efektif yang tersedia di dunia untuk membantu negara tuan rumah menavigasi jalan yang sulit dari konflik ke perdamaian .
B. Wider Peacekeeping
Terdapat beberapa definisi Peacekeeping yang salah satunya diberikan oleh International Peace Academy. International Peace Academy mendefinisian peacekeeping sebagai pencegahan, penahanan, pemoderasian dan penghentian permusuhan antara negara atau dalam negara, melalui media intervensi pihak ketiga secara terorganisir, damai dan diarahkan secara internal, dengan menggunakan pasukan tentara multinasional, polisi dan warga sipil untuk memulihkan dan menjaga perdamaian .
Peacekeeping dalam paham Westphalian gerakanya terbatas hanya untuk menjamin adanya kesepakatan damai dalam suatu konflik dan mengatur hubungan antar Negara dan tetap mendukung otonomi dan sovereignity. Paham post-Westphalian lebih menekankan pada pencapaian kata perdamaian melalui cara-cara demokratis-liberal dan meluasnya bidang cakupan yang dimiliki oleh suatu tindakan peacekeeping.
Konsep peacekeeping selanjutnya berkembang menjadi wider peacekeeping yang memiliki beberapa sebutan lain sesuai karakter operasinya. Wider peacekeeping kadang dikenal Second Generation Peacekeeping yakni perpanjangan dan perluasan dari traditional peacekeeping dengan mengikut sertakan tujuan-tujuan lain seperti humanitarian. Wider peacekeeping kadang dikenal juga Chapter Six And A Half Peacekeeping, hal ini merujuk posisinya dipandang berada diantara Bab VI dari piagam PBB, yang merupakan metode tradisional PBB dalam menyelesaikan konflik melalui cara-cara damai (peaceful settlement of dispute), antara lain melalui negosiasi dan mediasi, namun pula antara metode penggunaan kekuatan secara paksa (force enforcement) sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Bab VII dari piagam PBB. Terakhir Wider peacekeeping kadang dikenal pula Peacekeeping by Proxy atau Strategic Peacekeeping, keduanya menekankan jarak dan tuntutan ditempatkan peacekeeper dan sarana yang tersedia untuk mereka .
Terdapat enam karakteristik dari Wider peacekeeping yakni :
1) Wider peacekeeping terjadi dalam konteks kekerasan yang sedang berlangsung.
2) Wider peacekeeping terjadi dalam konteks new wars dibanding konflik tradisional antar Negara
3) Wider peacekeeping memiliki peacekeepers yang terlibat lebih luas dalam tugas penjaga perdamaian
4) Wider peacekeeping menyaksikan pertumbuhan dari komunitas kemanusiaan dalam kordinat aktivitasnya demi koherensi dan kontribusi mereka bagi PKO
5) Wider peacekeeping memiliki beberapa perubahan mandat
6) Wider peacekeeping memiliki jurang yang signifikan dalam masalah peralatan

V. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif adalah menafsirkan suatu penelitian seperti asumsi / dugaan, nilai dan pendapat dari peneliti sehingga menjadi jelas dalam hasil akhir suatu penelitian. Pada dasarnya, penelitian dengan pendekatan kualitatif biasanya bersifat induktif, dimulai dari permasalahan atas fenomena yang muncul, kemudian di-implementasikan dengan menggunakan sebuah pendekatan teori HI ataupun kerangka konseptual/pemikiran HI .
Tujuan penelitian ini adalah bentuk penelitian deskriptif. Penulis mencoba menggambarkan bagaimana kendala-kendala mewujudkan perdamaian perbatasan Israel-Lebanon melalui UNIFIL 2006-2011 menggunakan sudut pandang dalam satu pendekatan maupun konsep teori HI.
Menurut Creswell terdapat tiga langkah dalam mengumpulkan data penelitian. Pertama, adanya pengaturan tentang pembatasan dalam pembahasan suatu masalah penelitian. Kedua, mengumpulkan informasi dengan melakukan pengamatan, wawancara, pengumpulan dokumen-dokumen dan bahan visual. Ketiga, membuat suatu protokol untuk mencatat atau merekam setiap informasi .
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi terhadap data-data dari sumber dengan menggunakan berbagai sumber kepustakaan seperti buku, jurnal, hasil penelitian, dokumen-dokumen, dll. Oleh karena itu, penelitian akan menggunakan data sekunder sebagai data utama. Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan data-data dari situs-situs internet (website) yang dianggap otoritatif dan relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

VI. Sistematika Penulisan
BAB I : Pernyataan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II : Konflik Israel-Lebanon, Riwayat Singkat Konflik, Sengketa Wilayah di Lebanon, langkah-langkah yang diambil Dewan Keamanan PBB dan UNIFIL.

BAB III : Resolusi Konflik pasca perang 2006, PKO UNIFIL dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan jalannya suatu operasi perdamaian.

BAB V : Penutup dan kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA
• John T. Rourke, “international politics on the world stage”, NYC: Mc Graw Hill, 2004.
• Bellamy, Alex J., Paul Williams, Stuart Griffin, Understanding Peacekeeping, Cambridge: Polity Press, 2010.
• Creswell, J. W. Qualitatif Inquiry and Research Design. California : Sage Publications.
• Oliver Rambotsham, at.al, “Conflict Resolution, Second Edition”, Cambridge: Polity Press, 2005.
• Novri Susan M.A, “Sosiologi Konflik & Isu-isu konflik kontemporer”, Jakarta: Kencana press, 2009.
• Jawahir Thotowi, Pranoto Iskandar, “Hukum Internasional Kontemporer”, Bandung : Refika Aditama, 2006.
• “Mr. UNIFIL” Reflects on a Quarter Century of Peacekeeping in South Lebanon, Author(s): Timur Göksel. California : Journal of Palestine Studies, Vol. 36, No. 3 (Spring 2007).
• The Future of Lebanon, Author(s): Paul Salem. NYC : Foreign Affairs, Vol. 85, No. 6 (Nov. - Dec., 2006).
• Resolusi PBB 1701 tahun 2006, file pdf diunduh dari http://www.un.org/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/RES/1701(2006),
• http://www.antaranews.com/berita/286993/roket-asal-lebanon-hantam-israel-picu-ketegangan
• http://edition.cnn.com/2009/WORLD/meast/09/11/israel.lebanon/index.html
• http://www.globalsecurity.org/military/world/war/lebanon.htm
• http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/peacekeeping.shtml

0 komentar:

Posting Komentar