Cari Blog Ini

KENNETH WALTZ, NEO REALISME dan KAJIAN PERANG DINGIN

  1. Pendahuluan


     

Ketika tidak sedikit dugaan barat bahwa antar telapak tangan negara adidaya terdapat "perpetual peace". Namun di penghujung Perang Dingin, argumen-argumen ini pun pergi, terhapus dengan pemikiran bagaiman negara-negara adidaya berinteraksi satu sama lain. Dunia memasuki kesempatan sempit dihiasi usaha menjadi pusat kuasa yang tak henti-hentinya digalang dengan kompetisi keamanan. Mengutip dari John J Mearsheimer dalam Tragedy Of Great Politics (2001), "the end of cold war has brought us to "the end of history".

Perang Dingin adalah sebutan bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (AS) serta sekutu (Blok Barat) dan Union of Soviet Socialist Republic (USSR) serta sekutu (Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1947 - 1991. Persaingan keduanya terjadi di berbagai bidang: koalisi militer, ideologi, psikologi, tilik sandi militer, industri, pengembangan teknologi, pertahanan, perlombaan nuklir dan persenjataan serta banyak lagi. Demikian menurut Wikipedia yang juga menjelaskan ketakutan dunia di masa itu akan perang nuklir dan "the end of history" yang tidak terjadi.

Ketika Realisme gagal menjelaskan mengapa negara-negara yang berbeda atau bahkan bertentangan, secara ideologis ataupun politik tetap berperilaku sama, semisal USSR yang komunis dan AS yang liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer atau mengembangkan pengaruh (sphere of influence), Kenneth Waltz lewat Theory of International Politic (1979) menerangkan kegagalan realisme berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Dalam pemikiran Waltz, aspek penting yang menjadikan perilaku negara serupa terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional.

Dalam pandangan Waltz, teori hubungan internasional (HI) yang terbaik adalah teori sistem kaum neo-realis yang intinya memfokuskan pada struktur sistem. Dalam realisme klasik para pemimpin negara dan penilaian subjektifnya tentang HI merupakan pusat perhatiannya. Dalam neo-realisme, sebaliknya, struktur sistem khususnya distribusi kekuatan relatif, merupakan fokus analitis utama.


 

  1. PENGERTIAN NEO-REALISME


     

Neo-realisme dan realisme klasik adalah bagian dari realisme, neo-realisme dikenal pula dengan realisme struktural seperti dijelaskan Kenneth Waltz lewat Theory of International Politic. Antara neo-realisme dan realisme klasik memiliki persamaan dan perbedaan pemikiran.

Persamaan neo-realisme dan realisme klasik adalah menjadikan negara dan perilaku negara sebagai fokusnya serta berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan. Dalam pemikiran kedua realis ini pula, perilaku negara yang keras dan amoral merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam politik internasional, seperti secara jelas dikutip dari The Globalization of World Politic milik John Baylis dan Steve Smith yang diwakili ekspresi Morgenthau (pemikir realisme klasik) dengan "... fundamentally about struggle for belonging, a struggle that is often violent".

Tetapi neo-realisme dan realisme klasik memiliki perbedaan mengenai mengapa politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan perebutan kekuasaan.

Bagi realis klasik, perebutan kekuasaan
yang berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat manusia. Seperti pemikiran-pemikiran yang dikembangkan Thucydides, Machiavelli dan Hobbes, pemikiran yang melihat hakikat manusia bersifat self-interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain, realis klasik memandang negara akan memiliki karakter yang sama, karena politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti yang sebenarnya.

Adapun bagi neo-realisme, perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara yang bersifat anarkhi.

Dalam sebuah sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan kepentingannya sendiri, yaitu mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Negara tidak bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana seperti yang terutama ialah militer. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekuatan militernya bagi negara lain merupakan sumber ancaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama yang dikenal sebagai security dilemma (dilema keamanan).


 

  1. Pemikiran Utama Neo-realisme


     

Beberapa tokoh utama neo-realisme dengan karyanya antara lain Jean Jaques Roasseu dengan The State Of War (1750), Kenneth Waltz dengan Theory of International Politics (1979) dan John J Mearsheimer dengan Tragedy Of Great Politics (2001).

Jean Jaques Roasseu memiliki ide utama dalam neo-realis bahwa bukanlah hakikat menusia, tetapi sistem yang anarki yang mengembangkan ketakutan, kecemburuan, kecurigaan dan ketidak amanan dalam negara, Kenneth Waltz memiliki ide utama mengenai struktur internasional dan John J Mearsheimer memiliki ide utama mengenai self-help.

Diantara tokoh-tokoh ini, Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dengan perkembangan teoritis studi HI. Karyanya, Theory of International Politics, dianggap sebagai karya paling komprehensif dan elaboratif yang menggambarkan pemikiran dan posisi neo-realism dan juga merupakan upaya eksplanasi yang sangat tinggi terhadap fenomena-fenomena politik internasional.

Pemikiran kunci Kenneth Waltz memiliki tiga karakteristik membahas politik internasional, pertama,
Ordering Principle Of System (prinsip pengorganisasian sistem), menurut Waltz politik internasional memiliki prinsip anarkhis dan berbeda dengan politik domestik yang hirarkhis yang ia tulis "Domestic politic is hierarchically ordered" (Kennetz Waltz, 81), lalu
karakter kedua, the character of units (karakter unit) dan ketiga, the distribution of capabilities (distribusi kapabilitas).

Karakter unit sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan unit-unit dalam sistem (negara), semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, negara-negara tersebut berbeda dalam kapabilitas. Sederhananya, Waltz percaya, semua negara memiliki kesamaan tugas dan fungsi, tetapi tidak dalam kapabilitas untuk menjalankannya.


 

Sebagaimana dijelaskan oleh Tim Dunne dan Brian C Shmidt bahwa :

"Waltz argues that states, especially the Great Powers, have to be sensitive to the capabilities of other states"

"Waltz menganggap bahwa negara-negara, khusunya Negara Negara adidaya, memiliki kesensitifan pada kapabilitas dari negara-negara lain"


 

Kemudian dikutip oleh Robert Jackson dan George Soerensen dari Theory of International Politic, Kenneth Waltz, mengenai keyakinannya pada sistem bipolar dibanding sistem multi polar :

"Hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat di harapkan bertindak untuk memelihara sistem"


 

  1. Perolehan Relatif dan Absolut


     

Joseph grieco (1988) adalah seorang sarjana neo-realis yang fokus mengenai konsep Perolehan Relatif dan Absolut, Grieco mengklaiam bahwa negara memiliki keinginan menambah kuasa (power) dan mengembangkan pengaruh (sphere of influence) dan akan berkerja sama dengan negara lain atau aktor lainnya dalam sistem internasioanal untuk menambah kapabilitasnya.

Ada dua rintangan dalam kerjasama internasional, yakni kecurangan dan perolehan relatif dari aktor lain, sehingga ketika ada kerjasama internasional yang gagal, maka negara lainnya akan membatalkan multilateral yang terjalin dan bertindak unilateral, pemikiran neo-realis ini sangat berbeda dengan neo liberalis yang beranggapan kerjasama internasional tidak akan bekerja karena kecurangan dan kepentingan nasional di tiap-tiap negara.


 

  1. Study Keamanan dan Neo-realis


     

Saat ini, pemikir study kemanan (security studies) di Amerika khususnya, pemikir yang lebih bernuansa Neo-realis memiliki dua versi neo-realis, offensive dan defensive. Offensive neo-realis adalah mereka yang setuju sebagian besar teori neo-realisme Kenneth Waltz dan mengambil beberapa bagian teori realisme klasik, dan defensive realisme bergantung sekali pada pandangan kawan atau lawan untuk sebuah kerjasama antar negara.

John J Mersheimer adalah seorang Offensive neo-realis dalam security studies, bagi offensive neo-realis, kekuasaan yang relatif lebih penting dari pada kekuasaan absolut. Dia mensugesti para kepala negara untuk mempertahankan keamanan politik (security policies) yang melemahkan lawan potensial daripada harus menambah kekuasaan dengan menyerang lawan.

John J Mersheimer menunjukan aksinya pada saat memprotes tindakan George W Bush pada perang Irak (2003), alasannya, tidak ada alasan rasional menyerang Irak lewat isu senjata pemusnah masal dan terorisme dunia, hal ini hanya menguras jutaan uang negara dan akan meningkatkan serangan lawan-lawan pada Amerika di kemudian hari.

Dan para defensive neo-realis berbeda pendapat, Robert Jervis (1999) dan Jack Snyder (1991) misalnya mengklaim ketika kita mampu berdiri pasca ekspansi atau penundukan adalah keuntungan yang sangat besar.


 

  1. PENABUH GENDERANG PERANG DINGIN


     

Siapa penabuh genderang perang dingin (pemicu)? mengenai hal ini Joseph S. Nye, Jr. dalam Understanding International Conflicts (1997), menjelaskan
tiga pilihan pendekatan yakni tradisionalis, revisionis dan postrevisionis.

Tradisionalis (orthodox), beranggapan perang dingin dipicu oleh Stalin dan Union of Soviet Socialist Republics (USSR) yang melakukan diplomasi agresif ketika Amerika Serikat (AS) melakukan diplomasi defensif. Alasannya ada komitmen baik yang membuktikan di akhir peperangan hingga masa kini akan komitmen AS kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menjaga politik internasional.

Revisionis beranggapan perang dingin lebih ditenggarai oleh AS, karena ketika itu dunia tidak benar-benar bipolar namun telah di hegemoni AS. Revisionis terbagi dua kelompok, yakni Soft dan Hard. Menurut Soft Revisionists Presiden Harry S Truman dari AS, memiliki bibit anti Stalin dan ingin mnenjatuhkan namun menurut Hard Revisionists AS dengan kapitalismenya yang memiliki bibit anti komunis USSR.

Dan berbeda lagi dengan postrevisionis, yang menyatakan ketika perang dunia terdapat tujuh negara adidaya di dunia, namun setelah perang dunia hanya tersisa dua yakni US dan USSR, vacuum of power inilah yang mengakibatkan persaingan dan bukan diwarnai apa-apa melainkan security dillemma antara kedua negaranya.


 

  1. TIME LINE PERANG DINGIN


     

ERA BIPOLAR

No

Tahun

Keterangan

1

1947

India dan Pakistan merdeka, Perang dingin mulai

2

1948

Israel merdeka

3

1949

Komunis China berkuasa

4

1953

Stalin meninggal

5

1954

Vietnam merdeka dan terbagi

6

1957

Ghana merdeka

7

1958

Pasar eropa menggeliat

8

1960

Populasi 3 Milyar

9

1962

Krisis misil Kuba

10

1964

Perang Vietnam Vs AS

11

1969

Pendaratan pertama di bulan


 

ERA PENURUNAN BIPOLAR

12

1972

SALT I, Kunjungan Nixon ke China

13

1974

Populasi 4 Milyar

14

1975

Akhir Perang Vietnam, Vietnam Utara jatuh, Minicomputer beredar

15

1976

Mao meninggal, Reformasi china

16

1979

USSR infasi Afganisthan

17

1981

Reagen memegang kuasa AS

18

1985

Gorbachev memegang kuasa USSR

19

1987

Populasi 5 milyar


 

AKHIR ERA BIPOLAR

20

1989

Tembok Berlin terbuka, kerusuhan Tianenmen

21

1990

Persatuan Jerman

22

1991

Perang Teluk Persia, USSR mundur


 

sumber : John T. Rourke. International Politics on the World Stage, Singapura: McGraw-Hill Companies. 2004. Hal i.


 

  1. Sekilas Perang Dingin


     

Menurut Juwono Sudarsono, secara resmi apa yang dikenal sebagai Perang Dingin berakhir pada kurun waktu 1989 -1990 dengan runtuhnya Tembok Berlin (9 November 1989) serta menyatunya Jerman Barat dan Timur (3 Oktober 1990). Perkembangan itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet (25 Desember 1991) bersamaan dengan mundurnya Mikhail Gorbachev sebagai kepala negara. Inilah awal naiknya Amerika Serikat sebagi satu-satunya negara adidaya.

Paradigma Perang Dingin 1949-1989 seperti Juwono jelaskan terbagi pada beberapa tahap perkembangan sesuai dengan realitas hubungan antar bangsa. Secara politis Perang Dingin terbagi atas tahap 1947-1963 dengan beberapa puncak persitiwa seperti Blokade Berlin 1949, Perang Korea 1950-1953, Krisis Kuba 1962 dan Perjanjian Proliferasi Nuklir 1963. Selanjutnya selama Perang Vietnam 1965-1975, paradigma Perang Dingin terbatas pada persaingan berkelanjutan antara AS dan USSR di beberapa kawasan strategis dunia.

Salah satu yang terpenting terjadi dalam perang Arab-Israel 1967-1973. Perundingan senjata strategis yang mulai dirintis dan dikukuhkan melalui Perjanjian SALT I juga menjadi salah satu ciri periode ini. Selama kurun waktu yang panjang itulah isu-isu seperti pertentangan ideologis, perebutan wilayah pengaruh, pembentukan blok militer, politik bantuan ekonomi yang dilatar belakangi kepentingan ideologis, spionasi militer dan pembangunan kekuatan nuklir menjadi tema-tema penting.

Pada tahun 1966 dominasi Amerika Serikat, melemah lewat berdirinya Komisi Triterial, beranggotakan Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang, komisi ini berpengaruh merubah hegemoni Amerika Serikat atas kerjasama politik, ekonomi dan militer. Selanjutnya pada era 1985 – 1990, peredaan ketegangan hubungan barat dan timur mulai timbul, perhatian pada kajian-kajian militer strategis ke masalah ekonomi politik serta keamanan mulai berarti luas. Konferensi lingkungan hidup dan pembangunan berlanjut dan menetukan arah pengkajian HI hingga sekarang.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

DAFTAR PUSTAKA

John Baylis dan Steve Smith (eds). The Globalization of World Politic : An Introduction to international relations, Oxford: Oxford University Press. 2005.

Kenneth Waltz. Theory of International Politic, New York: Random House.1979.

John J Mearsheimer. The Tragedy of Great Power Politics, New York: WW Norton & Company. 2001.

John T. Rourke. International Politics on the World Stage, Singapura: McGraw-Hill Companies. 2004.

Joseph S. Nye, Jr. Understanding International Conflicts: An Introduction To Theory And History,New York : Longman.1997.

Jackson, Robert & George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. 2005.

Drs. Zainuddin Djafar. Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan masa Depan, Jakarta : Pustaka Jaya. 1996.

Stephanie lawson. International Relations, Cambridge: Blackwell Publishing. 2003.

Muhammad Farkhan. Penulisan Karya Ilmiah, Jakarta: Cella Jakarta. 2006.

Viotti, Paul R. & Mark V. Kauppi. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalis, and Beyond. MA: A Viacom Company. 1998.


 

0 komentar:

Posting Komentar