Cari Blog Ini

HAM (HAK ASASI MANUSIA) ASEAN

I. PENDAHULUAN

Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada 1967 melalui Deklarasi ASEAN ("Deklarasi Bangkok"). Anggota aslinya adalah Indonesia,Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Brunei bergabung pada tahun 1984.Vietnam menjadi anggota pada tahun 1995, sedangkan Laos dan Myanmar / Burma menjadi anggota pada tahun 1997. Pada tahun 1998, Kamboja bergabung dengan ASEAN. [1]

Banyak jenis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi di ASEAN dan mekanisme regional dapat membantu mengatasi masalah ini. Pertama, mekanisme akan memastikan bahwa semua negara anggota ASEAN mematuhi standar HAM internasional. Kedua, mekanisme menyediakan platform bersama di mana negara-negara anggota ASEAN. Terakhir, dengan mekanisme HAM, antar negara dapat bekerja sama untuk mengatasi pelanggaran dan secara kolektif menunjukkan sikapnya tentang isu-isu terkait HAM. [2]

Mekanisme regional ini dapat bermanfaat dalam membantu negara-negara anggota ASEAN dalam menangani masalah HAM di wilayah yurisdiksi masing-masing. Mekanisme memastikan HAM internasional diamati dan diterapkan oleh negara-negara ASEAN yang telah mereka sepakati, ASEAN membantu orang memiliki pengertian umum tentang isu-isu hak asasi manusia universal dan perspektif.

Pada tahun 1993, the Vienna Declaration and Program of Action menekankan perlunya " mempertimbangkan kemungkinan pembentukan pengaturan regional dan sub-regional untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia di mana mereka berada". Pada tahun yang sama, ASEAN Inter-Parliamentary Organization (AIPO) menyatakan bahwa mereka akan berusaha membentuk mekanisme regional dengan ungkapan “tugas dan tanggung jawab negara-negara anggota (ASEAN) adalah untuk membentuk mekanisme regional yang berpihak pada HAM"

Sebuah kemitraan tumbuh mengenai HAM di ASEAN. Komisi antar-pemerintah mulai dipikirkan bersama dalam pertemuan ASEAN sejak 1993, pada 2007, ASEAN mengadopsi Deklarasi Cebu tentang Cetak Biru Piagam ASEAN. ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand) memformalkan dukungan untuk mekanisme regional dengan menandatangani Deklarasi Kerjasama yang mencakup ketentuan tentang rekomendasi langkah-langkah yang dapat diambil dalam membangun mekanisme HAM ASEAN kepada pemerintah masing-masing.

Setelah ratifikasi piagam ASEAN pada tahun 2008, maka setahun setelahnya, AICHR diluncurkan bersama KTT ASEAN. Anggota ASEAN-Amerika menunjuk wakil-wakil mereka untuk AICHR[3].

II. PEMBAHASAN

1. INDONESIA DAN PELANGGARAN HAM

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS rekam jejak (track record) Indonesia masih bermasalah karena pelanggaran HAM berupa perusakan tempat ibadah dan diskriminasi terhadap kaum minoritas agama dan etnis masih sering terjadi meskipun Indonesia sudah memasuki era demokratisasi. Beberapa peraturan daerah yang melecehkan kaum perempuan juga mendapat kritik yang tajam dari NGO nasional maupun internasional. [4]

Liberalisasi politik yang tidak disertai dengan mekanisme perlindungan HAM membuat demokrasi di indonesia menjadi cacat (defective) sehingga tidak ada korelasi positif antara praktek demokrasi dengan penghormatan HAM. Menurut Aleksius Jemadu, martabat suatu bangsa juga ditentukan oleh perlakuan bangsa itu terhadap setiap anggota masyarakat tanpa melihat latar belakang suku, agama, budaya maupun status sosiall ekonomi.

Ada dua laporan yang dilaporkan Departemen Luar Negeri AS baru-baru ini yang menyoroti kinerja Indonesia dalam bidang HAM dan kebebasan sipil. Dua laporan tersebut berjudul : Country Reports on Human Rights apractices (2006) dan International Religious Freedom Report 2007. Kedua laporan ini secara eksplisit menyebutkan kebijakan pemerintah indonesia yang melanggar HAM dan perilaku kelompok radikal keagamaan yang bertindak main hakim sendiri dengan melakukan intimidasi dan perusakan tempat ibadah agama lain. Kedua laporan ini menyayangkan ketidak tegasan pemerintah dan aparat keamanan indonesia yang cenderung membiarkan dan bahkan mendukung.

Dengan kalahnya law enforcement negara modern oleh penghakiman massa yang melakukan tindakan anarki seperti perusakan tempat ibadah dan teror terhadap aliran agama yang dianggap sesat, meskipun dilakukan oleh indvidu atau organisasi tertentu maka negara bisa dikenakan tuduhan yang sama karena lalai mencegah pelanggaran HAM (human rights violattion by amission). Keengganan dan indifferent (acuh) yang ditunjukan pemerintah SBY selama ini menunjukan bahwa pemimpin nasional belum memberikan pembelajaran hidup bernegara secara benar kepada warga masyarakat.[5]

2. PENDEKATAN MEMANDANG PERSOALAN HAM

“Human rights are the rights one has simply by virtue of being a human being” (Jack Donnelly, ilmuwan isu HAM)

Dikutib dari Aleksius Jemadu, Jack Donnely seorang ilmuwan yang konsen terhadap universalisme HAM menyatakan bahwa HAM melekat pada seorang individu karena status dan martabatnya sebagai manusia, bukan diberikan oleh lembaga eksternal apapun. Masih menurutnya, solidaritas umat manusia secara global harus diberikan ruang yang cukup untuk mempersalahkan setiap bentuk pelanggaran HAM dimanapun terjadi. Pemerintah tidak dapat berdalih atas nama kedaulatan untuk melindungi pelanggaran yang telah dilakukannya. [6]

Pandangan Jack Donnely yang mewakili pandangan universalisme HAM tidak diterima secara mudah, setelah perang dingin usai perdebatan mengenai bagaimana memandang HAM mencuat dalam memahami perdebatan ini, dibagi kepada dua pendekatan :

a. The post colonial approach

Pendekatan ini menyimpulkan, negara-negara industri barat yang menekankan prinsip prinsip liberal seperti universalitas HAM, pentingnya hak sipil, hak politik dan interdepedensi dalam ekonomi politik dunia, adalah usaha negara-negara maju mengkritik negara yang dulunya dianggap sebagai sekutu membendung komunisme. Misalnya, seiring tumbangnya komunisme maka Presiden Soeharto ditinggalkan oleh barat sejak awal 1990-an.

b. The neo colonial approach

Pendekatan ini menyimpulkan, cara negara barat mendekatkan persoalan HAM dalam politik dunia mencerminkan kelanjutan dari kebijakan kolonialisme dalam bentuk baru yang pada intinya bertujuan mempertahankan dominasi barat atas negara-negara berkembang.

Negara-negara berkembang khususnya di Asia menanggapi kritik barat terhadap HAM melalui tiga konsep yaitu, pertama cultural relativism, communitarianism dan developmentalis. Relativisme budaya adalah suatu paham yang menekankan bahwa setiap budaya memiliki ciri khusus (distrinctive characterictics). Komunitarianisme adalah suatu pendapat bahwa pemenuhan hak individu di Asia tidak dapat dipisahkan dari kepentingan komunitas secara keseluruhan, bahkan dalam budaya suku-susku di Asia kepentingan individu sering dikorbankan untuk kekpentingan uimum serta Developmentalis tercermin dari sikap Lee Kwn Yew, Mahathir Mohammad dan Soeharto yang mengatakan bahwa hak politik tidak lebih penting dari hak ekonomi dan melalui pembangunan yang dilakukan, negara berupaya memenuhi hak ekonomi agar rakyat terbebas dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan.[7]

Para pemimpin asia mempromosikan apa yang mereka sebut Asian Values (nilai-nilai Asia) untuk menegaskan keberbedaan Asia dari kultur Barat, terlepas dari kemajuan ekonomi yang dicapai oleh negara-negara Asia, konsep nilai ini juga dikeritik tajam oleh para analisis politik di Asia dan luar Asia. Memang tidak dapat disangkal negara non demokratis di Asia (Cina, Singapura) lebih makmur dari negara demokratis, namun dari sudut pandang HAM sistem politik yang otoriter secara interistik tidak menilai positif penghargaan terhadap martabat manusia. [8]

3. MEKANISME HAM di ASEAN

Menurut Aleksius Jemadu dalam bukunya Politik Global, mekanisme promosi dan perlindungan HAM dapat ditemukan pada berbagai level interaksi dalam hubungan Internasional. Sekurang-kurangnya ada lima level yang bisa diidentifikasi untuk perjuangan isu HAM yaitu Individu, kelompok, nasional, regional dan global. [9]

Pada level individu kita menemukan tokoh-tokoh perjuangan HAM yang karena aktivitas dan kamapanyenya yang dilakukan dapat mempengaruhi kebijakan atau diplomasi HAM dari aktor-aktor internasional baik negara maupun non-negara. Level perjuangan HAM berikutnya dilakukan oleh kelompok civil society baik pada tingkat nasional maupun global. Hampir disetiap negara demokrasi maupun non-demokrasi kita menemukan organisasi non-pemerintah (NGO) yang aktif memperjuangkan HAM dalam berbagai aspeknya.

Aktor penting berikutnya yang diharapkan dapat mempromosikan dan melindungi HAM adalah negara atau pemerintah. Peranan negara menjadi kontroversial dibanding yang lainnya karena justru negara menjadi sumber ancaman permanen terhadap hak-hak sipil dan politik warganya. Pada saat yang sama negara juga menghasilkan berbagai kebijakan yang secara khusus ditujukan untuk memaRejukan HAM.

Namun, karena keterbatasan dan kompleksitas politik yang sering terjadi di negara berdaulat, maka timbul pemikiran untuk menciptakan mekanisme pada level regional yaitu membangun kesepakatan yang mengikat diantara negara-negara dalam suatu kawasan untuk menciptakan dewan HAM regional guna menerima pengaduan warga negara yang merasa HAM-nya dilanggar oleh pemerintah. Pada level global, PBB merupakan lembaga yang paling kuat pengaruhnya terhadap penanganan isu HAM yang melibatkan negara anggota.

Berbicara mekanisme konteks regional ASEAN, perlindungan HAM sudah dilakukan oleh civil society, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sudah mulai memikirkan untuk melembagakan prinsip-prinsip penghormatan HAM melalui wadah kerjasama ASEAN. Dengan ditandatanganinya piagam ASEAN oleh para pemimpin ASAEN dalam KTT di Singapura pada November 2007, ada langkah maju yang dicapai oleh kerjasama regional ini. Namun pada praktiknya, masih terjadi praktik-praktik penyimpangan politik yang dilakukan rezim negara. Contoh yang paling nyata adalah kegagalan negara ASEAN untuk mempengaruhi rezim di Myanmar, kalaupun ASEAN berhasil memasukan prinsip HAM kedalam piagam ASEAN, maka pada pelaksanaannya hanya sebatas seruan normatif tanpa ada mekanisme kelembagaan yang efektif untuk menghasilkan keputusan yang mengikat negara anggota. [10]

Saat ini sudah dibentuk badan HAM sebagai Instrumen yang dapat membantu kelancaran mekanisme HAM ASEAN. Walaupun baru didirikan pada 2009 lalu, namun Instrumen ini diharapkan dapat menjadi alat yang efektif dalam penyelesaian masalah HAM di ASEAN. Adapun Instrumen yang dimaksud adalah dibentuknya AICHR (ASEAN Intergovernmental Comission on Human Right) [11]

4. AICHR sebagai Instrumen HAM ASEAN

Pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan pelaksanaan perintah dari ASEAN Charter yang baru diratifikasi yang tepatnya pada tanggal 15 Desember 2008, dimana pasal 14 dari piagam tersebut secara jelas memerintahkan kepada ASEAN, dalam hal ini Forum Menteri Luar Negeri ASEAN, untuk membentuk sebuah Komisi HAM ASEAN. AICHR adalah bagian dari pelaksanaan ASEAN Charter yang dilantik pada 23 oktober 2009 pada saat penyelenggaraan ASEAN Summit ke-16.[12]

Penegakan HAM di ASEAN menemukan titik terang dengan adanya pasal 14 dari Piagam ASEAN tentang badan HAM ASEAN yang berisi:

(1) In conformity with the purposes and principles of the ASEAN Charter relating to the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms, ASEAN shall establish an ASEAN human rights body.

(2) This ASEAN human rights body shall operate in accordance with the terms of reference to be determined by the ASEAN Foreign Ministers Meeting

.Pasal 14 Piagam Asean tentang pembentukan Badan HAM ASEAN ini dilaksanakan dengan dibentuknya Badan HAM ASEAN yang diberi nama ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada tanggal 23 Oktober 2009.[13]

AICHR memiliki berbagai macam fungsi dalam menegakan HAM di ASEAN yang tercantum dalam poin ke-4 Terms of Reference (TOR) AICHR.[14] Secara umum, pekerjaan AICHR meliputi perumusan upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM Internasional sebagaimana diamanatkan oleh Universal Declaration of Humar Rights (Deklarasi Universal Tentang HAM), Deklarasi Wina tahun 1993 tentang HAM, dan Instrumen Ham Internasional Lainnya.[15]

AICHR ini beranggotakan 10 komisioner yang berasal dari 10 negara anggota ASEAN. Dua diantaranya, yaitu dari Indonesia dan Thailand, dipilih melalui proses pemilihan di tingkat nasional, sedangkan yang 8 lainnya ditunjuk oleh pemerintahnya masing-masing, termasuk Filipina yang kita kira proses demokrasinya sudah jauh berkembang dan memiliki pengalaman demokrasi yang sudah cukup lama dibandingkan dengan Indonesia .[16]

5. ASEAN Way, Prinsip Non-Interference dan Konsensus

“No international organization places human rights as a conditionality of membership, not even the UN” (Ali Alatas, Diplomat Senior Indonesia)

Sekitar 22 tahun lalu, Alm. Ali Alatas membuka gerbang yang luas untuk Asean ke negara-negara otoriter seperti Myanmar, Kamboja, dan Laos, dengan mengatakan, “tidak ada organisasi internasional yang menempatkan hak asasi manusia sebagai persyaratan keanggotaan, bahkan PBB saja tidak menyaratkan.”

Dengan demokrasi Indonesia yang berkembang dan dengan kapasitas sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN, pelanggaran HAM di kawasan menjadi kewajiban yang harus diselesaikan karena menghantui ASEAN di tingkat regional dan internasional. Bagi ASEAN rezim di Myanmar adalah sebuah rasa malu yang tak tertahankan. Hal itu disorot dalam pertemuan tahunan ASEAN dimana Menlu AS Hillary Clinton mengecam Myanmar untuk catatan buruk hak asasi manusia.

Asean Way merupakan sebuah jiwa atau rujukan untuk kesopanan dan kepantasan berdasarkan prinsip non interferen dan pembuatan konsensus, terlepas dari kesalahan yang terjadi, hal ini telah begitu lama mendampingi organisasi ASEAN. [17]

Hal lain yang menjadi bagian dari ASEAN Spirit (Jiwa Asean) adalah prinsip non-interference, pendiri ASEAN menyatakan bahwa setiap anggota harus memimpin eksistensi nasionalnya bebas dari gangguan eksternal, tekanan atau pemaksaan pada pengaturan urusan internal satu sama lain tanpa interfensi. Pernyataan tersebut diatur dalam mendefinisikan Treaty of Aminity dan Cooperation (TAC). Bagi negara ASEAN memprotes bahkan mengkritisi kebijakan dalam negeri negara anggotanya yang lain adalah tabu.

Meski non-interference sesungguhnya tak terlalu jelas batas-batasnya, sikap ASEAN yang mengikuti negara-negara Barat, contohnya pada AS, mendesak Myanmar segera membebaskan Suu Kyi dapat saja ditafsirkan sebagai langkah mencampuri urusan dalam negeri Myanmar yang juga negara anggota ASEAN. Sesuatu yang tentu saja bertentangan dengan Jiwa Asean.[18]

ASEAN memiliki kerangka yang disebut “Retreats”, bahwa hal-hal yang menjadi perhatian bersama dibahas secara terus terang. Para menteri mengadakan “Retreat” pertama mereka pada bulan Juli 1999, ketika diadakan pertemuan rutin tahunan. Kemudian diadakan lagi, pada bulan April 2001 tanpa pertemuan rutin tahunan, setelah itu bertemu lagi bulan Juli. Para menteri mendiskusikan mengenai berbagai isu seperti keamanan regional, kerjasama intra dan inter-regional, dan masa depan ASEAN. Dalam pertemuan Menteri ASEAN (ASEAN Meeting Minister) tahun 2002, para menteri menegaskan kembali kegunaan pertemuan informal, membahas dialog yang terbuka dan jujur untuk mengatasi masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama ke wilayah tersebut. Hal in merupakan hal yang aman dalam diplomatik tradisional di ASEAN terlebih lagi, prinsip Non-interference akan ditafsirkan dengan cara yang lebih fleksibel.[19]

Sejak awal pembentukannya, ASEAN telah mengembangkan budaya diplomasinya sendiri, yang bersumber pada nilai-nilai budaya Timur yang lebih mementingkan harmoni dan menghindari konflik. Sejak didirikannya melalui Deklarasi Bangkok tahun 1967, bangsa-bangsa Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN mengembangkan apa yang disebut sebagai "ASEAN way". Semangat atau cara ASEAN ini antara lain mencakup prinsip untuk menyelesaikan segala persoalan dengan cara damai, melalui dialog, dan menghindari penggunaan kekerasan atau pemaksaan kehendak.

Semangat gotong royong ala rakyat Asia Tenggara menjadi landasan bagi para pemimpin ASEAN untuk menganut asas konsensus dalam proses pengambilan keputusan. Dijunjung tingginya asas konsensus ini, selalu berhasil menetralkan setiap sikap ekstrem dari negara-negara anggotanya serta selalu menjadi pelajaran bagi negara-negara di luar ASEAN untuk memahami budaya kawasan ini.[20]

6. Prospek HAM di ASEAN

Dibandingkan dengan negara lainnya, Asia khususnya Asia Tenggara masih tertinggal dari nilai-nilai yang berkaitan dengan demokrasi dan HAM. Ada kebutuhan yang nyata untuk mendapat perlindungan dari HAM pada tingkat regional seperti masih banyak yang melanggar hak-hak politik dan sipil dari rakyatnya sebagai individu maupun kelompok.[21]

Banyak juga kelompok minoritas yang mengalami penindasan di kasawasan Asia Tenggara. Sulitnya untuk mengadukan pelanggaran HAM yang terjadi, dari kalangan negara-negara Asia Tenggara melakukan upaya di tingkat regional yang sudah dilakukan oleh civil society tetapi negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sudah mulai memikirkan untuk melembagakan prinsip-prinsip penghormatan HAM melalui wadah kerjasama ASEAN. Ada langkah maju yang dilakukan dari kerjasama regional ini yaitu penandatanganan Piagam ASEAN oleh para pemimpin ASEAN dalam KTT di Singapura November 2007 yang mencantumkan prinsip-prinsip penghormatan terhadap HAM.[22]

Ada kegagalan nyata dari penegakkan HAM di ASEAN yaitu ASEAN juga mencatat kemajuan cukup berarti pada tahun 2008 ini dengan telah diratifikasinya Piagam ASEAN oleh semua negara anggota yang diharapkan akan membuka jalan menuju mekanisme HAM regional.[23]

Resistensi dari negara-negara yang belum menerapkan demokrasi diperkirakan akan menjadi hambatan utama untuk menciptakan human rights regime di Asia Tenggara. Dari adanya kendala tersebut, penegakkan HAM baik pada skala nasional maupun global masih memerlukan kerjasama pada semua tingkatan agar kemanusiaan semakin menjadi indikator utama kemajuan peradaban modern.[24]

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, khususnya sebagai anggota ASEAN juga perlu mendorong berkembangnya pemajuan dan perlindungan HAM. Pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia di satu sisi mengalami kemajuan cukup berarti, setidaknya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia belum terlalu memuaskan, dan tantangan sebenarnya terletak pada upaya untuk melaksanakannya, juga diperlukan keseriusan dalam pemajuan dan perlindungan HAM. [25]

III. STUDI KASUS

Pelanggaran HAM di Myanmar

1. Topan Nargis

Bencana ini terjadi pada 3 Mei 2008 lalu. Palang merah internasional memperkirakan korban tewas akibat topan Nargis di Myanmar mencapai lebih dari 138.000 dan berdampak pada sedikitnya 2,4 juta orang. Hingga kini, junta Myanmar tidak membuka lebar akses bantuan terhadap korban bencana. Bahkan banyak sukarelawan dan bantuan internasional yang tertahan di Thailand lantaran tidak mendapat visa masuk. Padahal, upaya pertolongan pemerintah setempat kepada para korban tidak maksimal. Selain itu, tingginya curah hujan dan sulitnya medan bencana di sekitar Delta Sungai Irrawady juga mempersulit distribusi bantuan.[26]

Sementara upaya-upaya internasional untuk membantu korban badai terhenti. Tiga hari pasca badai ini, Tim Bantuan Darurat-Burma (EAT), sebuah jaringan berbasis organisasi dan individu, dibentuk dan mulai memberikan bantuan kepada korban topan. relawan EAT, kebanyakan korban badai tidak terafiliasi dengan rezim, mereka hanya mendapat bantuan yang disumbangkan oleh masyarakat yang tinggal di sepanjang perbatasan Thailand-Burma (di Burma atau Thailand), serta melalui organisasi internasional yang mengirimkan bantuan melalui Thailand. Hal ini dikarenakan relawan yang akan membantu korban badai dihalangi oleh junta militer yang berkuasa. Sehingga para relawan yang akan membantu korban ni pun tertahan di Thailand.

2. Aung San Suu Kyi

Aung San Suu Kyi (diucapkan seperti Ong San Soo Chee) adalah pemimpin gerakan pro-demokrasi dan pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi di Myanmar. Suu Kyi adalah salah satu pejuang yang terkenal di dunia kebebasan dan pendukung anti-kekerasan. Anak dari pasangan petugas militer Birma Aung San dan Daw Khin Kyi ini mengikutii jejak ayahnya dan muncul sebagai tokoh sentral dari gerakan pro-demokrasi di Myanmar. Aktif dalam politik sejak tahun 1988, Aung San telah menghabiskan sebagian besar waktunya menjadi tahanan rumah dan saat ini ditahan oleh junta militer. Pemimpin dihormati telah memenangkan penghargaan nasional dan internasional, seperti Sakharov Prize dari Parlemen Eropa pada tahun 1990, Medal of Freedom dari Amerika Serikat Presiden, Jawaharlal Nehru Award dari India, Rafto Hak Asasi Manusia dan dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian Nobel kehormatan untuk perjuangan anti kekerasan melawan kediktatoran di tahun 1991.[27]

Pada tahun 1988, Suu Kyi kembali ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sakit dan bergabung dengan pemberontakan nasional untuk pembentukan demokrasi. Itu semua terjadi menyusul pengunduran diri Jenderal Ne Win pada tanggal 23 Juli 1988. Suu Kyi, dalam sebuah surat terbuka kepada pemerintah militer diminta untuk menetapkan aturan dari orang-orang di Myanmar. Pada tanggal 8 Agustus 1988, terjadi demo besar-besaran dengan slogan pro-demokrasi. Demo ini berakhir dengan pembantaian massal yang dilakukan oleh junta militer terhadap pemberontakan di seluruh negeri. Rezim militer menewaskan lebih dari 10.000 demonstran, termasuk mahasiswa, perempuan, dan anak-anak dalam rentang satu bulan.

Pada bulan September 1988, Aung San Suu Kyi, dalam langkah pertama politiknya, bergabung dengan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) sebagai sekretaris umum. Partai ini mendorong reformasi politik di negara itu. Suu Kyi memberikan banyak pidato menyerukan kebebasan dan demokrasi. Pada 20 Juli 1989 Aung San Suu Kyi ditangkap dan dikenakan tahanan rumah di kota Rangoon.

Setelah dibebaskan Suu Kyi melanjutkan perjuangan demokrasi di Myanmar. Ini meningkat popularitasnya di seluruh dunia dan kekuatan politik internasional terpaksa campur tangan untuk mengatasi masalah tersebut. Meskipun negara-negara barat telah memberi tekanan pada junta militer dengan membatasi bantuan ekonomi, namun negara-negara tetangga tetap membantu dengan melakukan perdagangan. Pada bulan Mei 2002, Suu Kyi dibebaskan tanpa syarat dan bebas menjalankan aktivitas politiknya sebagai pemimpin NLD tersebut.

Dia kembali ditangkap dan ditempatkan di balik jeruji Mei 2003 setelah pembantaian Depayin, di mana sampai dengan 100 pendukungnya dipukuli sampai mati oleh kroni rezim. Dia pindah dari penjara kembali ke tahanan rumah di akhir 2003 dan telah ditahan di sana sejak saat itu. [28]



[1] Diakses dari http://www.aseanhrmech.org/resolutions/concept-paper-towards-aseanhrmech.html pada tanggal 28 Maret 2010. Pukul 08.05.

[2] Diakse dari http://www.aseanhrmech.org/aboutus.html pada tanggal 28 Maret 2010. Pukul 10.05.

[3] Diakse dari http://www.aseanhrmech.org/aboutus.html pada tanggal 28 Maret 2010. Pukul 10.05.

[4] Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam teori dan politik. Graha Ilmu: Yogyakarta. Hal. 278

[5] Ibid, hal 279

[6] Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam teori dan politik. Graha Ilmu: Yogyakarta. Hal. 287

[7] Ibid, hal 287

[8] Ibid, hal 287

[9] Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam teori dan politik. Graha Ilmu: Yogyakarta. Hal. 303

[10] Ibid. Hal. 305

[11] Ibid. Hal. 308

[12] Realisasi rencana pembentukan komisi HAM regional ASEAN dilakukan dalam 2nd Meeting of the ASEAN Foreign Ministers di Thailand, para menteri luar negeri se-ASEAN telah menyepakati Term of Reference (TOR) pembentukan komisi yang diamanatkan oleh Pasal 14 Piagam ASEAN ini. Pada kesempatan yang sama, para Menlu juga sepakat nama komisi yang digunakan adalah ASEAN Inter-Governmental Commission on Human Rights (AICHR). Keputusan Menlu-Menlu ASEAN ini akan memberi kontribusi menuju penguatan Komunitas ASEAN. Demokrasi dan HAM adalah dua prinsip dasar yang dijaga di dalam Piagam ASEAN dan kita sekarang mengambil langkah-langkah menuju pemenuhan prinsip-prinsip tersebut untuk bangsa ASEAN. Setelah TOR disepakati, langkah berikutnya adalah masing-masing negara anggota ASEAN menunjuk perwakilan untuk hadir dalam acara pendeklarasian AICHR pada 15th ASEAN Summit di Phuket, Thailand pada 23-25 October 2009. Dikutib dari Abdurrchman Mattaliti, Kerjasama ASEAN Dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM Di ASEAN (Jakarta: Departemen Luar Negeri), hal.45.

[13] http://www.aseansec.org/about_ASEAN.htm diakses tanggal 29 Maret 2011

[14] Lihat: Terms of Reference ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights poin ke-4

[15] http://www.hrwg.org/in/asean/asean-advocacy

[17] Konsensus dari kamus besar bahasa indonesia memiliki definisi yaitu kesepakatan kata atau pemufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian) yang dicapai melalui kebulatan suara.

[18] Diakses dari http://www.unisosdem.org/article_fullversion.php?aid=2412&coid=3&caid=22&gid=1 pada tanggal 28 Maret 2010. Pukul 08.05.

[19] Mulanya Thailand mengusulkan adanya kebijakan “Flexible Engagement” tahun 1998. Menlu Thailand Surin Pitsuwan mengusulkan bahwa ASEAN mengadopsi kebijakan Flexible Engagement, yang melibatkan diskusi kebijakan domestik sesama anggota. Dia menyatakan bahwa isu-isu yang mempengaruhi satu sama lain mungkin dibawa dan dibahas oleh anggota ASEAN, tanpa ini dapat dianggap sebagai gangguan. Kementerian Luar Negeri Thailand menyatakan bahwa Flexible Engagementtidak akan melanggar prinsip non-interference. Usulan Thailand sendiri tidak didukung oleh anggota lain, kecuali Filipina. Namun demikian, perdebatan penafsiran prinsip non-interferensi terus berlanjut. Katsumata, Hiro. Why Is Asean Diplomacy Changing? From "Non-Interference" to "Open and Frank Discussions". University of California Press. Asian Survey, Vol. 44, No. 2 (Mar.-Apr., 2004), pp. 237-254

[21] Jemadu, Aleksius. 2008. Politik Global dalam teori dan politik. Graha Ilmu: Yogyakarta. Hal. 307.

[22] Ibid, hal 308

[23] Ibid, hal 308

[24] Ibid, hal 312.

[25] Artikel Simela Victor Muhamad. 2008. PEMAJUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN INDONESIA. Hal. 614-649.

[28] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar