resolusi konflik, bentuk dan perkembangan
BAB I
PENDAHULUAN
Ide apa yang kita dapatkan dari quote jurnal ilmiah mengenai resolusi konflik ini ?
“The reasons which have led us to this enterprise may be summed up in two propositions. The first is that by far the most important practical problem facing the world today is that of international relations, more specifically the prevention of global war. The second is that if intellectual progress is to be made inthis area, the study of international relations must be made an interdisciplinary enterprise, drawing its discourse from all the social sciences and even further.”
“Alasan yang menyebabkan kegigihan kami ini dapat diringkas dalam dua proposisi. Yang pertama adalah bahwa sejauh ini masalah praktis yang paling penting yang dihadapi dunia saat ini dalam hubungan internasional, lebih spesifik kepada mencegah perang global. Yang kedua adalah jika kemajuan intelektual harus dilakukan, studi hubungan internasional harus dilakukan secara interdisipliner, dengan menggambar wacana dari semua ilmu sosial dan bahkan lebih lanjut.”
Kenneth Boulding on the publication of the first issue of the journal of conflict resolution, 1957
“The threat of nuclear holocaust remains with us and may well continue to do so for centuries, but other problems are competing with detterence and disarmament studies for our attention. The journal must also attend to international conflict over justice, equality and human dignity, problems of conflict resolution for ecological ballance and control are within our proper scope and especially suited for interdiscilinary attention.”
“Ancaman bencana nuklir tetap bersama kita dan mungkin terus mengiringi selama berabad abad, namun masalah lain yang bersaing dalam perhatian kita ialah pencegahan konflik (detterence) dan perlucutan senjata (disarmament). Jurnal ini harus menghadirkan konflik internasional dengan menjunjung keadilan, kesetaraan dan martabat manusia, masalah resolusi konflik untuk keseimbangan ekologi dan kontrol ekologi, kini sangat cocok untuk diperhatian secara interdisipliner.”
Journal of conflict resolution, 1973
Pada bahasan kali ini, kita akan membahas mengenai sejarah evolusi dari resolusi konflik. Berdasar evolusi sejarah, Resolusi konflik terbagi melalui 5 (lima) tahap dalam perkembangan generasi dan praktisnya.
1. Generasi pertama melalui pendekatan state-centric
2. Generasi kedua melalui pendekatan state-centric
3. Generasi ketiga melalui pendekatan yang berkembang pada civil society dan berkurangnya state centric
4. Generasi Keempat melalui pendekatan yang berkonstruksi pada arsitektur kompleks dan komplementar. Hal ini terkait dari civil society, negara dan hingga tingkatan lintas regional atau internasional.
5. Generasi Kelima, sebagaimana diramalkan dalam buku ini, dimungkinkan sekali terdapat aliran baru dalam teori dan aksi resolusi konflik sesuai perkembangan.[1]
Resolusi konflik berkembang sebagai pengusahaan yang berasosiasi normatifd dengan tiga tingkatan promosi perdamaian. Pertama, melalui reformasi radikal dalam sistem politik dunia, Kedua, melalui promosi sikap bersama (inklusif) politik anti perang dan pro perdamaian, Ketiga, melalui pembentukan metodologi dan proses yang memberikan kesempatan untuk protes terhadap pengambil keputusan. Proyek yang proaktif telah menjadi bahasan behavioural, attitude dan struktural/elemen objek dalam model segitiga galtung (terdapat tiga model segitiga galtung yakni 1, kontradiksi, attitude dan behaviour, 2, peace building, peace making dan peace keeping dan 3, kekerasan terstuktur, kekerasan yang membudaya dan kekerasan langsung).[2]
BAB II
PEMBAHASAN
Sejumlah individu di Amerika Utara dan Eropa mulai membentuk kelompok-kelompok penelitian pusat formal di institusi akademik dan jurnal profesional untuk mengembangkan ide-ide baru. Profesi hubungan internasional memiliki kategori sendiri untuk memahami konflik internasional dan resolusi konflik perlu kombinasi analisis dan praktek yang tersirat dalam ide-ide baru. Namun, pada tahun 1970-an dan 1980-an ide-ide baru mulai lahir dan jumlah jurnal ilmiah lembaga meningkat pesat. Lembaga-lembaga yang berbeda juga mulai mempelajari krisis internasional, perang internal, konflik sosial dan pendekatan mulai dari negosiasi dan mediasi untuk game eksperimental.
1. Pencetus : Generasi Pertama, 1918 – 1945
Studi perdamaian dan tantangan dalam tatanan dunia tercetus melalui gagalnya perdamaian dalam dunia internasional dalam perang dunia pertama. Motivasi yang ditimbulkan membuat banyak masyarakat mengikuti perkembangan dasar untuk pencegahan perang dimasa yang akan datang, hal ini direspon bangkitnya gerakan sentimental dan gerakan moral pasifisme.[3]
Meski institusi perdamaian belum berdiri sebelum 1945, namun perkembangan yang berelasi dengan pembentukan program studi HI dalam disiplin akademik telah hadir dan dipelajari lebih dulu. Program studi HI muncul pertama di University College of Wales, Aberystwyth pada tahun 1919. Inisiatif anti perang menginspirasi studi perdamaian, dalam era perang dunia pertama Inggris, Eropa dam Amerika Utara terus mengembangkan studi HI dengan aspirasi idealis demi mempromosikan perdamaian internasional.
Holsti memandang dalam era ini berkembang pemetaan perang dan perdamaian terkait dalam : governance, legitimacy, assimilation, a detterence system, conflict resolving procedurs and institusi, konsensus, prosedur perubahan perdamaian dan antisipasi isu dengan pengelolaan norma.[4]
Terdapat perbedaan yang menarik diantara peneliti perdamaian dan aktivis perdamaian. Untuk mengembangkan tujuan yang sama dalam resolusi konflik para peneliti menggunakan ilmu Hi sedang aktivis perdamaian menggunakan non-violence dan pasifisme. Non-violence adalah filosofi dan strategi perubahan sosial yang menolak adanya penggunaan kekerasan. Tanpa adanya kekerasan merupakan sebuah alternatif untuk penolakan pasif penindasan atau perjuangan bersenjata. Sedangkan pasifisme mencakup pandangan bahwa pertikaian internasional harus diselesaikan secara damai, panggilan untuk penghapusan lembaga militer, lembaga perang, organisai yang saling beroposisi melalui kekuatan pemerintah melalui penolakan penggunaan kekerasan fisik untuk mencapai tujuan politik, ekonomi dan sosial.
Pemikir non-violence percaya kerjasama dan persetujuan adalah akar dari kekuasaan politik rezim, birokrasi, lembaga keuangan, lembaga senjata, dan masyarakat. Pada tingkat nasional, strategi non-violence berusaha untuk melemahkan kekuatan penguasa dengan mendorong orang untuk menarik persetujuan mereka dan ikut dalam kerjasama. Bentuk-bentuk strateginya mengambil inspirasi dari keyakinan agama atau etika analisis politik.
Konsep dasar non-violence adalah untuk menciptakan politik sosial yang dapat mempengaruhi perubahan sosial tanpa harus menang atas mereka yang ingin mempertahankan status quo. Dalam demokrasi industri modern, non-violence telah digunakan secara luas oleh sektor politik tanpa kekuasaan politik mainstream seperti tenaga kerja, lingkungan perdamaian, dan gerakan perempuan. Peran yang tanpa kekerasan itu telah memainkan peran dalam melemahkan kekuatan rezim politik represif dinegara berkembang. [5]
Berbeda dengan prinsip non-violance, pasifisme memiliki prinsip non-agresi yang menolak inisiasi kekerasan, tetapi tetap ada izin penggunaan kekerasan untuk membela diri. Orang-orang yang mendukung prinsip non-agresi mengklaim bahwa larangan moral penggunaan kekerasan dari etika argumentasi, yakni hanya berlaku ketika orang-orang menggunakan argumentasi untuk memecahkan perselisihan, bila ada kekerasan maka pembelaan diri tidak ditolak secara moral.[6]
2. Pembentukan : Generasi kedua 1945-1965
Perkembangan studi perdamaian terus berkembang hingga akhir perang dunia kedua pada tahun 1945. Ancaman nuklir pada era ini masuk menggantikan ancaman penting yang baru. Institusi perdamaian dan konflik dibentuk oleh Theodore F Lentz di St. Louis, Missouri, AS yang menurapakan institusi penelitian perdamaian dan konflik pertama yang bergerak pada periode 1945-1965. Lentz berpendapat bertambahnya power secara fisik tanpa bertambahnya ilmu pengetahuan tidak akan melahirkan harmoni. Tidak hanya masyarakat yang kapabel yang harus harmoni, namun nilai kemanusiaan membentuk tanggung jawab bersama, pada eranya pendapat ini menjadi usaha resolusi konflik universitas michigan.[7]
a. Kenneth Boulding, Michigan dan Journal of Conflict Resolution
Kenneth Boulding lahir di Liverpool, Inggris 1910. Ia adalah tokoh yang termotivasi terhadap nilai tatakrama dan spiritual, ia adalah seorang anggota Society of Friends (Quakers) dan profesional ekonomi. Ia pindah ke Amerika pada 1937 menikahi Elise Bjorn Hansen pada 1937 dan memulai berkontribusi bersama pada studi perdamaian dan resolusi konflik ketika menjadi profesor ekonomi di universitas michigan.
Bersama para akademisi lintas disiplin seperti ahli matematika dan biologi Anatol Rapoport, ahli psikologi sosial Herbert Kelman dan sosiolog Robert Colley Angell, dia mendirikan Journal of Conflict Resolution pada 1957 dan mendirikan pusat kajianya pada 1959. Journal of Conflict Resolution menawarkan solusi mencegah perang dengan mencari dan menunjukan data sosial untuk memperngaruhi masyarakat dalam kampanye mencegah perang, Journal of Conflict Resolution melakukan peringatan dini (early warning).
Kenneth Boulding berpendapat bahwa disiplin hubungan internasional fokus pada masalah mencegah perang, hal ini disebabkan oleh kegagalan dari disiplin hubungan internasional sendiri mencegah perang. Ia berpendapat jika perang merupakan hasil dari karakteristik yang melekat dalam sistem negara berdaulat maka reformasi organisasi internasional dan pengembangan kemampuan penelitian informasi menjadi salah satu cara mencegahnya. [8]
b. Johan Galtung dan resolusi konflik di Eropa Utara
Seiring kampanye Journal of Conflict Resolution di Michigan, studi perdamaian dan resolusi konflik berkembang pula di Eropa, tepatnya di wilayah Skandinavia atau Eropa utara. Johan Galtung seorang ahli filsafat, sosiologi dan matematika, ia mendapat gelar profesor sosiologi dari universitas columbia. Pada tahun 1960 ia kembali ke oslo dan mengembangkan Institut Penelitian Sosial Universitas Oslo.
Galtung mengartikulasikan perbedaan antara kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya. Kekerasan langsung diakhiri dengan merubah prilaku konflik, kekerasan struktural diakhiri dengan menghapus ketidakadilan struktural, dan kekerasan budaya diakhiri dengan merubah sikap. Galtung melihat bahwa berbagai penelitian perdamaian itu menjangkau pencegahan perang yang mencakup studi tentang kondisi bagi hubungan damai. Perdamaian positif disini adalah bentuk empati dan solidaritas masyarakat, prioritas menangani kekerasan struktural dengan mengungkapkan dan mengubah struktur imperialisme dan penindasan, serta pentingnya mencari nilai-nilai alternatif non kosmologi barat.[9]
c. John Burton dan paradigma baru dalam international studies
John burton lahir di Australia pada 1915, pendidikannya diselesaikan di london school of economics. Pada pertengahan 1980an ia mengabdikan diri pada universitas maryland dan bersama Edward Azar, ia membidani Center for International Development and Conflict Management.
Burton dikenal dengan teori Teori Kebutuhan Manusia (Protacted Social Conflict), Teori ini menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah unsur mutlak dalam pemenuhan kesejahteraan manusia. Konflik dan kekerasan akan muncul apabila satu pihak merasa bahwa kelompok lain menghalangi pemenuhan kebutuhannya. Burton membedakan antara pertikaian (dispute), yang merupakan adanya perebutan material yang masih dapat di negosiasikan. Sedangkan konflik (conflict) adalah suatu kekurangan dalam kebutuhan dasar manusia yang sudah berada dalam taraf tidak bisa di negosiasikan.
Konflik identitas menurut Burton merupakan kebutuhan yang tidak dapat di negosiasikan karena identitas merupakan hal yang bersifat mendasar. Untuk melakukan resolusi konflik maka yang harus diupayakan pertama kali adalah terciptanya kondisi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk saling memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara konstruktif. Untuk mengurangi timbulnya kekerasan dan konflik terbuka Burton mengusulkan dilakukannya langkah ”provention” yaitu suatu upaya untuk menghilangkan sumber konflik dan secara lebih proaktif mempromosikan lingkungan yang positif untuk memungkinkan masyarakat secara konstruktif memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.[10]
3. Konsolidasi : Generasi ketiga 1965 -1985
Tahap konsolidasi ini ditandai oleh radikalisasi penelitian perdamaian di Eropa. Simbol yang bergerak pada waktu itu adalah konsep galtung tentang kekerasan. Konsep dasarnya adalah bagaimana pengurangan penggunaan kekerasan dari segala jenis. Karena pada dasarnya manusia itu memiliki kecenderungan untuk bekerjasama bukan hanya inheren, sebuah penelitian difokuskan pada potensi untuk kerjasama bukan hanya pada studi konflik kekerasan.[11]
a.
Berkembangnya konflik dan problem solving antara Malaysia Singapura, Malaysia Indonesia dan Siprus Turki Siprus Yunani membuat The London Group, sebuah organisasi dari program konflik dan resolusi konflik internasional di Harvard mengembangkan workshop-workshopnya. Organisasi ini juga konsen terhadap perang arab israel 1974 hingga 1993. Harvard program diwakili Roger Fisher dan Willian Ury mengedepankan negosiasi yang populer melalui karya best selling berjudul Getting To Yes (1981) dan Negotiation Journal, negosiasi akan melahirkan keuntungan di kedua pihak.[12]
b. Adam Curle : Teori dan praktek mediasai
Praktek mediasi yang telah ada sejauh sejarah manusia, diselipkan critical studies, diplomasi tingkat negara dan mediasi internasional membuat dari hari ke hari bertambahnya jumlah diplomat dan negosiator yang profesional. Dalam pandangan curle, untuk mewujudkan segitiga galtung yang terdiri dari 1, kontradiksi, attitude dan behaviour, 2, peace building, peace making dan peace keeping dan 3, kekerasan terstuktur, kekerasan yang membudaya dan kekerasan langsung harus dilaksanakan oleh multitrack diplomacy, dengan first track diplomacy yang dilakukan negara didukung oleh second track diplomacy yang dilakukan masyarakat publik.[13]
Tema negosiasi abad 20 menurut adam curle di identifikasi dengan multi track karena didalamnya terdapat empat elemen yakni, 1, sebagai mediator, 2, sebagai penukar informasi, 3, sebagai teman dalam resolusi konflik dan 4, sebagai agen yang memperluas mediasi secara aktif.[14]
c. Elise Boulding : Suara baru resolusi konflik
Elise Boulding menyuarakan pandangan masa depan di era 1970an dengan penuh keyakinan ia melihat fenomena yang ia sebut 200 year present yakni keadaan masyarakat publik yang mampu mendobrak cangkang privat, mereka akan semakin dekat dengan apa yang terjadi di dunia dan berpartisipasi dalam konstruksi yang damai dan toleran. Imajinasi sosialnya ditambahkan degan keyakinan terhadap berkembangnya civil society organization (CSO) dalam global civic culture di era 200 year present.
4. Rekonstruksi : Generasi keempat 1985 - 2005
Tahapan pada masa ini dinamakan sebagai tahap Tahap Rekonstruksi, tahapan ini menentukan karena sesuai dengan teoritis literatur terbaru yang paling tersedia dalam Studi Perdamaian dan Konflik, cukup banyak difokuskan pada penanganan efek pasca Perang Dingin di seluruh dunia. Pada tahap keempat resolusi konflik berdasar tradisi objektifis melalui pendekatan struktural dengan negosiasi dan mediasi yang dilakukan secara regional.
Resolusi konflik tidak mengharuskan solusi spesifik atau akhir agresif, tahapan resolusi konflik terbaru ini menghindari gaya solusi pemenang dan kalah untuk mengurai ketegangan konflik.[15]
BAB III
STUDI KASUS
1. Resolusi Konflik Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchand Gandhi atau Mahatma Gandhi adalah bapak bangsa Indoa yang memilih cara hidup dengan gaya India paling sederhana, paling primitif juga paling tradisional dalam melakukan pekerjaan fisik, ia berpantang nafsu birahi, juga bertahan menjalankan vegetarian. Selama hidupnya ia tidak memiliki jabatan apapun, di dalam hatinya hanya eksis persatuan bangsa dan peduli kehidupan rakyat.
India yang kala itu menghadapi persoalan rumit atas kebangsaan, keberagaman kepercayaan dan marga yang hidup terkotak-kotak, Gandhi menggunakan panji-panji kebenaran membuat semua orang India rela bersatu, prinsip non kekerasan yang di imani Mahatma Gandhi dikenal dengan Ahimsa (non violence)
12 Maret tahun 1930, Mahatma Gandhi memimpin sebuah gerakan perlawanan rakyat sipil untuk memprotes monopoli garam yang diberlakukan pemerintah Inggris di India. Aturan monopoli garam yang ditetapkan Inggris berisi larangan bagi rakyat India untuk mengumpulkan atau menjual garam dan paksaan untuk membeli garam dari Inggris yang telah dikenai bea pajak yang tinggi. Mengingat bahwa garam merupakan kebutuhan vital bangsa India, Mahatma Gandhi memimpin gerakan satyagraha (jalan menuju kebenaran) sebagai perlawanan rakyat sipil.
Pada tanggal 12 Maret 1930, Gandhi dan 78 pengikutnya melakukan pawai ke kota Dandi yang terletak di pantai Laut Arab yang berjarak 241 mil. Di sepanjang jalan, puluhan ribu rakyat India bergabung dalam pawai itu. Setelah mereka sampai ke kota Dandi, mereka memulai gerakan penyulingan garam dari laut. Gerakan ini dengan segera meluas ke seluruh India, termasuk kota pantai Bombay dan Karachi. Tentara Inggris pun turun tangan menghadapi perlawanan rakyat India ini dan menahan 60.000 orang, termasuk Gandhi. Namun, gerakan satyagraha terus berlangsung, sampai akhirnya Gandhi dibebaskan dan bersedia menghentikan gerakan itu dengan kompensasi akan diadakan konferensi untuk menentukan masa depan India.[16]
2. Resolusi Konflik Aceh
"Cara kita mengakhiri konflikyang selama 29 tahun di Aceh, ternyata menjadi rujukan pihak lain. Mereka datang kepada saya untuk bertanya cara menyelesaikan konflik, seperti yang terjadi Srilanka, Thailand Selatan dan juga Pilipina," (Hasan Wirayuda)
Masyarakat Aceh dan Indonesia dalam rapat PBB, sepanjang sejarah penanganan bencana alam, kegiatan rehab rekonstruksi yang dilakukan di Aceh merupakan yang terbaik di dunia untuk sementara ini. Karena itu, sangat tepat untuk melanjutkan kegiatan rehab rekonstruksi dan mengisi perdamaian Aceh dengan berbagai kegiatan yang bisa membuat Aceh menjadi lebih baik lagi.
Tidak sampai delapan bulan setelah tsunami, perdamaian terwujud di Aceh sehingga proses rekonstruksi dapat berjalan tanpa hambatan berarti. Tercapainya kesepakatan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 membuat Aceh menjadi provinsi paling aman bagi investasi. Pemerintah Aceh memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan kepada setiap investor yang ingin menanamkan investasinya di Aceh. [17]
[1] Oliver Rambotsham, Tom Wood House dan Hugh Miall, Conflict Resolution, Polity Press, 2005. Hal. 33
[2] Ibid, hal. 10
[3] Ibid, hal.34
[4] Ibid, hal.37
[5]Diakses dari, en.wikipedia.org/wiki/Nonviolence, pada Ahad 03 April 2011
[6] Diakses dari, en.wikipedia.org/wiki/Pacifism, pada Ahad 03 April 2011
[7] Oliver Rambotsham, Tom Wood House dan Hugh Miall, Conflict Resolution, Polity Press, 2005. Hal.40
[8] Ibid, hal. 41
[9] Ibid, hal. 42
[10] Ibid, hal. 47
[11] Galtung, Johan (1969), "Kekerasan, Perdamaian, dan Perdamaian Research", Journal of Peace Research, Vol. 6 (3), pp.167-191.
[12] Ibid, hal. 50
[13] Ibid, hal. 52
[14] Ibid, hal. 52
[15] Ibid, hal. 54
[16] Diakses dari, http://www2.irib.ir/worldservice/melayuRadio/kal_sejarah/maret/12maret.htm, pada ahad, 03 April 2011
[17] Diakses dari, http://www.acehforum.or.id/showthread.php/27449-Penyelesaian-Konflik-dan-Rekonstruksi-Aceh-Jadi-Rujukan-Negara-Lain pada ahad, 03 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar