Cari Blog Ini

ahlu sunah wal jama'ah (almaturidiah, bag 1)

A. WA WASAN UMUM AHLU SUNNAH WAL JAMAAH

Dalam kitab Al-,Mausu'ah al-Arabiyah al-Muyasarah sebuah Enseklopedi ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut "Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak-langkah yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w. dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu'). Sebagai bandingan Syi'ah. Diantara mereka ada yang disebut "Salaf', yakni generasi awal mulai dari para sahabat, Tabiin dan Tabi'ut Tabi'in, dan ada juga yang disebut "Kholaf”, yaitu gene¬rasi yang datang kemudian. Diantara, mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara, mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddidun) dan diantaranya lagi bersikap konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam".

Ahlu Sunnah artinya mereka yang mengikuti Sunnah dan maka otomatis mereka mengikuti Al-quran, sedangkan Jamaah artinya mereka yang mengikuti Ijma dan Qiyas.

Dalam kajian Ilmu Kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini sudah banyak dipakai sejak masa Sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal Jama'ah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain seperti Syi'ah, Khowarij, Murji'ah dan Mu'tazilah. Dan para Imam Madzhab Fiqih; seperti Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam As-Syafi'i (w..204 H) dan Imam Ibnu Hambal (w. 241 H) dikenal sebagai tokoh-tokoh Ahlussunnah, sebelum munculnya Imam Al-Asy'ari, Imam Al-Maturidi dan Imam At-Thohawi sebagai tokoh Mutakallimin (ahli Ilmu Kalam) dari kalangan Ahlussunnah pada abad ke-3 H. Sumber dari istilah tersebut oleh sebagian banyak para ahli diambil dari hadits Nabi s.a.w. yang menerangkan akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi, yang terjemahannya:

"Nabi SAW memberitahu.: Bahwa umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, yang selamat hanya satu, lainnya binasa. Beliau ditanya: Siapa yang selamat ?. Beliau menjawab :Ahlussunnah wal Jama'ah. Ditanya lagi: Siapa itu Ahlussunnah Wal Jama'ah ?. Beliau men­jawab.: Yang mengikuti apa yang says lakukan beserta Para sahabatku ".

Menanggapi hadits ini, para ulama berbeda pendapat, baik terhadap kekuatan hadits itu sendiri, maupun pengertian substansi dari apa yang terungkap dalam hadits tersebut.

Pertama : Apakah hadits tersebut cukup kuat digunakan sebagai dasar terhadap kriteria umat Islam, baik yang selamat maupun yang binasa ?

1.Kelompok pendapat Jumhur (mayoritas) Ulama : hadits ini cukup kuat, mengingat sumber sanadnya banyak dan dapat dinilai sebagai hadits mutawatir (banyak yang meriwayatkan). Diantara mereka adalah Imam Abdul Qohir Al-Baghdadi, dengan kitabnya Al-Farqu Baina al-Firoq. Juga Imam Abul Mudhaffar al-Isfarayini, penulis kitab At-Tabshir fi ad-Din. Juga Al-Qodli 'Adluddin Abdur Rahman Al-Iji dengan tulisannya Maqdlat al-Firqah an-Nadjiah.

2. Kelompok yang tidak menolak tapi juga tidak menggunakan. Diantara mereka adalah Imam Abul Hasan Al-Asy'ari, penulis Maqdlat al-Isldmiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. Beliau tidak menyebut-nyebut hadits tersebut. Juga Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Rozi, yang terkenal dengan Imam Ibnul Khothib, penulis kitab I’tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin, juga tidak merujuk ke hadits tersebut.

3. Kelompok yang mengganggap hadis itu lemah, meskipun sumber sanadnya banyak tetapi semuanya mengandung kelemahan, jadi tidak sahih. Oleh karenanya menolak menggunakan hadits tersebut sebagai dasar dan acuan. Diantara yang jelas-jelas menolak itu adalah Ibnu Hazm, tokoh madzhab Dhohiri dalam masalah fiqih, penulis kitab Al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa' wa an-Nihal.

Umumnya ulama dan cerdik cendekia di Indonesia, berpendapat, sebagaimana kelompok pertama, yakni menerima hadits itu dan menggunakannya sebagai dasar dan rujukan.

Namun Prof Dr. Abdul Halim Mahmud, dalam At-Tafkir al-Falsafi fi al-lslam, mengatakan bahwa ada hal yang lebih menyejukkan dari hadits Nabi Muhammad s.a.w., antara lain yang diriwayatkan oleh Imam As-Sya'roni dalarn al-Mizan-nya dari hadits Ibnu Najjar, yang dinilai sahih oleh Imam Hakim, yang terjemahannya sebagai berikut :

"Umatku akan terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan, semuanya masuk dalam surga kecuali satu ".

dalam riwayat yang lain dari Imam Ad-Dailami, teks hadits tersebut berterjemah:

"Yang binasa diantaranya ada satu (golongan) “.

Ada riwayat-riwayat lain yang serupa yang dikutip oleh Imam As-Sya'roni, dari hadits sahabat Anas bin Malik r.a. dengan menunjuk golongan Az-Zanadiqah (golongan zindiq) yang akan rusak dan tidak ada harapan masuk surga. Dan ada pula H.R Bukhori yang terjemahannya sebagi berikut:

“Semua umatku masuk syurga kecuali yang enggan. Orang yang taat kepadaku dia akan masuk syurga dan yang menyalahiku dia enggan”

Kedua : Apakah yang dimaksud dengan kata " Ummatiy " dalam hadits tersebut itu "Umat Dawah " (semua orang yang hidup sesudah Nabi Muhammad s.a.w. diutus sebagai Rasul Allah, baik dia itu menerima ajakan Nabi atau tidak setelah menerima dakwahnya) atau "Umat Ijabah" (semua orang yang hidup, setelah kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan dia menerima ajakan / dakwahnya, apapun kualitas penerimaan itu). Dalam pengertian "Umat Dawah", sama kedudukannya antara Abu Bakar as-Siddiq r.a., Umar bin Khattab r.a. dengan Abu Jahal maupun Abu Tholib, karena mereka sama-sama hidup setelah Nabi Muhammad s.a.w. mendakwahkan Islam, dan sama-sama mendengarkan atau mendapatkan dakwah tersebut. Bedanya, Abu Bakar as-Siddiq r.a. dan Umar bin Khattab r.a. menerima ajakan Nabi saw. menjadi mukmin dan muslim (umat dakwah dan umat ijabah), sedangkan Abu Jahal dan Abu Tholib tidak menerimanya (umat dakwah tapi bukan umat ijabah).

Ketiga : Apakah Iftiraq (perpecahan atau pengelompokan) disini berkaitan dengan ushuludin (Masalah Aqidah) atau dalam masalah Furu’uddin, yakni masalah fiqhiyah (hukum-hukum fiqih), atau masalah ijtima’iyah (masalah sosial) ?.

Jumhur Ulama (ulama mayoritas) berpendapat bahwa dalam kajian Ilmu kalam, masalah firqah (pengelompokan) yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah dalam masalah aqidah atau ushuluddin, bukan dalam masalah fiqhiyah (furu'iyah) maupun masalah-masalah Ijtimaiyah. Meskipun demikian ada implikasinya (keterkaitannya) dengan masalah-masalah diluar aqidah. Sebagai contoh, Syi'ah yang meyakini supremasi kepemimpinan pada keturunan Nabi Muhammad s.a.w. menganggap bahwa para imam mereka itu ma'shum (tidak bisa salah), ini jelas dapat berpengaruh dalam masalah ijtima'iyah, utamanya masalah politik dan pemerintahan. Juga mereka hanya menerima hadits-hadits yang sanadnya bersumber dari "ahlul bait" (lingkungan internal keluarga Nabi s.a.w.), padahal sebagian besar hadits justru dari sumber-sumber diluar ahlul bait. Akibatnya akan banyak berpengaruh dalam pandangan fiqihnya dan ijtimaiahnya.

Tapi seringkali dilingkungan masyarakat Indonesia, terdapat pernyataan-pernyataan yang menggunakan masalah khilafiyah fiqhiyah (perbedaan masalah fiqih) sebagai ukuran seseorang itu Ahlussunnah atau bukan. Misalnya mengatakan . Orang yang qunut pada shalat Subuh itu Ahlussunnah, dan kalau yang tidak mau membaca qunut pada waktu shalat Subuh itu bukan Ahlussunnah. Atau mengatakan : Orang yang tarawihnya 20 rak'at itu Ahlusunnah, sedangkan yang tarawihnya 8 rak'at itu bukan.

Pernyataan-pernyataan seperti itu, jelas tidak valid (tidak tepat) dan diluar konteks Ahlussunnah, karena hal tersebut masuk dalam kajian "Madzahib Fiqhiyah", bukan masalah Ushuluddin.

0 komentar:

Posting Komentar