Cari Blog Ini

implikasi negatif demokrasi

Implikasi Negatif Demokrasi Politik di Indonesia

  1. Hilang Kawan Sejati
  2. Penambahan Kekurangan
  3. Ilusi Keterwakilan
  4. Pemerintahan Oleh Sekelompok Kecil
  5. Sistem Partai yang Korup dan Melemahkan Bangsa.
  6. Demokrasi Menguras Harta
  7. Pemahaman Demokrasi Berbeda yang Membahayakan
  8. Menghalangi Perkembangan Sosial dan Intelektualitas

1. Hilang Kawan Sejati

Menurut saya yang terpenting dalam pemikiran pemimpin partai saat ini adalah menjadikan partai kendaraannya sebagai partai massa yang mengutamakan kuantitas, Ahli politik barat, Otto Kircheimer mengistilahkan keadaan ini dengan terjadinya partai yang Catch All-Party, keadaan ini hanya efek samping dari partai politik, masalahnya ialah ketika beban dan harapan telah dirasakan terlampau tinggi yang mengakibatkan kekecewaan maka mulailah kawan sejati lenyap, ketika masa Presiden Megawati, Laksamana Sukardi (Pimpinan partai Partai Demokrasi Pembaruan, disingkat PDP) adalah menteri satu partai Ibu Presiden, mereka biasa berbincang ringan berjam-jam. Namun nampaknya kini Laksamana Sukardi mulai mengkritik Ibu Presiden dan memulai jalan baru dengan mendirikan PDP. Begitu juga ketika dahulu keakraban para tokoh Partai Golongan Karya (GOLKAR) seperti Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Wiranto dan Prabowo sangat hangat namun kini mereka berjalan berjauh-jauhan dengan jalurnya masing-masing. Kejadian serupa juga dirasakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) , Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan sebagainya.

Inlah implikasi negatif dari demokrasi yang mengedepankan jaminan atas kebebasan umum, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berperilaku. Sebaiknya dalam keadaan apapun kita tetap menjaga kearifan lokal kita yang sangat berharga, diantaranya “silih asah, silih asuh, silih asih” (saling hormat, saling menjaga, saling sayang) atau bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

2. Penambahan Kekurangan

Penambahan kekurangan yang saya maksud terjadi dengan kritikan. Saya sempat mengikuti sebuah seminar nasional bertema “Masa Depan Indonesia, Pemilu 2009 memberi Harapan atau Tidak?” yang di adakan oleh BEM-Jurusan Syiasah Syariah(Hukum Ketatanegaraan Islam), Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta pada 03 Desember 2008 lalu, pada seminar nasional ini sebagai pembicara adalah Abdurrahman Wahid (mantan Presiden Republik Indonesia), Agus Chondro (mantan anggota DPR RI Fraksi PDI-P) dengan moderator Mustholih Borang (Dewan Syuro Partai Boenga), meski dalam seminar nasional ini Abdurrahman Wahid tidak dapat memenuhi undangan dengan alasan menjenguk adiknya, Fatimah Wahid yang sedang sakit, namun saya tetap senang dengan datangnya Agus Chondro yang masih hangat keluar-masuk media cetak dan elektronik atas dugaan korupsi, satu hal yang menarik adalah ketika Agus Chondro mengatakan PDI-P dan Demokrat sama-sama demokrasi tapi tidak akur, “lihat Mbak Mega meskipun sudah tidak jadi pemimpin (Presiden) namun tetap serasa menjadi pemimpin” kemudian ia juga mengatakan ”Mbak Mega dan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), mereka itu setiap hari bertengkar terus, seperti itu lho, Tom and Jery”.

Berdasarkan Informasi, Megawati dalam pidato politiknya di Denpasar, Bali, pada acara HUT ke-34 partai PDI-P, mengatakan pemerintahan Presiden SBY hanya pintar menebar pesona. Yang dibutuhkan padahal bagaimana pemerintah menebar karya. Kritik Megawati ini mendapat lawan setimpal ketika Presiden SBY mengatakan “Kalian jangan hanya bisa berkata saja, dan kemudian berpangku tangan. Yang penting bekerja untuk rakyat”. Pada momentum yang hampir bersamaan, muncul manuver politik serupa dari sejumlah tokoh yang tergabung dalam Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR) yang dipimpin Abdurahman Wahid, dengan inti menyampaikan rasa ketidakpuasannya terhadap kinerja pemerintahan SBY. Mereka membangun kekuatan massa untuk melakukan demonstrasi besar-besaran pada momentum peringatan peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1975). Mereka melakukan demonstrasi bergaya heroik dengan pemunculan istilah “pawai rakyat cabut mandat” dengan tulisan di sejumlah spanduk yang mendesak Presiden dan Wakilnya untuk segera turun dari kekuasaan, tidak mau ketinggalan para kandidat Presiden seperti Wiranto (Pimpinan Partai hati Nurani Rakyat) melakukan kritik akan kelemahan SBY lewat Iklan Breaking Hanura, yang akhirnya mengantar Wiranto untuk bersalaman kepada Andi Maralangeng sebagai wakil tangan SBY karena iklan ini kontroversial di kalangan publik.

Saya menyadari kritik termasuk dalam hakikat demokrasi. Namun persoalannya adalah bagaimana publik melancarkan dan menempatkan kritik, dan para pemimpin menanggapi kritik tersebut dalam koridor demokrasi. Kritik yang sejati benar adalah yang berhasil mengajak—bukan sekadar membuat hati tak senang—pihak yang dikritik untuk membenahi kekeliruan sesuai dengan tujuan kritik. Walaupun Mustahil di alam demokrasi, mendadak kritik para tukang kritik bisa menjadi mutlak sempurna hingga tidak senonoh dikritik.

3. Ilusi Keterwakilan

C. F. Strong menuliskan suatu konsep bahwa "representation is not the offspring of democracy itself but the offspring of a feudal system", yang artinya representasi adalah kepanjangan tangan dari oligarki. Sulit terlaksana 1 (satu) orang yang duduk di DPR bisa menyalurkan aspirasi 400.000 orang konstituennya. Apalagi nyatanya perlindungan atas hak minoritas juga ditentukan oleh mayoritas. Terlepas dari baik dan buruk dan bukan memberi lampu hijau pada hal ini namun hanya menunjukan fenomena yang terjadi. Parameter Pornografi, homosexuality/lesbianism, kebenaran dan kesalahan kebijakan selalu ditentukan oleh mayoritas. Selain itu kita juga mengenal "aturan hukum" ditentukan dari, oleh dan untuk rakyat, namun saya rasa masih ilusi belaka. Sekarang ini menurut catatan Ulil Abhar Abdala (pimpinan gerakan Jaringan Islam Liberal, disingkat JIL) ada 7000-an lebih peraturan dari tingkat undang-undang sampai keputusan presiden dan 2000-an perjanjian multilateral dan bilateral dan ia menulis “Saya nggak pernah sekalipun ditanya setuju apa nggak, Pemerintah seneng-seneng aja buat peraturan. Padahal, setiap satu peraturan yang keluar hakekatnya mengurangi hak-hak orang karena yang tadinya nggak diatur jadi diatur”.

4. Pemerintahan Oleh Sekelompok Kecil

Disini menegaskan demokrasi atas nama yang terdukung. Negara Indonesia yang memiliki populasi besar selalu melatih vote, tentu yang melatih vote adalah partai kepada para pemilihnya. Dalam demokrasi Indonesia yang keluar sebagai pemenang adalah mereka yang melewati angka pemilihan yang dibatasi sebagai juara. Mereka yang menang akan memimpin negara dan dibawah sistem ini sering terjadi mereka yang kalah tidak mendapatkan vote maka tidak mendapatkan kepuasan. Partai minoritas ini kemudian cenderung bersatu sebagai oposisi dan masuk keistilah golongan sayap kiri. Dari sinilah maka mereka yang menang jadi pemerintahan kecil yang seolah menjauhi mereka yang sayap kiri. Perkiraan inilah yang ditakutkan para ahli akan terjadi dalam pesta demokrasi 2009 di Indonesia.

5. Sistem Partai yang Korup dan Melemahkan Bangsa
Demokrasi berbasis atas sistem partai. Partai- partai dipandang sangat diperlukan untuk kesuksesan demokrasi, akan tetapi sistem partai telah merusak demokrasi dimana-mana. Partai-partai meletakkan perhatian utama mereka sendiri daripada bangsa mereka, semua perlengkapan institusional dan ideologi orang-orang yang berhak memilih dalam pemilihan sering dilanjutkan dengan korup (busuk). Mereka menganjurkan ketidak tulusan, mengacaukan persatuan bangsa, menyebarkan dusta dan merendahkan standar rakyat. Penguasa dari partai A akan berteman dekat dengan pengusaha yang menopang partai A. Sistem partai menciptakan kelompok politik professional, kebanyakan nantinya mereka tidak mampu bekerja secara serius dan membangun.

Mereka tumbuh berkembang diatas ketidak sadaran pemilih yang berhasil mereka tipu dan dimanfaatkan. Mereka selalu menciptakan kepalsuan pokok persoalan, untuk menjaga bisnis yang berjalan, mereka tidak hanya memonopoli kekuatan, akan tetapi menguasai juga wibawa sosial. Akhirnya, rakyat sibuk dalam profesi yang beragam dan lapangan kerja yang timbul berjenis dalam kondisi yang rumit dan terlelap didalam pekerjaan mereka masing-masing.

6. Demokrasi Menguras Harta

Propaganda partai dan sering mengunjungi pemilih membutuhkan pengeluaran yang besar. Sebagai contoh nyata yang saya alami sendiri adalah telah tiga partai politik yang secara langsung mengorbankan kas uangnya dan diberikan untuk saya. Saya mendapat uang terima kasih ketika saya bermain ke kantor cabang suatu partai, begitu juga ketika saya hendak mengisi formulir partai dan terakhir saya mendapat piagam penghargaan karena opini saya mengenai kemiskinan. Semuanya didapatkan dari 3 (tiga) partai yang berbeda. Keseluruhan jumlah uang yang sangat besar ini dikeluarkan atas dasar berkampanye dan jumlah ilmu perawatan.

Partai yang sangat sering menggunakan media elektronik untuk propagandanya ialah Partai Gerindra (Gerakan Indonesia raya) dan PAN (Partai Amanat Nasional). Prabowo (Pimpinan Partai Gerindra) menjual saham yang ditanamnya di Uzbekistan dengan nilai sekitar Rp. 50.000.000.000 (lima puluh miliar Rupiah) untuk membiayai kampanyenya, Sutrisno Bachir (Pimpinan PAN) yang juga merupakan juragan nomor satu kain batik pekalongan telah mengeluarkan sekitar Rp.2.000.000.000 (dua miliar Rupiah) untuk membiayai kampanyenya

Dapat disimpulkan dan ditakutkan bila kesimpulannya benar, uang adalah kekuatan yang menyesatkan administrasi dan perundang-undangan, uang cenderung untuk membuat demokrasi sebagai profesi yang menguntungkan dan keroyalan didalam administrasi itulah yang diharapkan ketika seorang terpilih menang, demi menutup nilai Rupiah yang dikeluarkan saat kampanye.

7. Pemahaman Demokrasi Berbeda yang Membahayakan

Indonesia memiliki berbagai keragaman, termasuk dalam keberagaman menanggapi demokrasi, khususnya, hal ini terlihat jelas dalam muslimin di Indonesia. Dari analisa sederhana, terbagi dua kelompok besar yang mengomentari demokrasi, kelompok pertama adalah mereka yang sejalan dengan Muhammad Natsir mengatakan bahwa Islam tidak bisa menyerahkan segala urusan manusia kepada demokrasi, karena ada banyak hal yang secara qat'i (pasti) sudah diatur oleh syari'ah, dan kelompok kedua adalah mereka yang sependapat dengan Nurcholish Majid atau dijuluki Natsir Muda, ia mengatakan bahwa Islam berprinsip demokrasi, dengan catatan demokrasi ini memiliki rumah yang disebut masyarakat madani (civil society). Perbedaan ini besar kemungkinan terjadi dilandasi sendi pokok dari demokrasi yaitu Vox Populi Vos Deiyang artinya suara rakyat adalah suara tuhan.

Perbedaan prinsip ini memang dirasakan masih pada tahap normal, namun saya kira penting diadakan dialog mengenai demokrasi kepada muslimin Indonesia agar mencapai suara yang jelas mengenai demokrasi, karena dari bentroknya pemahaman demokrasi ini bisa jadi Indonesia mengarah pada disintegrasi.

8. Menghalangi Perkembangan Sosial dan Intelektual

Mao CheThung (legenda komunis Negara China) pernah berkata “yang berbicara patut waspada dan yang mendengar patut waspada”. Di Indonesia terjadi berbagai implikasi negatif seperti saya sebutkan diatas, sehingga tentu perkembangan Sosial dan Intelektual bangsa kita terhalangi. Inilah implikasi terburuk yang mungkin terjadi.

PENUTUP

Semua implikasi negatif yang terjadi ini dikarenakan karena rumah demokrasi Indonesia yaitu masyarakat madani (civil society) belum tertata rapih. Solusi untuk membendung semua implikasi negatif ini ialah kita berjuang menata rapihkan rumah demokrasi Indonesia dengan masyarakat madani.

0 komentar:

Posting Komentar