Cari Blog Ini

Pesantren Kilat di Russia II



Resolusi Konflik Bentuk dan Perkembangan

BAB I
PENDAHULUAN
Ide apa yang kita dapatkan dari quote jurnal ilmiah mengenai resolusi konflik ini ?
“The reasons which have led us to this enterprise may be summed up in two propositions. The first is that by far the most important practical problem facing the world today is that of international relations, more specifically the prevention of global war. The second is that if intellectual progress is to be made inthis area, the study of international relations must be made an interdisciplinary enterprise, drawing its discourse from all the social sciences and even further.”
“Alasan yang menyebabkan kegigihan kami ini dapat diringkas dalam dua proposisi. Yang pertama adalah bahwa sejauh ini masalah praktis yang paling penting yang dihadapi dunia saat ini dalam hubungan internasional, lebih spesifik kepada mencegah perang global. Yang kedua adalah jika kemajuan intelektual harus dilakukan, studi hubungan internasional harus dilakukan secara interdisipliner, dengan menggambar wacana dari semua ilmu sosial dan bahkan lebih lanjut.”
Kenneth Boulding on the publication of the first issue of the journal of conflict resolution, 1957
“The threat of nuclear holocaust remains with us and may well continue to do so for centuries, but other problems are competing with detterence and disarmament studies for our attention. The journal must also attend to international conflict over justice, equality and human dignity, problems of conflict resolution for ecological ballance and control are within our proper scope and especially suited for interdiscilinary attention.”
“Ancaman bencana nuklir tetap bersama kita dan mungkin terus mengiringi selama berabad abad, namun masalah lain yang bersaing dalam perhatian kita ialah pencegahan konflik (detterence) dan perlucutan senjata (disarmament). Jurnal ini harus menghadirkan konflik internasional dengan menjunjung keadilan, kesetaraan dan martabat manusia, masalah resolusi konflik untuk keseimbangan ekologi dan kontrol ekologi, kini sangat cocok untuk diperhatian secara interdisipliner.”

Journal of conflict resolution, 1973
Pada bahasan kali ini, kita akan membahas mengenai sejarah evolusi dari resolusi konflik. Berdasar evolusi sejarah, Resolusi konflik terbagi melalui 5 (lima) tahap dalam perkembangan generasi dan praktisnya.
1. Generasi pertama melalui pendekatan state-centric
2. Generasi kedua melalui pendekatan state-centric
3. Generasi ketiga melalui pendekatan yang berkembang pada civil society dan berkurangnya state centric
4. Generasi Keempat melalui pendekatan yang berkonstruksi pada arsitektur kompleks dan komplementar. Hal ini terkait dari civil society, negara dan hingga tingkatan lintas regional atau internasional.
5. Generasi Kelima, sebagaimana diramalkan dalam buku ini, dimungkinkan sekali terdapat aliran baru dalam teori dan aksi resolusi konflik sesuai perkembangan.
Resolusi konflik berkembang sebagai pengusahaan yang berasosiasi normatifd dengan tiga tingkatan promosi perdamaian. Pertama, melalui reformasi radikal dalam sistem politik dunia, Kedua, melalui promosi sikap bersama (inklusif) politik anti perang dan pro perdamaian, Ketiga, melalui pembentukan metodologi dan proses yang memberikan kesempatan untuk protes terhadap pengambil keputusan. Proyek yang proaktif telah menjadi bahasan behavioural, attitude dan struktural/elemen objek dalam model segitiga galtung (terdapat tiga model segitiga galtung yakni 1, kontradiksi, attitude dan behaviour, 2, peace building, peace making dan peace keeping dan 3, kekerasan terstuktur, kekerasan yang membudaya dan kekerasan langsung).
BAB II
PEMBAHASAN
Sejumlah individu di Amerika Utara dan Eropa mulai membentuk kelompok-kelompok penelitian pusat formal di institusi akademik dan jurnal profesional untuk mengembangkan ide-ide baru. Profesi hubungan internasional memiliki kategori sendiri untuk memahami konflik internasional dan resolusi konflik perlu kombinasi analisis dan praktek yang tersirat dalam ide-ide baru. Namun, pada tahun 1970-an dan 1980-an ide-ide baru mulai lahir dan jumlah jurnal ilmiah lembaga meningkat pesat. Lembaga-lembaga yang berbeda juga mulai mempelajari krisis internasional, perang internal, konflik sosial dan pendekatan mulai dari negosiasi dan mediasi untuk game eksperimental.
1. Pencetus : Generasi Pertama, 1918 – 1945
Studi perdamaian dan tantangan dalam tatanan dunia tercetus melalui gagalnya perdamaian dalam dunia internasional dalam perang dunia pertama. Motivasi yang ditimbulkan membuat banyak masyarakat mengikuti perkembangan dasar untuk pencegahan perang dimasa yang akan datang, hal ini direspon bangkitnya gerakan sentimental dan gerakan moral pasifisme.
Meski institusi perdamaian belum berdiri sebelum 1945, namun perkembangan yang berelasi dengan pembentukan program studi HI dalam disiplin akademik telah hadir dan dipelajari lebih dulu. Program studi HI muncul pertama di University College of Wales, Aberystwyth pada tahun 1919. Inisiatif anti perang menginspirasi studi perdamaian, dalam era perang dunia pertama Inggris, Eropa dam Amerika Utara terus mengembangkan studi HI dengan aspirasi idealis demi mempromosikan perdamaian internasional.
Holsti memandang dalam era ini berkembang pemetaan perang dan perdamaian terkait dalam : governance, legitimacy, assimilation, a detterence system, conflict resolving procedurs and institusi, konsensus, prosedur perubahan perdamaian dan antisipasi isu dengan pengelolaan norma.
Terdapat perbedaan yang menarik diantara peneliti perdamaian dan aktivis perdamaian. Untuk mengembangkan tujuan yang sama dalam resolusi konflik para peneliti menggunakan ilmu Hi sedang aktivis perdamaian menggunakan non-violence dan pasifisme. Non-violence adalah filosofi dan strategi perubahan sosial yang menolak adanya penggunaan kekerasan. Tanpa adanya kekerasan merupakan sebuah alternatif untuk penolakan pasif penindasan atau perjuangan bersenjata. Sedangkan pasifisme mencakup pandangan bahwa pertikaian internasional harus diselesaikan secara damai, panggilan untuk penghapusan lembaga militer, lembaga perang, organisai yang saling beroposisi melalui kekuatan pemerintah melalui penolakan penggunaan kekerasan fisik untuk mencapai tujuan politik, ekonomi dan sosial.
Pemikir non-violence percaya kerjasama dan persetujuan adalah akar dari kekuasaan politik rezim, birokrasi, lembaga keuangan, lembaga senjata, dan masyarakat. Pada tingkat nasional, strategi non-violence berusaha untuk melemahkan kekuatan penguasa dengan mendorong orang untuk menarik persetujuan mereka dan ikut dalam kerjasama. Bentuk-bentuk strateginya mengambil inspirasi dari keyakinan agama atau etika analisis politik.
Konsep dasar non-violence adalah untuk menciptakan politik sosial yang dapat mempengaruhi perubahan sosial tanpa harus menang atas mereka yang ingin mempertahankan status quo. Dalam demokrasi industri modern, non-violence telah digunakan secara luas oleh sektor politik tanpa kekuasaan politik mainstream seperti tenaga kerja, lingkungan perdamaian, dan gerakan perempuan. Peran yang tanpa kekerasan itu telah memainkan peran dalam melemahkan kekuatan rezim politik represif dinegara berkembang.
Berbeda dengan prinsip non-violance, pasifisme memiliki prinsip non-agresi yang menolak inisiasi kekerasan, tetapi tetap ada izin penggunaan kekerasan untuk membela diri. Orang-orang yang mendukung prinsip non-agresi mengklaim bahwa larangan moral penggunaan kekerasan dari etika argumentasi, yakni hanya berlaku ketika orang-orang menggunakan argumentasi untuk memecahkan perselisihan, bila ada kekerasan maka pembelaan diri tidak ditolak secara moral.
2. Pembentukan : Generasi kedua 1945-1965
Perkembangan studi perdamaian terus berkembang hingga akhir perang dunia kedua pada tahun 1945. Ancaman nuklir pada era ini masuk menggantikan ancaman penting yang baru. Institusi perdamaian dan konflik dibentuk oleh Theodore F Lentz di St. Louis, Missouri, AS yang menurapakan institusi penelitian perdamaian dan konflik pertama yang bergerak pada periode 1945-1965. Lentz berpendapat bertambahnya power secara fisik tanpa bertambahnya ilmu pengetahuan tidak akan melahirkan harmoni. Tidak hanya masyarakat yang kapabel yang harus harmoni, namun nilai kemanusiaan membentuk tanggung jawab bersama, pada eranya pendapat ini menjadi usaha resolusi konflik universitas michigan.
a. Kenneth Boulding, Michigan dan Journal of Conflict Resolution
Kenneth Boulding lahir di Liverpool, Inggris 1910. Ia adalah tokoh yang termotivasi terhadap nilai tatakrama dan spiritual, ia adalah seorang anggota Society of Friends (Quakers) dan profesional ekonomi. Ia pindah ke Amerika pada 1937 menikahi Elise Bjorn Hansen pada 1937 dan memulai berkontribusi bersama pada studi perdamaian dan resolusi konflik ketika menjadi profesor ekonomi di universitas michigan.
Bersama para akademisi lintas disiplin seperti ahli matematika dan biologi Anatol Rapoport, ahli psikologi sosial Herbert Kelman dan sosiolog Robert Colley Angell, dia mendirikan Journal of Conflict Resolution pada 1957 dan mendirikan pusat kajianya pada 1959. Journal of Conflict Resolution menawarkan solusi mencegah perang dengan mencari dan menunjukan data sosial untuk memperngaruhi masyarakat dalam kampanye mencegah perang, Journal of Conflict Resolution melakukan peringatan dini (early warning).
Kenneth Boulding berpendapat bahwa disiplin hubungan internasional fokus pada masalah mencegah perang, hal ini disebabkan oleh kegagalan dari disiplin hubungan internasional sendiri mencegah perang. Ia berpendapat jika perang merupakan hasil dari karakteristik yang melekat dalam sistem negara berdaulat maka reformasi organisasi internasional dan pengembangan kemampuan penelitian informasi menjadi salah satu cara mencegahnya.
b. Johan Galtung dan resolusi konflik di Eropa Utara
Seiring kampanye Journal of Conflict Resolution di Michigan, studi perdamaian dan resolusi konflik berkembang pula di Eropa, tepatnya di wilayah Skandinavia atau Eropa utara. Johan Galtung seorang ahli filsafat, sosiologi dan matematika, ia mendapat gelar profesor sosiologi dari universitas columbia. Pada tahun 1960 ia kembali ke oslo dan mengembangkan Institut Penelitian Sosial Universitas Oslo.

Galtung mengartikulasikan perbedaan antara kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan budaya. Kekerasan langsung diakhiri dengan merubah prilaku konflik, kekerasan struktural diakhiri dengan menghapus ketidakadilan struktural, dan kekerasan budaya diakhiri dengan merubah sikap. Galtung melihat bahwa berbagai penelitian perdamaian itu menjangkau pencegahan perang yang mencakup studi tentang kondisi bagi hubungan damai. Perdamaian positif disini adalah bentuk empati dan solidaritas masyarakat, prioritas menangani kekerasan struktural dengan mengungkapkan dan mengubah struktur imperialisme dan penindasan, serta pentingnya mencari nilai-nilai alternatif non kosmologi barat.
c. John Burton dan paradigma baru dalam international studies
John burton lahir di Australia pada 1915, pendidikannya diselesaikan di london school of economics. Pada pertengahan 1980an ia mengabdikan diri pada universitas maryland dan bersama Edward Azar, ia membidani Center for International Development and Conflict Management.
Burton dikenal dengan teori Teori Kebutuhan Manusia (Protacted Social Conflict), Teori ini menyatakan bahwa kebutuhan dasar manusia adalah unsur mutlak dalam pemenuhan kesejahteraan manusia. Konflik dan kekerasan akan muncul apabila satu pihak merasa bahwa kelompok lain menghalangi pemenuhan kebutuhannya. Burton membedakan antara pertikaian (dispute), yang merupakan adanya perebutan material yang masih dapat di negosiasikan. Sedangkan konflik (conflict) adalah suatu kekurangan dalam kebutuhan dasar manusia yang sudah berada dalam taraf tidak bisa di negosiasikan.
Konflik identitas menurut Burton merupakan kebutuhan yang tidak dapat di negosiasikan karena identitas merupakan hal yang bersifat mendasar. Untuk melakukan resolusi konflik maka yang harus diupayakan pertama kali adalah terciptanya kondisi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik untuk saling memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara konstruktif. Untuk mengurangi timbulnya kekerasan dan konflik terbuka Burton mengusulkan dilakukannya langkah ”provention” yaitu suatu upaya untuk menghilangkan sumber konflik dan secara lebih proaktif mempromosikan lingkungan yang positif untuk memungkinkan masyarakat secara konstruktif memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
3. Konsolidasi : Generasi ketiga 1965 -1985
Tahap konsolidasi ini ditandai oleh radikalisasi penelitian perdamaian di Eropa. Simbol yang bergerak pada waktu itu adalah konsep galtung tentang kekerasan. Konsep dasarnya adalah bagaimana pengurangan penggunaan kekerasan dari segala jenis. Karena pada dasarnya manusia itu memiliki kecenderungan untuk bekerjasama bukan hanya inheren, sebuah penelitian difokuskan pada potensi untuk kerjasama bukan hanya pada studi konflik kekerasan.
a. The Harvard School : Problem solving dan prinsip negosiasi
Berkembangnya konflik dan problem solving antara Malaysia Singapura, Malaysia Indonesia dan Siprus Turki Siprus Yunani membuat The London Group, sebuah organisasi dari program konflik dan resolusi konflik internasional di Harvard mengembangkan workshop-workshopnya. Organisasi ini juga konsen terhadap perang arab israel 1974 hingga 1993. Harvard program diwakili Roger Fisher dan Willian Ury mengedepankan negosiasi yang populer melalui karya best selling berjudul Getting To Yes (1981) dan Negotiation Journal, negosiasi akan melahirkan keuntungan di kedua pihak.
b. Adam Curle : Teori dan praktek mediasai
Praktek mediasi yang telah ada sejauh sejarah manusia, diselipkan critical studies, diplomasi tingkat negara dan mediasi internasional membuat dari hari ke hari bertambahnya jumlah diplomat dan negosiator yang profesional. Dalam pandangan curle, untuk mewujudkan segitiga galtung yang terdiri dari 1, kontradiksi, attitude dan behaviour, 2, peace building, peace making dan peace keeping dan 3, kekerasan terstuktur, kekerasan yang membudaya dan kekerasan langsung harus dilaksanakan oleh multitrack diplomacy, dengan first track diplomacy yang dilakukan negara didukung oleh second track diplomacy yang dilakukan masyarakat publik.
Tema negosiasi abad 20 menurut adam curle di identifikasi dengan multi track karena didalamnya terdapat empat elemen yakni, 1, sebagai mediator, 2, sebagai penukar informasi, 3, sebagai teman dalam resolusi konflik dan 4, sebagai agen yang memperluas mediasi secara aktif.
c. Elise Boulding : Suara baru resolusi konflik
Elise Boulding menyuarakan pandangan masa depan di era 1970an dengan penuh keyakinan ia melihat fenomena yang ia sebut 200 year present yakni keadaan masyarakat publik yang mampu mendobrak cangkang privat, mereka akan semakin dekat dengan apa yang terjadi di dunia dan berpartisipasi dalam konstruksi yang damai dan toleran. Imajinasi sosialnya ditambahkan degan keyakinan terhadap berkembangnya civil society organization (CSO) dalam global civic culture di era 200 year present.

4. Rekonstruksi : Generasi keempat 1985 - 2005
Tahapan pada masa ini dinamakan sebagai tahap Tahap Rekonstruksi, tahapan ini menentukan karena sesuai dengan teoritis literatur terbaru yang paling tersedia dalam Studi Perdamaian dan Konflik, cukup banyak difokuskan pada penanganan efek pasca Perang Dingin di seluruh dunia. Pada tahap keempat resolusi konflik berdasar tradisi objektifis melalui pendekatan struktural dengan negosiasi dan mediasi yang dilakukan secara regional.
Resolusi konflik tidak mengharuskan solusi spesifik atau akhir agresif, tahapan resolusi konflik terbaru ini menghindari gaya solusi pemenang dan kalah untuk mengurai ketegangan konflik.














BAB III
STUDI KASUS
1. Resolusi Konflik Mahatma Gandhi
Mohandas Karamchand Gandhi atau Mahatma Gandhi adalah bapak bangsa Indoa yang memilih cara hidup dengan gaya India paling sederhana, paling primitif juga paling tradisional dalam melakukan pekerjaan fisik, ia berpantang nafsu birahi, juga bertahan menjalankan vegetarian. Selama hidupnya ia tidak memiliki jabatan apapun, di dalam hatinya hanya eksis persatuan bangsa dan peduli kehidupan rakyat.
India yang kala itu menghadapi persoalan rumit atas kebangsaan, keberagaman kepercayaan dan marga yang hidup terkotak-kotak, Gandhi menggunakan panji-panji kebenaran membuat semua orang India rela bersatu, prinsip non kekerasan yang di imani Mahatma Gandhi dikenal dengan Ahimsa (non violence)
12 Maret tahun 1930, Mahatma Gandhi memimpin sebuah gerakan perlawanan rakyat sipil untuk memprotes monopoli garam yang diberlakukan pemerintah Inggris di India. Aturan monopoli garam yang ditetapkan Inggris berisi larangan bagi rakyat India untuk mengumpulkan atau menjual garam dan paksaan untuk membeli garam dari Inggris yang telah dikenai bea pajak yang tinggi. Mengingat bahwa garam merupakan kebutuhan vital bangsa India, Mahatma Gandhi memimpin gerakan satyagraha (jalan menuju kebenaran) sebagai perlawanan rakyat sipil.
Pada tanggal 12 Maret 1930, Gandhi dan 78 pengikutnya melakukan pawai ke kota Dandi yang terletak di pantai Laut Arab yang berjarak 241 mil. Di sepanjang jalan, puluhan ribu rakyat India bergabung dalam pawai itu. Setelah mereka sampai ke kota Dandi, mereka memulai gerakan penyulingan garam dari laut. Gerakan ini dengan segera meluas ke seluruh India, termasuk kota pantai Bombay dan Karachi. Tentara Inggris pun turun tangan menghadapi perlawanan rakyat India ini dan menahan 60.000 orang, termasuk Gandhi. Namun, gerakan satyagraha terus berlangsung, sampai akhirnya Gandhi dibebaskan dan bersedia menghentikan gerakan itu dengan kompensasi akan diadakan konferensi untuk menentukan masa depan India.

2. Resolusi Konflik Aceh
"Cara kita mengakhiri konflikyang selama 29 tahun di Aceh, ternyata menjadi rujukan pihak lain. Mereka datang kepada saya untuk bertanya cara menyelesaikan konflik, seperti yang terjadi Srilanka, Thailand Selatan dan juga Pilipina," (Hasan Wirayuda)
Masyarakat Aceh dan Indonesia dalam rapat PBB, sepanjang sejarah penanganan bencana alam, kegiatan rehab rekonstruksi yang dilakukan di Aceh merupakan yang terbaik di dunia untuk sementara ini. Karena itu, sangat tepat untuk melanjutkan kegiatan rehab rekonstruksi dan mengisi perdamaian Aceh dengan berbagai kegiatan yang bisa membuat Aceh menjadi lebih baik lagi.
Tidak sampai delapan bulan setelah tsunami, perdamaian terwujud di Aceh sehingga proses rekonstruksi dapat berjalan tanpa hambatan berarti. Tercapainya kesepakatan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 membuat Aceh menjadi provinsi paling aman bagi investasi. Pemerintah Aceh memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan kepada setiap investor yang ingin menanamkan investasinya di Aceh.

Arms Trafficking dan Gunrunner di Somalia

Arms Trafficking dan Gunrunner di Somalia

A. Profil Negara Somalia

Setelah Inggris menarik diri dari British Somaliland pada tahun 1960 maka pihak protektorat baru bergabung dan membentuk Somaliland Italia yang kemudian membentuk negara baru Somalia. Pada tahun 1969, sebuah kudeta yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre mengantarkan ke dalam aturan sosialis otoriter. Setelah runtuhnya rezim otoriter Mohamed Siad awal tahun 1991, Somalia memasuki era kekacauan, pertempuran antarfaksi, dan anarki.

Pada bulan Mei 1991, klan utara yang independen mengumumkan Republik Somaliland. Meskipun tidak diakui oleh pemerintah apapun, entitas ini telah mempertahankan stabilitas dan terus berupaya untuk mendirikan sebuah negara demokrasi. Daerah utara lain meliputi Bari, Nugaal, dan Mudug utara mendirikan negara semi-otonom Puntland, yang telah berpemerintahan sendiri sejak tahun 1998 namun tidak bertujuan pada kemerdekaan, tetapi membuat langkah menuju rekonstruksi pemerintah, hal inilah yang menyebabkan Somalia sulit mengajukan perwakilan yang sah.

Awal tahun 1993, upaya kemanusiaan PBB selama dua tahun bisa meringankan kondisi kelaparan, tetapi ketika PBB menarik diri pada tahun 1995, korban menderita dan keberhasilan ketertiban masih belum dipulihkan. Pada tahun 2000, Somalia National Peace Conference (SNPC) yang diselenggarakan di Djibouti menghasilkan pembentukan pemerintah sementara, yang dikenal sebagai Transitional Federal Government (TNG).

Pada bulan Oktober 2004 Abdullahi Ahmed Yusuf terpilih sebagai Presiden pemerintah interim kedua, namun Republik Somalia pada tahun 2009 mengalami krisis yang memaksanya mundur dan oposisi sangat gencar melawannya dalam Alliance for the Re-Liberation of Somalia (ARS) masuk dalam pemerintahan. Meski pembentukan pemerintah persatuan TFG-ARS terlaksana namun kini tetap saja Somalia dalam kesulitan menghadapi kemajuan oposisi dari Islamic Courts Union (ICU) dan perang saudara serta perompak bajak laut Somalia.[1]

B. Arms Trafficking dan Gunrunner di Somalia

Mengutib analisa Pengamat timur tengah Dina Y. Sulaeman yang merujuk analisis William Engdahl dari Global Research. Menurut Engdahl, AS yang melancarkan serangan ke Yaman dengan alasan ‘mengejar Al Qaeda’, sesungguhnya menghendaki perubahan rezim di sana. Yaman berbatasan dengan Arab Saudi di utara, Laut Merah di Barat, Teluk Aden dan Laut Arab di selatan, di seberang Teluk Aden ada Somalia serta Jibouti. Di sebelah Jibouti berderet Eritrea, Sudan, dan Mesir. Dengan demikian, semua negara itu (Arab Saudi, Mesir, Somalia, Jibouti, Eritrea, Sudan dan Yaman) saling berhadapan dengan Selat Mandab (Bab el Mandab) di laut Aden yang super-strategis karena dilewati tanker-tanker untuk melewati Kanal Suez, dan menuju Mediterania.

Engdahl kemudian menyoroti kasus bajak laut Somalia yang membuat kacau di Selat Mandab selama dua tahun terakhir. Pertanyaannya : bagaimana mungkin bajak laut dari Somalia, sebuah negara yang berada di nomor teratas dalam list ‘negara gagal’ (failed state) sampai punya senjata dan logistik yang canggih, sampai-sampai dalam dua tahun terakhir mampu membajak 80 kapal dari berbagai negara? Bahkan pembajak Somalia itu memakai gaya-gaya penjahat di negara maju: menelpon langsung kantor koran Times di Inggris, untuk informasi internasional. Saat ini, tercatat ada 56 kapal asing yang masih berada dalam ‘tawanan’ pembajak Somalia beserta 800-an awak kapalnya. Selain kapal Indonesia “Sinar Kudus”, ada kapal FV NN Iran yang ditawan sejak 2 Maret 2009 bersama 29 krunya.

Merajalelanya perompak Somalia di Selat Mandab memberi alasan kepada AS untuk menaruh kapal perangnya di sana. Pemerintah Mesir, Sudan, Jibouti, Eritrea, Somalia, Arab Saudi, sudah terkooptasi oleh AS sehingga diperkirakan tidak akan memberikan reaksi negatif bagi militerisasi AS di Selat Mandab. Kini, masih ada satu negara di sekeliling Selat Mandab yang masih perlu ditaklukkan: Yaman dibawah Presiden Ali Abdullah Saleh.[2]

Analisis Engdahl ini terasa tepat dengan pernyataan pejabat Interpol Internasional. Menurut mereka, aksi-aksi pembajakan di lepas laut Somalia dikontrol oleh sindikat kriminal, termasuk orang-orang asing (non-Somalia) yang tergiur oleh kesempatan untuk mendapatkan uang tebusan multi-juta dollar. Para pembajak itu memiliki senjata-senjata dan alat pendeteksi yang sangat canggih sehingga mereka mampu melakukan pembajakan di perairan dengan jarak yang sangat jauh, bahkan mencapai 1.200 nautical mil (=1380,935 mil) di lepas pantai Somalia.

Mick Palmer, pejabat Interpol dari Australia, menyatakan bahwa ada bukti yang jelas, yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kecanggihan perlengkapan yang dimiliki para pembajak. “Jadi mereka mendapatkan bantuan yang sangat canggih dalam mendeteksi keberadaan kapal-kapal perdagangan besar,” kata Palmer. Tak heran bila Jean-Michel Louboutin, direktur eksekutif kepolisian di Interpol yang berbasis di Prancis menegaskan, “Ini adalah kejahatan yang terorganisasi.”

Lebih jauh lagi, pejabat Interpol itu menjelaskan bahwa pembajak laut Somalia sebenarnya hanya mendapatkan sebagian kecil dari uang tebusan. Rata-rata, setiap dua juta dollar yang mereka dapatkan sebagai uang tebusan, hanya 10.000 dollar yang masuk ke kantong mereka. Sisanya, masuk ke kantong sindikat kriminal. Setengah juta dollar akan diambil oleh orang yang menghantarkan tebusan (biasanya diantarkan dengan helikopter yang mendarat di atas kapal yang dibajak) dan setengah juta dollar lagi diambil oleh negosiator.

Dengan tegas Palmer menyatakan, “Ini adalah sebuah industri besar. Besar sekali uang yang bisa dihasilkan dari pembajakan. Tetapi, para pembajak itu sendiri, banyak di antara mereka adalah remaja miskin, hanya mendapat sebagian kecil saja dari uang itu.”[3]

Perang Arab-Israel

PENDAHULUAN
Timur tengah adalah suatu wilayah yang tidak asing lagi dalam perdebatan dunia internasional. Nama Timur Tengah seringkali diidentikkan dengan Arab dan Arab sering kali diidentikkan dengan Islam.
Definisi tentang apa dan di mana wilayah Timur Tengah itu, hingga kini masih menjadi perdebatan panjang di antara para ahli. Pendapat pertama menyatakan, bahwa wilayah Timur Tengah adalah negara-negara Arab non-Afrika ditambah dengan Iran dan Israel. Dengan definisi ini, negara-negara Arab yang terletak di Afrika Utara, seperti Mesir, Libya, Maroko, dan Aljazair tidak oleh David E. Long dan Benard Reich.
Sedangkan pendapat kedua mengartikan Timur Tengah adalah negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab ditambah Iran, Israel, dan Turki. Pandangan ini antara lain dianut oleh Roy R. Anderson, Robert F. Seibert, Jon G. Wagner, dan Robert O. Freddman. Sedangkan pendapat ketiga adalah yang memasukkan negara-negara seperti Afghanistan, Pakistan, bahkan negara-negara Asia Tengah bekas Soviet, ke dalam wilayah timur tengah. Hal in terlihat anatar lain dalam majalah The Middle East (terbitan Inggris) dan The Middle East Journal (terbitan Amerika Serikat).
Dalam makalah ini akan kita analisa politik luar negeri dan keamanan Arab Saudi dan Mesir dalam perang Arab-Israel dan apakah kebijakan tersebut dipengaruhi rasa nasionalisme, pan-arabisme atau pan-islamisme.
PEMBAHASAN
I. Latar Belakang Perang Arab-Israel
a. Perang Kemerdekaan atau Perang Pembebasan
Perang Arab-Israel yang terjadi pada tahun 1948 sampai 1967 atau disebut juga sebagai perang kemerdekaan atau perang pembebasan oleh orang Israel adalah konflik bersenjata pertama dari serangkaian konflik yang terjadi antara Israel dan negara-negara Arab lainnya dalam konflik Arab-Israel ini. Bagi masyarakat Palestina, perang ini menandai awal dari serangkaian kejadian yang akhirnya di sebut “bencana”.
Pasca perang dunia I Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui dijadikannya Mandat Britania atas Palestina sebagai negara orang “Yahudi” . pada tanggal 29 November 1947, PBB menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu negara Yahudi dan negara Arab.
Komunitas Yahudi menyetujui rencana tersebut akan tetapi, negara-negara Arab lainnya menolak mentah-mentah keputusan ini karena alasan penduduk Yahudi mendapatkan luas wilayah yang sangat besar (sekitar 55 persen dari tanah palestina) meskipun komunitas Yahudi di tanah Palestina hanya sekitar 30 persen dibandingkan dengan komunitas Arab.
Akhirnya pada 1 Desember 1947, komite Tinggi Arab mendeklarasikan pemogokan selama tiga hari, dan kelompok-kelompok Arab mulai melakukan tindakan anarkis untuk menyerang masyarakat Yahudi. Pasukan Mesir, Libanon, Suriah, Irak, Yordania dan Arab Saudi bersama-sama menyerang negara Israel yang baru saja berdiri. Pasukan Arab yang memiliki lebih banyak pasukan di bandingkan dengan Israel dan juga jauh lebih siap. Namun, karena koordinasi dan organisasi yang kurang berjalan baik juga karena sering adanya pertentangan di antara para tentara Arab tentang negara Israel bila sudah mereka taklukkan.
b. Perang Enam Hari Arab-Israel
Perang enam hari adalah perang yang melibatkan antara Israel, Mesir, Yordania, dan Suriah. Perang ini dimulai pada tanggal 5 Juni 1967 dan berakhir pada 10 Juni 1967. Dalam perang enam hari ini Israel berhasil memperluas wilayah negaranya. Israel berhasil menduduki Semenanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerussalem dan Dataran Tinggi Golan.
Perang Enam Hari terjadi dengan latar belakang permusuhan dunia Arab dengan Israel yang terus menerus, yang telah dimulai dengan Perang Kemerdekaan yang terjadi pada tahun 1948. Dalam perang itu Israel sebagai negara yang baru muncul berhasil mengalahkan pasukan Arab dan juga berhasil memperluas wilayahnya. Perang ini telah menciptakan sekitar 7000.000 pengungsi Arab Palestina, yang melarikan diri atau diusir pada tahun 1968.
Pada bulan Mei 1967 Mesir mengusir United Nation Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai. Ketika itu UNEF telah berpatroli di Semenanjung Sinai semenjak tahun 1957. Mesir mempersiapkan sekitar 1000 kendaraan lapis baja dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran(pintu masuk Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan zionisme Israel.
Pada tanggal 5 Juni 1967, israel melayangkan serangan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Pada akhirnya Yordania lalu menyerang Yerussalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerussalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat dan dataran Tinggi Golan. Hasil perang inilah yang akhirnya menyebabkan pertikaian yang tidak pernah berakhir antara Arab dan Israel.
II. Arab Saudi
a. Latar Belakang Negara
Wilayah Arab Saudi meliputi empat perlima semenanjung Arabia, dikelilingi oleh laut Merah, laut India, teluk Arabia, Yordania, Irak, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman dan Yaman. Antara Arab Saudi dan Kuwait ada dua wilayah zona bebas yang berdekatan dan sejak tahun tahun 1966 wilayah itu dibagi dua dan secara administratif diatur oleh keduanya. Zona bebas lainnya, yaitu wilayah yang terletak antara Arab Saudi dengan Irak yang ditetapkan pula oleh keduanya (1975).
Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman As-Saud adalah tokoh yang membentuk kerajaan Arab Saudi dari Kerajaan Najd dan Hijaz (1932). Sejarah Arab Saudi dibentuk dari sejarah dinasti Al-Saud yang telah memeritah lebih dari 200 tahun atas kawasan Najd. Dinasti ini didirikan oleh Amir Muhammad bin Saud (1703-1792) yang menjadikan Dir’iyyah sebuah kota oasis di Wadi Hanifah sebagai ibu kota Dinasti Saudi.
Amir Muhammad Al-Saud berada di bawah pengaruh tokoh kebangkitan Islam bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Uyainah, karena keyakinan agamanya pada Syekh Muhammad maka Amir Muhammad bertindak sebagai pelindung Syekh Muhammad, terlebih lagi setelah Syekh Muhammad diusir dari Uyainah.
Syekh Muhammad menekankan ajaran Islam fundamentalis dan mengutuk banyak penyimpangan Idolators dan Polytheits. Ajararan Wahabbi dikenal dengan mazhab Wahhabi namun pengikutnya dari dinasti Al-Saud menolak untuk disebut Wahhabi. Dengan Ajaran Wahabi, dinasti Saud menyebar hingga menguasai Karbala, Irak (1801) dan menggulingkan kekuasaan Ottoman di Hijaz, termasuk kota Mekah dan kota Madinah (1806) serta Muscat, Oman (1806).[1]
b. Arab Saudi dan Perang Arab-Israel
Arab Saudi belum dapat memberikan peran yang optimal bagi penyelesaian konflik Palestina dan Israel, sebenarnya penyelesaian masalah Palestina merupakan misi politik pemerintaham Arab Saudi yang dirumuskan pada tahun 1943, Tugas dan misi tersebut berisi bahwa penyelesaian masalah Palestina ditempuh dengan dua cara yaitu Arab Saudi bersatu dengan negara-negara Arab lainnya untuk menyelesaikan Palestina dan Arab Saudi mempengaruhi Amerika untuk menjadi mediator yang adil dalam konflik tersebut dalam menyelesaikan masalah Palestina. Namun, pelaksanaan untuk menarik Amerika menjadi mediator yang adil masih mendapat hambatan karena kuatnya lobi Isarel terhadap Amerika.[2]
Lemahnya pengaruh pro-Palestina di Arab Saudi merupakan akibat sistem politik Arab Saudi yang membatasi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga Arab Saudi kelihatan passif dalam mencari terobosan baru dalam penyelesaian masalah Palestina, dan cenderung menunggu inisiatif dari Amerika Serikat. Karena faktor-faktor tersebut maka Arab Saudi belum bisa merealisasikan perdamaian konflik Israel dan Palestina. Akan tetapi, tentu saja Arab Saudi tidak tinggal diam ketika terjadi diaspora dan pengungsian besar-besaran rakyat Palestina keberbagai wilayah Timur Tengah, ia mengizinkan Plaestina untuk mengungsi di wilayahnya, tetapi Arab Saudi memanfaatkan banyak bakat pengungsi Palestina untuk kepentingan negaranya.
Apa yang dilakukan Arab Saudi terkait konflik di Timur Tengah tidak sepenuhnya didasari niat baik untuk membantu penyelesaian, melainkan lebih hanya menjadikannya se­bagai kartu permainan dengan maksud semakin mengokohkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
Pada masa pemerintahan Raja Faisal, Raja Faysal juga menjadi semakin berpengaruh dalam konflik Arab-Israel, tidak seperti pendahulunya, ia datang untuk memainkan peran penting, namun ini juga karena kedua kekuatan keyakinan pribadi dan perhitungan kepentingan. sebelum perang 1967 dia telah memberikan finansial terhadap berbagai organisasi dan secara khusus kepada PLO karena Israel dengan negara-negara radikal mengancam monarki Saudi.
Tetapi sikapnya berubah setelah perang Arab-Israel 1967, sebagian karena ia sangat memegang keyakinan bahwa Jerussalem harus dibebaskan dari pendudukan Israel dan sebagian karena konfigurasi baru yang lebih menguntungkan politik Arab.
Dukungan finansial tentang PLO sejak itu, tidak terbatas. ia mendukung Palestina yang dianggap sebagai jihad, tapi hanya sampai titik tertentu, ia tahu bahwa jika berubah menjadi suatu kekuatan itu pasti merupakan tantangan untuk takhtanya sendiri.[3]
III. Mesir
a. Latar Belakang Negara
Mesir terletak di sudut timur laut benua Afrika dan sebagian kecil wilayahnya terletak di benua Asia, yaitu semenanjung Sinai, Mesir berbatasan dengan dua lautan yakni Laut Merah dan Laut Tengah yang memisahkan Asia dan Afrika dan dihubungkan dengan terusan Suez. Terusan Suez pernah dikuasai Israel dalam perang Arab Israel 1967 dan tekah dikembalikan kepada Mesir bersamaan ditarik mundurnya pendudukan Usrael di semenanjung Sinai (1978).[4]
b. Politik Luar Negeri Mesir
Peran Mesir dalam politik internasional dapat diamati dalam konsentrisnya di dalam Liga Arab (LA), Organisasi Konferensi Islam (OKI), Organisasi Persatuan Afrika (OPA) dan Gerakan Non Blok (GNB). Mesir terlibat secara langsung dalam sengketa Arab-Israel 1967, dengan keterlibatan ini Mesir menjadi aktor penting dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Politik luar negeri Mesir mengalami dua perilaku sentral setelah revolusi 1952 yang menggulingkan Raja Farouk. Pimipinan revolusi, kolonel Gamal Abdul Nasir membuka lembaran baru politik luar negeri Mesir, kemudian masuk periode Anwar Saddat dan Husni Mubarok.[5]
P.J Vatikiotis dalam ‘Islam in Foreign Policy’ Adeed Dawisha menyatakan : “there is a significant and fundemental relationshp between egyptian policy and Islam, especially in the complex area of ideology, in the formulation and reformulation of social and political goals and values for modern egypt, and in the Naser regimes conception of Arab Nationalism and the unity of Arab countries”.[6]
Sebagai pemimpin militer, Nasir berusaha memodernisasi senjata dan tentara Mesir, Mesir mengusahakan rencana tersebut dengan hubungan baik dengan Amerika Serikat (AS) namun AS memberikan syarat yang meminta Mesir masuk pada blok barat dalam era perang dingin tersebut, pra-syarat AS menimbulkan kekecewaan pada Nasir dan Mesir beralih kiblat dalam usaha memodernisasi senjata dan tentara pada Chekoslowakia yang mengantar pada Uni Soviet.
Puncak hubungan Mesir-Uni Soviet ditandai dengan rampungnya program pembangunan bendungan Aswan (1964), namun hubungan erat ini tidak berlanjut pada pembenihan ideologi komunis Mesir melainkan hanya sampai berkembanganya sosialisme arab yang di usung Nasir, karena bagaimanapun pan-arabisme dan pan-islamisme jalan yang di cita-citakan Nasir.
Sebelumnya Nasir telah menggagas pan-arabisme dalam Liga Arab (Alexandria, Maret 1945), Mesir serius mewujudkan Republik Persatuan Arab (United Arab republic), namun negara pan-arabisme hanya di dukung Mesir dan Syria serta hanya bertahan singkat (1956-1958). Nasir juga telah menggagas Konferensi Asia-Afrika (Bandung, April 1955)dan melanjutnya perjuangan dengan GNB (1961) bersama Indonesia, India, Ghana dan Yugoslavia yang berujung pada sikap negatif AS pada GNB sebagaiman terpantul dalam pernyataan Menteri Luar Negeri John Foster Duller, “non aligment is immoral”.[7]
Nasir juga sangat menyakini gerakan pan-Islamis, Nasir pernah menulis dalam catatan ibadah hajinya “I fully recognized the need for a radical change of our conception of the pilgrimage ... the pilgrimage should have a potencial political power”. Dalam usaha hubungan baiknya dengan GNB Nasir membuat kebijakan beasiswa Al-Azhar yang fokus Asia-Afrika sebagaimana di tulis Ali E. Hilal dalam ‘Islam in Foreign Policy’ Adeed Dawisha bahwa : “In March 1964, Al-Azhar sponsored the first Afro-Asian islamic conference ... The budget for scholarship for foreign students increased from 15.000 E-Lira in 1952 to 375.000 E-Lira in 1963.” [8]
Namun usaha pembangunan Mesir semakin sulit seiring kebijakan luar negeri Mesir terutama pada perpecahan LA dalam perang Arab-Israel, dalam sengketa tersebut, Nasir mencurahkan fokus politik luar negerinya untuk Palestina. Mesir akhirnya berperang dengan Israel dan kalah dalam perang enam hari 1967 yang berakibat didudukinya wilayah Mesir (Sinai) oleh Israel. Kekelahan ini membuat Nasir merasa bersalah dan mengundurkan diri, namun ia terpilih kembali memimpin Mesir hingga ia wafat pada 28 september 1970.
Sebagai pengganti Nasir, Sadat melakukan pembersihan ‘tokoh kiri’ pro-Soviet dengan alasan pembangunan ekonomi. Sadat lebih sering menggunakan simblol Islam dalam pidatonya, Sadat mendorong aktifitas ‘Muslim Brother’ di dalam kampus sebagai counter gerakan oposisi era Nasir.
Oktober 1973, setelah pemulangan sejumlah penasihat militer Soviet, Sadat melancarkan serangan demi merebut terusan Suez yang dikenal dengan Perang Ramadhan atau Perang Yom Kippur. Sadat berpendapat peran utama menyelesaikan konflik Arab-Israel berada pada AS, pada 1977 Sadat mengunjungi Jerusalem yang dikualifikasi sebagai peace initiative dan menjadi gerbang terjadinya pertemuan antara Sadat, Presiden AS, Jimmy Carter, PM Israel, Menachen Beqin di Camp David dan ditandatanganinya perjanjian Camp David (17 September 1978).
Dampak perjanjian ini ialah dikeluarkannya Mesir dari LA, berjaraknya Mesir dengan lingkaran OKI dan GNB. Kondisi Mesir menjadi semrawut dan Sadat terbunuh pada upacara militer peringatan perang 1967 pada Oktober 1981.[9]
Dari dua masa kepemimpian Abdul Nasir dan Anwar Sadat dapat disimpulkan bahwa Islam telah digunakan keduanya sebagai instrument politik luar negeri yang efektif mengingat letak Mesir yang Arab dan Afrika. Islam digunakan untuk memaksimalkan kapabilitas dan mempersempit perbedaan, namun kesuksesan usaha Abdul Nasir lebih berhasil dibanding Anwar Sadat yang tewas terbunuh kelompok ekstreem.
c. Mesir dan Perang Arab-Israel
Perang Arab-Israel atau Perang Enam Hari terjadi pada 5 Juni hingga 10 Juni 1967, Perang ini merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang enam hari itu terbagi menjadi tiga front, Golan , Sinai dan Yordan. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.
Pada bulan Mei 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai yang telah berpatroli sejak 1957. Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel.
U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur.[10]
Pada tahun 1966-1967 ini Nasir melakukan kampanye mencari dukungan dari pan-Arab untuk menaklukkan Israel dan mengusir Yahudi. Pada 30 Mei 1967 Jordan masuk dalam pakta pertahanan yang sebelumnya dibentuk oleh Mesir dan Syria.[11]
Dalam ucapannya kepada orang-orang Arab pada tanggal 26 Mei 1967, Nasser menyatakan: “Jika Israel memulai agresi terhadap Suriah atau Mesir, pertempuran ini akan menjadi hal yang umum... dan tujuan dasar kita adalah untuk menghancurkan Israel”. Menteri Luar Negeri Israel, Abba Eban menulis dalam biografinya bahwa ia telah diinformasikan oleh U Thant mengenai janji Nasser untuk tidak menyerang Israel, sehingga Abba Eban telah mendapat jaminan yang meyakinkan bahwa“...Nasser tidak ingin adanya peperangan, ia hanya menginginkan kemenangan tanpa peperangan”.
Ditulis di Mesir pada tanggal 4 Juni 1967, jurnalis New York Times James Reston memiliki pandangan mengenai keadaan kairo:
“Kairo tidak ingin adanya peperangan dan ia tidak siap untuk sebuah peperangan. Tetapi ia menerima kemungkinan, walaupun hanya kemungkinan, seolah-olah ia telah kehilangan kekuasaan atas situasi.”
Pada pukul 2:30 pagi tanggal 27 Mei 1967, duta besar Uni Soviet di Mesir, Dimitri Pojidaev mengetuk pintu Nasser dan membacakan satu surat pribadi dari pimpinan Soviet Alexander Kosygin dan berkata “Kami tidak mau Mesir disalahkan sebagai biang keladi atas suatu peperangan di Timur Tengah. Jika anda melancarkan serangan itu, kami tidak dapat mendukung anda.”
Nasir akhirnya mengutus Abdel Hakim Amer berunding menuju Kremlin, dan mereka telah mengesahkan pesanan Kosygin.Hakim Amer akhirnya memberitahu letnan kolonel angkatan udara Mesir, Mayor Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi penyerangan itu dibatalkan. Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei, segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.[12]
Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Jelang perang dimulai, Kairo membara dengan orasi-orasi Nasir yg menjanjikan kemenangan Arab yang sebesar kemenangan Saladin. Namun kenyataan berkata lain, begitu perang dimulai dan AU Israel menyelesaikan tugasnya, pasukan Mesir mengalami 'instant routs'.[13]
Pada 10 Juni 1967, pasukan Mesir ditarik mundur, Tanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan. Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel dan banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar Israel.[14]
d. Diaspora Penduduk Gaza dan Sinai
Meskipun kalah dalam Perang Enam Hari, negara-negara Arab tetap teguh sikapnya dalam menolak serta memusuhi Israel. 1 September 1967 diadakan pertemuan puncak LA di ibukota Sudan, Khartoum, guna menggariskan sikap dan aksi bersama pasca Perang Enam Hari. Mereka menghasilkan resolusi “tiga tidak” meliputi : no peace (perdamaian), no recognition (pengakuan) dan no negotiations (perundingan) dengan Israel.[15]
Dengan resolusi Khartoum tersebut, Israel dan negara-negara Arab tidak berharap untuk kesepakatan damai. Masing-masing menyiapkan diri untuk konfrontasi besar selanjutnya. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser di Kairo kemudian menambahkan “satu tidak” lagi, yaitu tidak berhenti memperjuangkan hak-hak yang sah dari rakyat Palestina, tidak akan ada konsesi apa pun bagi Israel.[16]
Penyebab jangka panjang dari perang 1967 adalah lanjutan ketidakmampuan Arab untuk mengakui dan menerima kedaulatan politik orang-orang Yahudi di Israel. Mesir tidak mampu mencari solusi untuk nasib pengungsi Palestina, karena kekerasan pendirian pada pihak Arab dan Israel, menyediakan raison d'etre dan titik kumpul untuk Arab terhadap Israel. Masa selanjutnya menyebabkan lebih banyak penumpukan senjata di kedua belah pihak, kekuatan campur tangan negara super dan Soviet khususnya, menyebabkan situasi perubahan yang begitu cepat di Suriah. Nasir mendekat pada bahaya, dengan pakta pertahanan bersama antara Mesir, Suriah dan Yordania yang didukung kegagalan masyarakat internasional untuk mencegah perang dengan cara diplomasi.[17]



[1] Profil Negara Negara Timur Tengah, Riza Syahbudi, Jakarta : Pustaka Jaya, 1995. Hal 29
[2] Islam in foreign Policy. Adeed Dawisha, Cambridge : C U P, 1985. Hal. 42
[3] Op.Cit. Islam in foreign Policy. Hal. 43
[4] Profil Negara Negara Timur Tengah, Riza Syahbudi, Jakarta : Pustaka Jaya, 1995. Hal 143
[5] Ibid. Hal 151
[6] Islam in foreign Policy. Adeed Dawisha, Cambridge : C U P, 1985. Hal. 86
[7] Op.Cit, Profil Negar-Negara Timur Tengah. Hal. 154
[8] Op.Cit, Islam in foreign Policy. Hal. 87
[9] Op.Cit, Profil Negar-Negara Timur Tengah. Hal. 161
[13] http://scribd.com/12449010-perang-enam-hari, diakses pada 28 April 2010.
[15] A History of The Arab-Israel conflict. Ian J Bickeron dan Carla L. Klauser. New Jersey: Pearson, 2007. Hal. 150
[17] Op.Cit. A History of The Arab-Israel conflict. Hal. 150