Cari Blog Ini

Kerjasama Militer AS – Taiwan, G.W. Bush, Wahington, Taipei dan Beijing

I. Latar Belakang
Pada tanggal 15 Desember 1978, Amerika Serikat mengumumkan pembentukan hubungan diplomatik penuh dengan Republik rakyat Cina (RRC) yang efektif pada 1 Januari 1979. Sejak saat itu, kebijakan Amerika terhadap Taiwan yang sebelumnya diakui sebagai Negara China mengalami perubahan dan dipandu oleh Taiwan Relations Act (TRA) dan tiga Komunike Bersama AS – RRC yakni (1) Komunike Shanghai tahun 1972 (2) Komunike Normalisasi tahun 1979 dan (3 ) Komunike Bersama AS-China tanggal 17 Agustus 1982.
TRA memberikan kerangka hukum bagi hubungan komersial dan budaya Amerika dengan Taiwan, hal ini juga menguraikan hal hubungan resmi AS dengan Taiwan. Dalam komunike itu, AS mengakui RRC sebagai pemerintah yang sah dari China dan mengakui posisi Beijing bahwa hanya ada satu Cina (one china policy) dan Taiwan adalah bagian dari itu. Washington juga berjanji untuk tidak mengakui kebijakan dua China atau satu Cina dan satu Taiwan serta menekankan bahwa penyelesaian masalah Taiwan adalah masalah untuk orang Cina sendiri yang harus diputuskan secara damai.
Pengamat HI telah lama mengakui bahwa kebijakan AS terhadap Taiwan adalah ambigu dan kontradiktif. Misalnya, pada awal kebijakan one china policy, TRA memperingatkan bahwa tindakan bermusuhan AS dan China pada Taiwan sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan kawasan Pasifik Barat, namun saat itu Washington tidak secara resmi berkomitmen untuk mempertahankan Taiwan. Selanjutnya, pada 17 Agustus 1982, AS berjanji kepada China untuk mengurangi transfer senjata kepada Taiwan. Tapi sejak tahun 1982, penjualan senjata telah meningkat. Washington tetap menolak untuk menyetujui tuntutan Beijing bahwa penjualan senjata dibatasi.[1]
Pada essai ini penulis akan menerangkan kebijakan Kerjasama Militer AS – Taiwan yang terbesar dan terjadi dalam kerangka Kebijakan Luar Negeri G.W. Bush Terhadap Posisi Wahington, Taipei dan Beijing pada tahun 2003.
I. Rumusan Masalah
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainya dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Untuk memenuhi kepentingan nasional tersebut, negara-negara maupun aktor dari negara melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional dan multilareral.[2]
Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa, pemenang pasca perang dingin merupakan negara yang kebijakan luar negerinya secara otomatis paling mempengaruhi politik global. Berdasarkan dari pemikiran tersebut maka pada essai ini penulis mengajukan rumusan masalah essai yang terdiri :
1. Bagaimana kondisi internasional antara AS, Taiwan dan Cina
2. Apakah Faktor yang melatar belakangi kebijakan luar negeri kerjasama militer US – Taiwan
3. Dampak kebijakan luar negeri kerjasama militer AS – Taiwan kepada AS, Taiwan, Cina dan dunia Internasional
II. Kerangka Teori
Pada essai ini penulis akan menerangkan kebijakan Kerjasama Militer AS – Taiwan dalam kerangka Kebijakan Luar Negeri G.W. Bush Terhadap Posisi Wahington, Taipei dan Beijing menggunakan teori realis dan pendekatan kebijakan luar negeri. Teori realis adalah teori yang paling diakui dalam hubungan internasional, teori realis telah mendominasi hubungan internasional sejak era Tucydides pada tahun 500 SM hingga era masa kini, sehingga akan memudahkan menganalisai kebijakan AS. Adapun pendekatan kebijakan luar negeri digunakan untuk membedah tujuan yang ingin dicapai AS melalui kebijakan luar negerinya.
A. Teori Realis
Teori Realis adalah teori yang menarik untuk menjelaskan kebijakan luar negeri kerjasama militer AS – Taiwan. Dalam teori realis, negara adalah faktor utama hubungan internasional bersifat rasional dan monolith, jadi negara bisa memperhitungkan cost and benefit dari setiap tindakanya demi kepentingan keamanan nasional, fokus dari penganut realis adalah struggle for power dan real politik. Dalam pandangan realis sifat dasar interaksi dalam sistem internasional adalah anarki, kompetitif, kerap kali konflik dan kerjasama dibangun hanya untuk kepentingan jangka pendek. Ketertiban dan stabilitas hubungan internasional hanya akan dicapai melalui keseimbangn distribusi kekuatan (balance of power).[3]
Diantara ide-ide dan asumsi kunci realis yang mendasari pemikiran kaum realis secara ringkas adalah sebagai berikut :
1. Negara layaknya manusia bertingakh laku mementingakan diri sendiri (selfish)
2. Kekuatan merupakan kunci untuk memahami tingkah laku internasional dan motivasi negara
3. Hubungan internasinal sebenarnya penuh konflik, hal ini tidak semata-mata karakteristik negara melainkan karena anarki (negara sejajar dan tidak ada otoritas di atas negara) dan security dillema (dilema keamanan), sehingga negara-negara terpaksa bertindak hati-hati serta memprioritaskan kepentingan nasional.[4]
B. Pendekatan Kebijakan Luar Negeri
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Kebijakan luar negeri adalah strategi atau rencana tindakan untuk mencapai kepentingan nasional. Tujuan kebijakan luar negeri sebenarnya adalah fungsi dari tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. Tujuan kebijakan luar negeri dirancang, dipilih dan ditetapkan oleh pembuat keputusan serta dikendalikan untuk mengubah kebijakan (revisinist policy) atau mempertahankan kebijakan (status quo policy) ihwal kenegaraan tertentu di lingkungan internasional.[5]
Menurut K.J. Holsti, kriteria dalam mengklasifikasi tujuan kebijakan luar negeri ada tiga kriteria yaitu, pertama, Nilai (values), yakni apakah terdiri atas kepentingan nasioanal yang core/basic/vital interest atau secondary interest. Kriteria kedua, jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, yakni apakah jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang. Kriteria ketiga, tipe tujuan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.[6]
III. Deskripsi Kebijakan Kerjasama Militer AS – Taiwan
Sejak kunjungan bersejarah Presiden Nixon pada tahun 1972, AS telah membangun hubungan yang lebih dekat dengan Cina dan mereduksi status diplomatik Taiwan. Pada tahun 1982, Presiden Reagan telah menandatangani Shanghai Communiqué dan berjanji untuk mengurangi penjualan senjata ke Taiwan secara perlahan menghindari penjualan senjata yang bersifat offensif. Penjualan senjata ke Taiwan oleh AS menurun selama 1980an ketika AS mulai membantu Cina meningkatkan teknologi senjatanya.
Trend ini menjadi terbalik setelah peristiwa Tiananmen 1989 di Beijing. Program AS untuk membantu pengembangan senjata Cina terhenti. Perdagangan senjata AS ke Taiwan meningkat. Kenyataannya Shanghai Communiqué hanya menjadi perjanjian mati dan sejak itu Taiwan sangat dipersenjatai demi membuat Cina tidak bisa bertindak menggunakan instrumen militer untuk menghadapinya.[7]
Pada tahun 2003, Presiden George W. Bush memutuskan untuk menawarkan Taiwan paket senjata terbesar semenjak ayahnya menjual bermacam-macam kapal perang dan pesawat F-16 ke Taiwan dekade yang lalu. Namun pembelian item paling mahal dan kontroversial AS yakni empat Arleigh Burke-class destroyers dilengkapi dengan system radar Aegis, ditolak Bush. Meski demikian, AS menyetujui dua sistem senjata lain yang ditentang Cina : delapan kapal selam dan 12 pesawat patroli anti-kapal selam P-3C. AS juga menawarkan empat Kid-class penghancur rudal yang lebih besar dua kali lipat dari semua kapal perang Taiwan yang pernah ada dan lebih kuat dari penghancur milik Cina.[8]
Di antara argumentasi AS dalam menjual senjata ke Taiwan ialah karena Cina menempatkan 1.500 buah rudal balistik di perairan dekat Taiwan. Langkah ini merupakan bentuk ancaman militer terhadap Taiwan, AS berdasarkan kesepakatan berkewajiban membela Taiwan. AS juga mengkhawatirkan kemampuan Cina di bidang militer, keamanan dan pertahanan. Washington berpendapat bahwa Beijing telah mengalokasikan sekitar 60 miliar dolar untuk program peremajaan alat-alat tempur dan penguatan militernya. Karena itu AS era Bush mengagendakan program penangkalan Cina.
Seiring dengan tekad AS, Cina semakin hari melangkah untuk lebih memperkuat keamanan dan ekonomi negara yang terbukti mengalami peningkatan pesat. Peningkatan kemampuan militer Taiwan dengan senjata-senjata canggih mungkin dapat menjadi alat untuk menekan Cina dan menarik konsesi dari negara Komunis saingan AS ini.[9]
IV. Analisa Kebijakan Kerjasama Militer AS – Taiwan
A. Hubungan Washington, Taipei dan Beijing
Hubungan AS dengan Cina dan Taiwan sangat menarik. Sebagaimana politiikus AS Robert T Holmes katakan, Cina berhadapan dengan AS sebagai musuh yang memiliki asimetri kekuatan militer. Selain Cina berusaha untuk menghalangi Taiwan dari deklarasi kemerdekaan penuh, pemerintahan di Beijing juga berusaha untuk menghilangkan komitmen Washington ke Taiwan. Ada elemen-elemen Cina untuk deterrence (pencegahan) pada Amerika Serikat dan coercion (pemaksaan) pada Taiwan.
Dalam usaha ini, Cina berharap akan membawa Taiwan menjadi sekutu. Saat ini Cina membangun dan memperbaiki keseimbangan militer pendukungnya untuk mengantisipasi terhadap ancaman dari Taiwan, komitmen yang lebih besar diberikan Cina dengan memberikan Taiwan hubungan yang baik dengan masyarakat Cina.
Sudah tentu kapasitas Beijing untuk memanfaatkan keunggulan regionalnya sangat strategis demi menghadapi Washington. Lebih jauh lagi, bantuan militer AS pada Taiwan bisa membuktikan begitu kuatnya persaingan AS dan Cina, dalam hal ini Cina tidak akan menyerah terhadap Taiwan dan begitu pula Taiwan tidak akan menyerah terhadap Cina.[10]
B. Mengapa Cina Mengancam AS
Menurut pandangan realis, dalam dunia yang terdiri atas negara-negara merdeka, power telah dianggap sebagai penengah akhir dalam penyelesaian berbagai perbedaan. Oleh karena itu potensi atas militer (bentuk kekuasaan/power yang nyata) tergantung pada sejumlah faktor seperti ukuran populasi, ketersediaan sumber daya alam, faktor-faktor geografis dan tipe pemerintah. Pada kenyataannya kaum realis meyakini hanya dengan mengujikan kekuasaan dalam sebuah perang dapatlah segera diketahui dengan pasti besaran kekuaasaan dari negara-negara.[11]
Visi strategis Bush atas gerak Cina jelas menunjukan kepentingan AS untuk meraih pemgaruh kerjasama yang lebih besar dengan berfokus pada Cina sebagai pesaing dan musuh strategis. Taiwan telah dilihat sebagai kawasan kunci perbedaan ini
dimainkan. Namun secara khusus isu lain berperan, diantaranya :
· Cina dipandang sebagai kekuatan ekonomi dan militer yang maju, berusaha untuk menghadapi AS dan berusaha memudahkan Amerika Serikat keluar dari Asia Timur
· Cina telah menentang kebijakan luar negeri dukungan AS untuk Taiwan dan telah memberikan prioritas militer terhadap hal ini
· China telah menentang penguatan pakta pertahanan AS - Jepang dan rencana pertahanan rudal AS
· China telah melawan kepentingan AS dalam urusan Asia hingga dunia, dengan ASEAN Plus Three, Grup Kerjasama Shanghai, forum PBB dan di forum internasional lain.
· AS menyadari kebutuhan hubungan lanjut terhadap China, terutama hubungan ekonomi, maka pemerintah AS berusaha untuk menghalangi RRC dari bergerak agresif dengan mengisyaratkan kedekatan AS terhadap Taiwan, Jepang dan sekutu dekat lainnya.
C. Tujuan Kebijakan Luar Negeri G.W Bush
Sebagaimana dikatakan Melvin P Leffler, pengamat kebijakan luar negeri AS, tujuan politik luar negeri G.W Bush untuk mempertahankan perdamaian demokratis dan menyebarkan nilai-nilai inti Amerika telah seirama dengan Preiden AS di sepanjang sejarah. Bush mendengarkan retorika puritan klasik bahwa AS bagai sebuah kota di atas bukit, menghidupkan visi Thomas Jefferson mengenai empire of liberty (kerajaan kebebasan), mengintegralkan surat Woodrow Wilson bahwa “dunia harus dibuat aman bagi demokrasi”, mengalirkan konsep empat kebebasan Franklin Roosevelt serta menggemakan retorika mulia John F. Kennedy dalam pelantikannya, untuk “menentang setiap musuh untuk menjamin kelangsungan hidup dan keberhasilan kebebasan”.
Perbedaan antara G.W. Bush dan para pendahulunya lebih berkaitan dengan gaya bukan substansi dan dengan pendekatan strategi bersaing bukan tujuan. Yang membuatnya berbeda ialah persepsi ancaman dan kekuatan besar dari pihak lain belum pernah terjadi sebelumnya, hal ini telah mengarahkan keseimbangan dunia ke arah unilateralisme, meski tidak ada yang revolusioner tetapi pencarian AS untuk sebuah tatanan internasional berdasarkan kebebasan, penentuan nasib sendiri, dan pasar bebas telah berubah secara mengejutkan.[12]
Dihubungkan dengan pendekatan kebijakan luar negeri, menurut Holtsi dilihat dari nilainya maka kebijakan luar negeri ini dapat dilihat sebagai upaya politik, ekonomi dan militer. Dilihat sisi politik berkaitan dengan kampanye demokrasi AS yang sukses di Taiwan dan gagal di Cina sehingga membahayakan keamanan dan pengaruh AS di Asia, di sisi ekonomi dan militer berkaitan dengan kebangkitan Cina sebagai kekuatan baru yang berpengaruh di Asia hingga dunia. Masih menurut Holtsi dilihat dari jangka waktu, maka kebijakan AS atas Taiwan dapat dikategorikan kebijakan jangka panjang, hal ini berdasarkan argumen bahwa AS dan Cina saat ini dilihat memilki potensi yang besar dalam politik global. Adapun dilihat dari tipe tuntutan yang diajukan AS maka tuntutannya adalah kerjasama dengan Taiwan dan membendung Cina.
D. Dampak Kebijakan Kerjasama Militer AS – Taiwan
Dampak bagi AS
· Bagi AS, dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan merupakan usaha mencapai kepentingan nasional AS menuju Unilateralis dengan melanjutkan nilai-nilai inti AS.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan dapat membebani negara AS sebab selain harus menjaga Taiwan, AS harus semakin waspada membendung Cina, usaha ini sering dinilai dengan ambiguitas AS - Cina.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan adalah lebih beratnya cengkraman pengaruh AS di Asia.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan adalah memupuk hubungan yang buruk AS dengan Cina.
Damapak bagi Taiwan
· Bagi Taiwan, dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan merupakan usaha mencapai kepentingan nasional Taiwan menuju kekuatan diplomasi yang kuat dengan dukungan militer yang kuat.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan dapat membebani negara Taiwan sebab kecurigaan Washington – Taipei dan Beijing akan bertambah.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan adalah lebih beratnya posisi Taiwan pada AS dan sekutu.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan adalah memupuk hubungan yang erat Taiwan dengan AS.
Dampak bagi Cina
· Bagi RRC Cina, dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan merupakan usaha membendung kepentingan nasional Cina menuju kekuatan baru dunia yang merubaha unilateral AS menjadi Multilateral global.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan dapat membebani negara Cina sebab kecurigaan Washington – Taipei dan Beijing akan bertambah.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan adalah lebih berjaraknya posisi Cina terhadap AS dan sekutu.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan adalah memupuk hubungan yang buruk antara Cina dengan Taiwan dan AS.
Dampak bagi dunia internasional
· Bagi Dunia internasional, dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan merupakan pelajaran bahwa diplomasi yang kuat perlu dukungan militer yang kuat.
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan bagi dunia internasional mempengaruhi kebijakan luar negeri Asia khususnya untuk memilih kerjasama dengan Cina atau AS dan sekutunya
· Dampak kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan bagi dunia internasional mungkin berbuah perang dingin antara Cina dan AS.
E. Kesimpulan
Setelah Perang Dingin usai dan Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara adikuasa, banyak pihak berpendapat bahwa umat manusia dikuasai AS. Bahkan Francis Fukuyama mengatakan, sekarang sejarah akan berakhir (dalam bukunya The End of History and the Last Man). Ia berpendapat bahwa umat manusia tidak ada pilihan lain dari pada mengikuti pola kehidupan dan sistem politik AS. Sikap AS menunjukkan tekad menguasai dunia dan umat manusia atas dasar unilateral. Menerut Sayidiman Suryohadiprojo, Sikap unilateral AS itu menghendaki bahwa umat manusia harus menerima segala kebijaksanaan AS karena itu adalah kebijaksanaan yang benar buat umat manusia dan buat setiap bangsa di dunia.[13]
Sikap unilateral terutama menonjol dalam kelompok neo-konservatif yang tokoh-tokohnya menjadi pejabat penting dalam pemerintahan Presiden George W. Bush, termasuk Wapres Richard Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld dan wakilnya Paul Wolfowitz. Akan tetapi tidak semua orang Amerika (termasuk penulis) sependapat dengan sikap unilateral. Mereka berpikir bahwa AS tidak mampu menjadi polisi dunia yang efektif, betapa pun besarnya kemampuan yang dimiliki dalam bidang militer, ekonomi, dan politik.
Menurut analisa penulis dunia global sebaiknya mengembangkan sikap multilateral. Tidak hanya kekuatan AS yang harus menjamin perdamaian dan kesejahteraan dunia, tetapi juga kekuatan Eropa, Cina, dan Jepang. Mereka menyadari bahwa kekuatan militer AS memang tidak ada yang menyamai, tetapi meskipun kekuatan ekonomi AS terbesar di dunia namun masih amat tergantung pada kekuatan ekonomi Eropa, Jepang dan bangsa-bangsa lain. [14]
Dalam Dunia global, sikap Unilateralis AS yang berhadapan dengan Cina menurut pandangan Realis terkait dengan konsep security dilema (dilema keamanan), kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan adalah detterence (penangkalan) bagi Cina dan usaha balance of power (perimbangan kekuatan) AS di Asia khususnya.
Walaupun AS tidak menantang One China Policy dan mengakui RRC sebagai pemerintah Cina tetapi selanjutnya AS menentukan apa yang Cina adalah bukan satu RRC atau ROC. Meskipun AS tidak melanggar kedaulatan dan integritas wilayah Cina dan bukan untuk mengejar kebijakan Dua China atau satu Cina, satu Taiwan, namun kebijakan kerjasama militer AS-Taiwan adalah memiliki karakter AS menuju Unilaterism.
Sehubungan dengan status masa depan Taiwan, Amerika Serikat terlihat memiliki prioritas terhadap Cina ketimbang Taiawan. Namun AS juga mengambil posisi ambigu berkaitan dengan resolusi akhir berkaitan Taiwan, bagaimanapun AS mengambil sikap yang sangat jelas berbeda pada dua hal berikut untuk menghindari perang secara langsung. Berkaitan hal ini, pertama, AS menentang kemerdekaan Taiwan. Ini adalah kebijakan yang konsisten dari US, kedua, AS menentang penggunaan kekuatan Cina dengan mempersenjatai Taiwan untuk penyelesaian secara damai kepentingan nasionalnya, ketiga, AS menyadari kebutuhan hubungan lanjut terhadap China, terutama hubungan ekonomi, maka pemerintah AS berusaha untuk menghalangi RRC dari bergerak agresif dengan mengisyaratkan kedekatan AS terhadap Taiwan, Jepang dan sekutu dekat lainnya.
Singkatnya, kebijakan AS atas Taiwan adalah disengaja agar ambigu, yang memberikan fleksibilitas lebih AS untuk menanggapi situasi-situasi berbahaya baik di Taiwan maupun Cina. Strategi ini dirancang untuk memperkenalkan ketidakpastian ke dalam proses pembuatan keputusan, baik di Cina dan di Taiwan dan dengan demikian untuk mencegah mereka dari gerakan yang tak terduga yang akan mengganggu perdamaian dan stabilitas Asia.



[1] Dennis Van Vranken Hickey, “Continuity and Change: the Administration of George W. Bush and US policy toward Taiwan”, Journal of Contemporary China, No.40 (August,2004), hal.461
[2] Perwita, A.A Banyu dan Yani, Yanyan Mohammad, “Pengantar Ilmu Hubungan internasional”, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2006, hal. 49
[3] Perwita, A.A Banyu dan Yani, Yanyan Mohammad, “Pengantar Ilmu Hubungan internasional”, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2006, hal. 25
[4] Steans, Jill dan Pettifirod, Llyod, “Hubungan Internasional, Perspektif dan Tema”, Jakarta : Pustaka pelajar, 2009, hal. 59
[5] Perwita, A.A Banyu dan Yani, Yanyan Mohammad, “Pengantar Ilmu Hubungan internasional”, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2006, hal. 51
[6] Perwita, A.A Banyu dan Yani, Yanyan Mohammad, “Pengantar Ilmu Hubungan internasional”, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2006, hal. 53
[10] BILL PARK, “Concluding Remarks: Coercion and Regional Powers”, Defence Studies, Vol. 9, No. 2 (June 2009), hal. 262
[11] Steans, Jill dan Pettifirod, Llyod, “Hubungan Internasional, Perspektif dan Tema”, Jakarta : Pustaka pelajar, 2009, hal. 65
[12] Melvyn P Leffler, “Bush Fpreign Policy”, Think Agaian Foreign Policy, No 144 (September 2004), hal.23

1 komentar: