Cari Blog Ini

Arms Trafficking dan Gunrunner di Somalia

Arms Trafficking dan Gunrunner di Somalia

A. Profil Negara Somalia

Setelah Inggris menarik diri dari British Somaliland pada tahun 1960 maka pihak protektorat baru bergabung dan membentuk Somaliland Italia yang kemudian membentuk negara baru Somalia. Pada tahun 1969, sebuah kudeta yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre mengantarkan ke dalam aturan sosialis otoriter. Setelah runtuhnya rezim otoriter Mohamed Siad awal tahun 1991, Somalia memasuki era kekacauan, pertempuran antarfaksi, dan anarki.

Pada bulan Mei 1991, klan utara yang independen mengumumkan Republik Somaliland. Meskipun tidak diakui oleh pemerintah apapun, entitas ini telah mempertahankan stabilitas dan terus berupaya untuk mendirikan sebuah negara demokrasi. Daerah utara lain meliputi Bari, Nugaal, dan Mudug utara mendirikan negara semi-otonom Puntland, yang telah berpemerintahan sendiri sejak tahun 1998 namun tidak bertujuan pada kemerdekaan, tetapi membuat langkah menuju rekonstruksi pemerintah, hal inilah yang menyebabkan Somalia sulit mengajukan perwakilan yang sah.

Awal tahun 1993, upaya kemanusiaan PBB selama dua tahun bisa meringankan kondisi kelaparan, tetapi ketika PBB menarik diri pada tahun 1995, korban menderita dan keberhasilan ketertiban masih belum dipulihkan. Pada tahun 2000, Somalia National Peace Conference (SNPC) yang diselenggarakan di Djibouti menghasilkan pembentukan pemerintah sementara, yang dikenal sebagai Transitional Federal Government (TNG).

Pada bulan Oktober 2004 Abdullahi Ahmed Yusuf terpilih sebagai Presiden pemerintah interim kedua, namun Republik Somalia pada tahun 2009 mengalami krisis yang memaksanya mundur dan oposisi sangat gencar melawannya dalam Alliance for the Re-Liberation of Somalia (ARS) masuk dalam pemerintahan. Meski pembentukan pemerintah persatuan TFG-ARS terlaksana namun kini tetap saja Somalia dalam kesulitan menghadapi kemajuan oposisi dari Islamic Courts Union (ICU) dan perang saudara serta perompak bajak laut Somalia.[1]

B. Arms Trafficking dan Gunrunner di Somalia

Mengutib analisa Pengamat timur tengah Dina Y. Sulaeman yang merujuk analisis William Engdahl dari Global Research. Menurut Engdahl, AS yang melancarkan serangan ke Yaman dengan alasan ‘mengejar Al Qaeda’, sesungguhnya menghendaki perubahan rezim di sana. Yaman berbatasan dengan Arab Saudi di utara, Laut Merah di Barat, Teluk Aden dan Laut Arab di selatan, di seberang Teluk Aden ada Somalia serta Jibouti. Di sebelah Jibouti berderet Eritrea, Sudan, dan Mesir. Dengan demikian, semua negara itu (Arab Saudi, Mesir, Somalia, Jibouti, Eritrea, Sudan dan Yaman) saling berhadapan dengan Selat Mandab (Bab el Mandab) di laut Aden yang super-strategis karena dilewati tanker-tanker untuk melewati Kanal Suez, dan menuju Mediterania.

Engdahl kemudian menyoroti kasus bajak laut Somalia yang membuat kacau di Selat Mandab selama dua tahun terakhir. Pertanyaannya : bagaimana mungkin bajak laut dari Somalia, sebuah negara yang berada di nomor teratas dalam list ‘negara gagal’ (failed state) sampai punya senjata dan logistik yang canggih, sampai-sampai dalam dua tahun terakhir mampu membajak 80 kapal dari berbagai negara? Bahkan pembajak Somalia itu memakai gaya-gaya penjahat di negara maju: menelpon langsung kantor koran Times di Inggris, untuk informasi internasional. Saat ini, tercatat ada 56 kapal asing yang masih berada dalam ‘tawanan’ pembajak Somalia beserta 800-an awak kapalnya. Selain kapal Indonesia “Sinar Kudus”, ada kapal FV NN Iran yang ditawan sejak 2 Maret 2009 bersama 29 krunya.

Merajalelanya perompak Somalia di Selat Mandab memberi alasan kepada AS untuk menaruh kapal perangnya di sana. Pemerintah Mesir, Sudan, Jibouti, Eritrea, Somalia, Arab Saudi, sudah terkooptasi oleh AS sehingga diperkirakan tidak akan memberikan reaksi negatif bagi militerisasi AS di Selat Mandab. Kini, masih ada satu negara di sekeliling Selat Mandab yang masih perlu ditaklukkan: Yaman dibawah Presiden Ali Abdullah Saleh.[2]

Analisis Engdahl ini terasa tepat dengan pernyataan pejabat Interpol Internasional. Menurut mereka, aksi-aksi pembajakan di lepas laut Somalia dikontrol oleh sindikat kriminal, termasuk orang-orang asing (non-Somalia) yang tergiur oleh kesempatan untuk mendapatkan uang tebusan multi-juta dollar. Para pembajak itu memiliki senjata-senjata dan alat pendeteksi yang sangat canggih sehingga mereka mampu melakukan pembajakan di perairan dengan jarak yang sangat jauh, bahkan mencapai 1.200 nautical mil (=1380,935 mil) di lepas pantai Somalia.

Mick Palmer, pejabat Interpol dari Australia, menyatakan bahwa ada bukti yang jelas, yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kecanggihan perlengkapan yang dimiliki para pembajak. “Jadi mereka mendapatkan bantuan yang sangat canggih dalam mendeteksi keberadaan kapal-kapal perdagangan besar,” kata Palmer. Tak heran bila Jean-Michel Louboutin, direktur eksekutif kepolisian di Interpol yang berbasis di Prancis menegaskan, “Ini adalah kejahatan yang terorganisasi.”

Lebih jauh lagi, pejabat Interpol itu menjelaskan bahwa pembajak laut Somalia sebenarnya hanya mendapatkan sebagian kecil dari uang tebusan. Rata-rata, setiap dua juta dollar yang mereka dapatkan sebagai uang tebusan, hanya 10.000 dollar yang masuk ke kantong mereka. Sisanya, masuk ke kantong sindikat kriminal. Setengah juta dollar akan diambil oleh orang yang menghantarkan tebusan (biasanya diantarkan dengan helikopter yang mendarat di atas kapal yang dibajak) dan setengah juta dollar lagi diambil oleh negosiator.

Dengan tegas Palmer menyatakan, “Ini adalah sebuah industri besar. Besar sekali uang yang bisa dihasilkan dari pembajakan. Tetapi, para pembajak itu sendiri, banyak di antara mereka adalah remaja miskin, hanya mendapat sebagian kecil saja dari uang itu.”[3]

0 komentar:

Posting Komentar