Cari Blog Ini

Perang Arab-Israel

PENDAHULUAN
Timur tengah adalah suatu wilayah yang tidak asing lagi dalam perdebatan dunia internasional. Nama Timur Tengah seringkali diidentikkan dengan Arab dan Arab sering kali diidentikkan dengan Islam.
Definisi tentang apa dan di mana wilayah Timur Tengah itu, hingga kini masih menjadi perdebatan panjang di antara para ahli. Pendapat pertama menyatakan, bahwa wilayah Timur Tengah adalah negara-negara Arab non-Afrika ditambah dengan Iran dan Israel. Dengan definisi ini, negara-negara Arab yang terletak di Afrika Utara, seperti Mesir, Libya, Maroko, dan Aljazair tidak oleh David E. Long dan Benard Reich.
Sedangkan pendapat kedua mengartikan Timur Tengah adalah negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab ditambah Iran, Israel, dan Turki. Pandangan ini antara lain dianut oleh Roy R. Anderson, Robert F. Seibert, Jon G. Wagner, dan Robert O. Freddman. Sedangkan pendapat ketiga adalah yang memasukkan negara-negara seperti Afghanistan, Pakistan, bahkan negara-negara Asia Tengah bekas Soviet, ke dalam wilayah timur tengah. Hal in terlihat anatar lain dalam majalah The Middle East (terbitan Inggris) dan The Middle East Journal (terbitan Amerika Serikat).
Dalam makalah ini akan kita analisa politik luar negeri dan keamanan Arab Saudi dan Mesir dalam perang Arab-Israel dan apakah kebijakan tersebut dipengaruhi rasa nasionalisme, pan-arabisme atau pan-islamisme.
PEMBAHASAN
I. Latar Belakang Perang Arab-Israel
a. Perang Kemerdekaan atau Perang Pembebasan
Perang Arab-Israel yang terjadi pada tahun 1948 sampai 1967 atau disebut juga sebagai perang kemerdekaan atau perang pembebasan oleh orang Israel adalah konflik bersenjata pertama dari serangkaian konflik yang terjadi antara Israel dan negara-negara Arab lainnya dalam konflik Arab-Israel ini. Bagi masyarakat Palestina, perang ini menandai awal dari serangkaian kejadian yang akhirnya di sebut “bencana”.
Pasca perang dunia I Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui dijadikannya Mandat Britania atas Palestina sebagai negara orang “Yahudi” . pada tanggal 29 November 1947, PBB menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu negara Yahudi dan negara Arab.
Komunitas Yahudi menyetujui rencana tersebut akan tetapi, negara-negara Arab lainnya menolak mentah-mentah keputusan ini karena alasan penduduk Yahudi mendapatkan luas wilayah yang sangat besar (sekitar 55 persen dari tanah palestina) meskipun komunitas Yahudi di tanah Palestina hanya sekitar 30 persen dibandingkan dengan komunitas Arab.
Akhirnya pada 1 Desember 1947, komite Tinggi Arab mendeklarasikan pemogokan selama tiga hari, dan kelompok-kelompok Arab mulai melakukan tindakan anarkis untuk menyerang masyarakat Yahudi. Pasukan Mesir, Libanon, Suriah, Irak, Yordania dan Arab Saudi bersama-sama menyerang negara Israel yang baru saja berdiri. Pasukan Arab yang memiliki lebih banyak pasukan di bandingkan dengan Israel dan juga jauh lebih siap. Namun, karena koordinasi dan organisasi yang kurang berjalan baik juga karena sering adanya pertentangan di antara para tentara Arab tentang negara Israel bila sudah mereka taklukkan.
b. Perang Enam Hari Arab-Israel
Perang enam hari adalah perang yang melibatkan antara Israel, Mesir, Yordania, dan Suriah. Perang ini dimulai pada tanggal 5 Juni 1967 dan berakhir pada 10 Juni 1967. Dalam perang enam hari ini Israel berhasil memperluas wilayah negaranya. Israel berhasil menduduki Semenanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerussalem dan Dataran Tinggi Golan.
Perang Enam Hari terjadi dengan latar belakang permusuhan dunia Arab dengan Israel yang terus menerus, yang telah dimulai dengan Perang Kemerdekaan yang terjadi pada tahun 1948. Dalam perang itu Israel sebagai negara yang baru muncul berhasil mengalahkan pasukan Arab dan juga berhasil memperluas wilayahnya. Perang ini telah menciptakan sekitar 7000.000 pengungsi Arab Palestina, yang melarikan diri atau diusir pada tahun 1968.
Pada bulan Mei 1967 Mesir mengusir United Nation Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai. Ketika itu UNEF telah berpatroli di Semenanjung Sinai semenjak tahun 1957. Mesir mempersiapkan sekitar 1000 kendaraan lapis baja dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran(pintu masuk Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan zionisme Israel.
Pada tanggal 5 Juni 1967, israel melayangkan serangan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Pada akhirnya Yordania lalu menyerang Yerussalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerussalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat dan dataran Tinggi Golan. Hasil perang inilah yang akhirnya menyebabkan pertikaian yang tidak pernah berakhir antara Arab dan Israel.
II. Arab Saudi
a. Latar Belakang Negara
Wilayah Arab Saudi meliputi empat perlima semenanjung Arabia, dikelilingi oleh laut Merah, laut India, teluk Arabia, Yordania, Irak, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman dan Yaman. Antara Arab Saudi dan Kuwait ada dua wilayah zona bebas yang berdekatan dan sejak tahun tahun 1966 wilayah itu dibagi dua dan secara administratif diatur oleh keduanya. Zona bebas lainnya, yaitu wilayah yang terletak antara Arab Saudi dengan Irak yang ditetapkan pula oleh keduanya (1975).
Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman As-Saud adalah tokoh yang membentuk kerajaan Arab Saudi dari Kerajaan Najd dan Hijaz (1932). Sejarah Arab Saudi dibentuk dari sejarah dinasti Al-Saud yang telah memeritah lebih dari 200 tahun atas kawasan Najd. Dinasti ini didirikan oleh Amir Muhammad bin Saud (1703-1792) yang menjadikan Dir’iyyah sebuah kota oasis di Wadi Hanifah sebagai ibu kota Dinasti Saudi.
Amir Muhammad Al-Saud berada di bawah pengaruh tokoh kebangkitan Islam bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Uyainah, karena keyakinan agamanya pada Syekh Muhammad maka Amir Muhammad bertindak sebagai pelindung Syekh Muhammad, terlebih lagi setelah Syekh Muhammad diusir dari Uyainah.
Syekh Muhammad menekankan ajaran Islam fundamentalis dan mengutuk banyak penyimpangan Idolators dan Polytheits. Ajararan Wahabbi dikenal dengan mazhab Wahhabi namun pengikutnya dari dinasti Al-Saud menolak untuk disebut Wahhabi. Dengan Ajaran Wahabi, dinasti Saud menyebar hingga menguasai Karbala, Irak (1801) dan menggulingkan kekuasaan Ottoman di Hijaz, termasuk kota Mekah dan kota Madinah (1806) serta Muscat, Oman (1806).[1]
b. Arab Saudi dan Perang Arab-Israel
Arab Saudi belum dapat memberikan peran yang optimal bagi penyelesaian konflik Palestina dan Israel, sebenarnya penyelesaian masalah Palestina merupakan misi politik pemerintaham Arab Saudi yang dirumuskan pada tahun 1943, Tugas dan misi tersebut berisi bahwa penyelesaian masalah Palestina ditempuh dengan dua cara yaitu Arab Saudi bersatu dengan negara-negara Arab lainnya untuk menyelesaikan Palestina dan Arab Saudi mempengaruhi Amerika untuk menjadi mediator yang adil dalam konflik tersebut dalam menyelesaikan masalah Palestina. Namun, pelaksanaan untuk menarik Amerika menjadi mediator yang adil masih mendapat hambatan karena kuatnya lobi Isarel terhadap Amerika.[2]
Lemahnya pengaruh pro-Palestina di Arab Saudi merupakan akibat sistem politik Arab Saudi yang membatasi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga Arab Saudi kelihatan passif dalam mencari terobosan baru dalam penyelesaian masalah Palestina, dan cenderung menunggu inisiatif dari Amerika Serikat. Karena faktor-faktor tersebut maka Arab Saudi belum bisa merealisasikan perdamaian konflik Israel dan Palestina. Akan tetapi, tentu saja Arab Saudi tidak tinggal diam ketika terjadi diaspora dan pengungsian besar-besaran rakyat Palestina keberbagai wilayah Timur Tengah, ia mengizinkan Plaestina untuk mengungsi di wilayahnya, tetapi Arab Saudi memanfaatkan banyak bakat pengungsi Palestina untuk kepentingan negaranya.
Apa yang dilakukan Arab Saudi terkait konflik di Timur Tengah tidak sepenuhnya didasari niat baik untuk membantu penyelesaian, melainkan lebih hanya menjadikannya se­bagai kartu permainan dengan maksud semakin mengokohkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
Pada masa pemerintahan Raja Faisal, Raja Faysal juga menjadi semakin berpengaruh dalam konflik Arab-Israel, tidak seperti pendahulunya, ia datang untuk memainkan peran penting, namun ini juga karena kedua kekuatan keyakinan pribadi dan perhitungan kepentingan. sebelum perang 1967 dia telah memberikan finansial terhadap berbagai organisasi dan secara khusus kepada PLO karena Israel dengan negara-negara radikal mengancam monarki Saudi.
Tetapi sikapnya berubah setelah perang Arab-Israel 1967, sebagian karena ia sangat memegang keyakinan bahwa Jerussalem harus dibebaskan dari pendudukan Israel dan sebagian karena konfigurasi baru yang lebih menguntungkan politik Arab.
Dukungan finansial tentang PLO sejak itu, tidak terbatas. ia mendukung Palestina yang dianggap sebagai jihad, tapi hanya sampai titik tertentu, ia tahu bahwa jika berubah menjadi suatu kekuatan itu pasti merupakan tantangan untuk takhtanya sendiri.[3]
III. Mesir
a. Latar Belakang Negara
Mesir terletak di sudut timur laut benua Afrika dan sebagian kecil wilayahnya terletak di benua Asia, yaitu semenanjung Sinai, Mesir berbatasan dengan dua lautan yakni Laut Merah dan Laut Tengah yang memisahkan Asia dan Afrika dan dihubungkan dengan terusan Suez. Terusan Suez pernah dikuasai Israel dalam perang Arab Israel 1967 dan tekah dikembalikan kepada Mesir bersamaan ditarik mundurnya pendudukan Usrael di semenanjung Sinai (1978).[4]
b. Politik Luar Negeri Mesir
Peran Mesir dalam politik internasional dapat diamati dalam konsentrisnya di dalam Liga Arab (LA), Organisasi Konferensi Islam (OKI), Organisasi Persatuan Afrika (OPA) dan Gerakan Non Blok (GNB). Mesir terlibat secara langsung dalam sengketa Arab-Israel 1967, dengan keterlibatan ini Mesir menjadi aktor penting dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Politik luar negeri Mesir mengalami dua perilaku sentral setelah revolusi 1952 yang menggulingkan Raja Farouk. Pimipinan revolusi, kolonel Gamal Abdul Nasir membuka lembaran baru politik luar negeri Mesir, kemudian masuk periode Anwar Saddat dan Husni Mubarok.[5]
P.J Vatikiotis dalam ‘Islam in Foreign Policy’ Adeed Dawisha menyatakan : “there is a significant and fundemental relationshp between egyptian policy and Islam, especially in the complex area of ideology, in the formulation and reformulation of social and political goals and values for modern egypt, and in the Naser regimes conception of Arab Nationalism and the unity of Arab countries”.[6]
Sebagai pemimpin militer, Nasir berusaha memodernisasi senjata dan tentara Mesir, Mesir mengusahakan rencana tersebut dengan hubungan baik dengan Amerika Serikat (AS) namun AS memberikan syarat yang meminta Mesir masuk pada blok barat dalam era perang dingin tersebut, pra-syarat AS menimbulkan kekecewaan pada Nasir dan Mesir beralih kiblat dalam usaha memodernisasi senjata dan tentara pada Chekoslowakia yang mengantar pada Uni Soviet.
Puncak hubungan Mesir-Uni Soviet ditandai dengan rampungnya program pembangunan bendungan Aswan (1964), namun hubungan erat ini tidak berlanjut pada pembenihan ideologi komunis Mesir melainkan hanya sampai berkembanganya sosialisme arab yang di usung Nasir, karena bagaimanapun pan-arabisme dan pan-islamisme jalan yang di cita-citakan Nasir.
Sebelumnya Nasir telah menggagas pan-arabisme dalam Liga Arab (Alexandria, Maret 1945), Mesir serius mewujudkan Republik Persatuan Arab (United Arab republic), namun negara pan-arabisme hanya di dukung Mesir dan Syria serta hanya bertahan singkat (1956-1958). Nasir juga telah menggagas Konferensi Asia-Afrika (Bandung, April 1955)dan melanjutnya perjuangan dengan GNB (1961) bersama Indonesia, India, Ghana dan Yugoslavia yang berujung pada sikap negatif AS pada GNB sebagaiman terpantul dalam pernyataan Menteri Luar Negeri John Foster Duller, “non aligment is immoral”.[7]
Nasir juga sangat menyakini gerakan pan-Islamis, Nasir pernah menulis dalam catatan ibadah hajinya “I fully recognized the need for a radical change of our conception of the pilgrimage ... the pilgrimage should have a potencial political power”. Dalam usaha hubungan baiknya dengan GNB Nasir membuat kebijakan beasiswa Al-Azhar yang fokus Asia-Afrika sebagaimana di tulis Ali E. Hilal dalam ‘Islam in Foreign Policy’ Adeed Dawisha bahwa : “In March 1964, Al-Azhar sponsored the first Afro-Asian islamic conference ... The budget for scholarship for foreign students increased from 15.000 E-Lira in 1952 to 375.000 E-Lira in 1963.” [8]
Namun usaha pembangunan Mesir semakin sulit seiring kebijakan luar negeri Mesir terutama pada perpecahan LA dalam perang Arab-Israel, dalam sengketa tersebut, Nasir mencurahkan fokus politik luar negerinya untuk Palestina. Mesir akhirnya berperang dengan Israel dan kalah dalam perang enam hari 1967 yang berakibat didudukinya wilayah Mesir (Sinai) oleh Israel. Kekelahan ini membuat Nasir merasa bersalah dan mengundurkan diri, namun ia terpilih kembali memimpin Mesir hingga ia wafat pada 28 september 1970.
Sebagai pengganti Nasir, Sadat melakukan pembersihan ‘tokoh kiri’ pro-Soviet dengan alasan pembangunan ekonomi. Sadat lebih sering menggunakan simblol Islam dalam pidatonya, Sadat mendorong aktifitas ‘Muslim Brother’ di dalam kampus sebagai counter gerakan oposisi era Nasir.
Oktober 1973, setelah pemulangan sejumlah penasihat militer Soviet, Sadat melancarkan serangan demi merebut terusan Suez yang dikenal dengan Perang Ramadhan atau Perang Yom Kippur. Sadat berpendapat peran utama menyelesaikan konflik Arab-Israel berada pada AS, pada 1977 Sadat mengunjungi Jerusalem yang dikualifikasi sebagai peace initiative dan menjadi gerbang terjadinya pertemuan antara Sadat, Presiden AS, Jimmy Carter, PM Israel, Menachen Beqin di Camp David dan ditandatanganinya perjanjian Camp David (17 September 1978).
Dampak perjanjian ini ialah dikeluarkannya Mesir dari LA, berjaraknya Mesir dengan lingkaran OKI dan GNB. Kondisi Mesir menjadi semrawut dan Sadat terbunuh pada upacara militer peringatan perang 1967 pada Oktober 1981.[9]
Dari dua masa kepemimpian Abdul Nasir dan Anwar Sadat dapat disimpulkan bahwa Islam telah digunakan keduanya sebagai instrument politik luar negeri yang efektif mengingat letak Mesir yang Arab dan Afrika. Islam digunakan untuk memaksimalkan kapabilitas dan mempersempit perbedaan, namun kesuksesan usaha Abdul Nasir lebih berhasil dibanding Anwar Sadat yang tewas terbunuh kelompok ekstreem.
c. Mesir dan Perang Arab-Israel
Perang Arab-Israel atau Perang Enam Hari terjadi pada 5 Juni hingga 10 Juni 1967, Perang ini merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang enam hari itu terbagi menjadi tiga front, Golan , Sinai dan Yordan. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.
Pada bulan Mei 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai yang telah berpatroli sejak 1957. Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel.
U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur.[10]
Pada tahun 1966-1967 ini Nasir melakukan kampanye mencari dukungan dari pan-Arab untuk menaklukkan Israel dan mengusir Yahudi. Pada 30 Mei 1967 Jordan masuk dalam pakta pertahanan yang sebelumnya dibentuk oleh Mesir dan Syria.[11]
Dalam ucapannya kepada orang-orang Arab pada tanggal 26 Mei 1967, Nasser menyatakan: “Jika Israel memulai agresi terhadap Suriah atau Mesir, pertempuran ini akan menjadi hal yang umum... dan tujuan dasar kita adalah untuk menghancurkan Israel”. Menteri Luar Negeri Israel, Abba Eban menulis dalam biografinya bahwa ia telah diinformasikan oleh U Thant mengenai janji Nasser untuk tidak menyerang Israel, sehingga Abba Eban telah mendapat jaminan yang meyakinkan bahwa“...Nasser tidak ingin adanya peperangan, ia hanya menginginkan kemenangan tanpa peperangan”.
Ditulis di Mesir pada tanggal 4 Juni 1967, jurnalis New York Times James Reston memiliki pandangan mengenai keadaan kairo:
“Kairo tidak ingin adanya peperangan dan ia tidak siap untuk sebuah peperangan. Tetapi ia menerima kemungkinan, walaupun hanya kemungkinan, seolah-olah ia telah kehilangan kekuasaan atas situasi.”
Pada pukul 2:30 pagi tanggal 27 Mei 1967, duta besar Uni Soviet di Mesir, Dimitri Pojidaev mengetuk pintu Nasser dan membacakan satu surat pribadi dari pimpinan Soviet Alexander Kosygin dan berkata “Kami tidak mau Mesir disalahkan sebagai biang keladi atas suatu peperangan di Timur Tengah. Jika anda melancarkan serangan itu, kami tidak dapat mendukung anda.”
Nasir akhirnya mengutus Abdel Hakim Amer berunding menuju Kremlin, dan mereka telah mengesahkan pesanan Kosygin.Hakim Amer akhirnya memberitahu letnan kolonel angkatan udara Mesir, Mayor Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi penyerangan itu dibatalkan. Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei, segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.[12]
Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir. Jelang perang dimulai, Kairo membara dengan orasi-orasi Nasir yg menjanjikan kemenangan Arab yang sebesar kemenangan Saladin. Namun kenyataan berkata lain, begitu perang dimulai dan AU Israel menyelesaikan tugasnya, pasukan Mesir mengalami 'instant routs'.[13]
Pada 10 Juni 1967, pasukan Mesir ditarik mundur, Tanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan. Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel dan banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar Israel.[14]
d. Diaspora Penduduk Gaza dan Sinai
Meskipun kalah dalam Perang Enam Hari, negara-negara Arab tetap teguh sikapnya dalam menolak serta memusuhi Israel. 1 September 1967 diadakan pertemuan puncak LA di ibukota Sudan, Khartoum, guna menggariskan sikap dan aksi bersama pasca Perang Enam Hari. Mereka menghasilkan resolusi “tiga tidak” meliputi : no peace (perdamaian), no recognition (pengakuan) dan no negotiations (perundingan) dengan Israel.[15]
Dengan resolusi Khartoum tersebut, Israel dan negara-negara Arab tidak berharap untuk kesepakatan damai. Masing-masing menyiapkan diri untuk konfrontasi besar selanjutnya. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser di Kairo kemudian menambahkan “satu tidak” lagi, yaitu tidak berhenti memperjuangkan hak-hak yang sah dari rakyat Palestina, tidak akan ada konsesi apa pun bagi Israel.[16]
Penyebab jangka panjang dari perang 1967 adalah lanjutan ketidakmampuan Arab untuk mengakui dan menerima kedaulatan politik orang-orang Yahudi di Israel. Mesir tidak mampu mencari solusi untuk nasib pengungsi Palestina, karena kekerasan pendirian pada pihak Arab dan Israel, menyediakan raison d'etre dan titik kumpul untuk Arab terhadap Israel. Masa selanjutnya menyebabkan lebih banyak penumpukan senjata di kedua belah pihak, kekuatan campur tangan negara super dan Soviet khususnya, menyebabkan situasi perubahan yang begitu cepat di Suriah. Nasir mendekat pada bahaya, dengan pakta pertahanan bersama antara Mesir, Suriah dan Yordania yang didukung kegagalan masyarakat internasional untuk mencegah perang dengan cara diplomasi.[17]



[1] Profil Negara Negara Timur Tengah, Riza Syahbudi, Jakarta : Pustaka Jaya, 1995. Hal 29
[2] Islam in foreign Policy. Adeed Dawisha, Cambridge : C U P, 1985. Hal. 42
[3] Op.Cit. Islam in foreign Policy. Hal. 43
[4] Profil Negara Negara Timur Tengah, Riza Syahbudi, Jakarta : Pustaka Jaya, 1995. Hal 143
[5] Ibid. Hal 151
[6] Islam in foreign Policy. Adeed Dawisha, Cambridge : C U P, 1985. Hal. 86
[7] Op.Cit, Profil Negar-Negara Timur Tengah. Hal. 154
[8] Op.Cit, Islam in foreign Policy. Hal. 87
[9] Op.Cit, Profil Negar-Negara Timur Tengah. Hal. 161
[13] http://scribd.com/12449010-perang-enam-hari, diakses pada 28 April 2010.
[15] A History of The Arab-Israel conflict. Ian J Bickeron dan Carla L. Klauser. New Jersey: Pearson, 2007. Hal. 150
[17] Op.Cit. A History of The Arab-Israel conflict. Hal. 150

1 komentar: