Cari Blog Ini

Demokrasi dan Radikalisme Agama, Sidney Jones

Azmi Muharam (108083000006) HI VIB
Demokrasi dan Radikalisme Agama, Sidney Jones, International Crisis Group, 23 May 2011.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negara Islam Syarif Hidayatullah
Dalam seminar ini Jones mempresentasikan Demokrasi dan Radikalisme Agama dengan sangat menarik karena menggunakan pola bahasa dan ilustrasi yang menggelitik. kehati-hatian dan komunikasi yang baik merupakan nilai tambah disamping tema diskusi yang memukau.
Jones memulai presentasi dengan menjelaskan demokrasi dan keadaan demokrasi di Indonesia, demokrasi sebagai suatu sistem politik melalui kebijakan yang dibuat oleh pejabat negara yang dipilih oleh rakyat telah berjalan di Indonesia. Dalam pemilihan umum (pemilu) yang dilaksanakan secara rutin, jujur dan adil, sebagian besar masyarakat dewasa punya hak pilih dan yang kalah bersedia turun.
Dengan demokrasi, kekuasaan pemerintah dibatasi melalui sistem “checks and balances” dan pemisahan kekuasaan antara eksekutif legislatif dan judicial. Ada hal menarik yang ingin disampaikan Jones dalam memaparkan proses checks and balances ini, dengan menggunakan ilustrasi gambar anggota legislatif yang tertidur di ruang sidang DPR, hal ini penulis pahami sebagai kritikan bagi demokrasi di Indonesia yang baru bangkit sejak satu dasawarsa silam.
Dalam kaitan dengan demokrasi terkait Hak Asasi Manusia (HAM), seperti kaitan bangunan dan pondasinya. Di negara demokrasi, HAM wajib dilindungi hukum, Hak sipil dan politik seperti Hak Persamaan di mata hukum, Hak berekspresi, Hak berkumpul, Hak berasosiasi dan Hak beragama dilindungi oleh UUD 45 dan UU lain, selain kedua hal ini HAM juga dilindungi UU lembaga internasional yang dapat menjadi rujukan negara.
Meskipun HAM wajib dilindungi hukum namun hak-hak tersebut juga dapat dibatasi, apabila bertujuan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum, atau untuk menghormati hak atau nama baik orang lain. Larangan ini termaktub dalam salah satu pasal ICCPR yang berbunyi “segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum”.
Hal inilah yang berhubugan dengan radikalisme agama. “radikalisme” bisa diartikan aktivisme yang ditujukan untuk merubah sistem sosial-politik secara drastis. Para “radikal” pada umumnya melihat dunia dalam perspektif hitam-putih, melihat hanya merekalah yg punya kebenaran mutlaq dan tidak ada ruang untuk penafsiran yg berbeda. Tidak sama dengan “fundamentalisme” yang memahami kitab suci secara teguh sesuai literalnya. Di Indonesia, ada kelompok radikal non-violent yang nyata dari umat Kristen maupun umat Islam, tetapi ada pula yang kurang tepat memakai atau membenarkan kekerasan dengan main hakim sendiri dan dengan terorisme atas nama jihad terhadap kafir atau thaghut.
Bagaimana seharusnya demokrasi menghadapi radikalisme agama? Jones berpendapat untuk gerakan yang melanggar hukum, harus diproses secara imparsial dan tanpa kekecualian. Adapun mengenai pelarangan ormas menurutnya bila tujuan mereka adalah amar ma’ruf nahi mungkar atau memperjuangkan syariat Islam secara damai maka hak mereka harus dilindungi, tapi siapapun yg melanggar hukum harus diproses. Bila kebijakan mereka dengan tindakan main hakim sendiri, pemerintah harus tegas bahwa tidak ada satu ormaspun yang bisa mengganti tugas negara. Mengenai pelarangan buku dan media radikal lain, hal tersebut tidak cocok degan demokrasi karena yang demikian cukup dengan ditentang dengan buku dan media tandingan.
Dari segi lain, pemerintah harus melindungi hak minoritas dan mencegah penyebaran kebencian atas dasar agama, suku atau ras, seperti di Belanda, pemerintah menggugat Geert Wilders karena menyebarkan kebencian terhadap Islam. Namun di Indonesia hal ini lebih sulit lagi karena pengalaman pahit di Orde Baru yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah rendah.
Sebenarnya ada Pasal 156 yang mengatur perlindungan tersebut namun masih terlalu luas karena belum ada definisi atau jurisprudensi yang kuat. Jones berkomentar terhadap hukum Indonesia salah satunya, perlu memfokusan terhadap penghasutan dalam pasal 160 KUHP. Penghasutan seperti dicontohkan dengan kata-kata tabligh akbar Sobri Lubis yang menggemakan “Bunuh Ahmadiyah ! Bunuh ! Bunuh !” dalam kenyataannya memang cukup banyak terjadi di Indonesia tanpa ada tindakan apapun dari pemerintah.
Kalau ada penegakkan hukum yg profesional dan sistem peradilan yg kuat dan bersih, Jones meyakini tidak ada bahaya untuk demokrasi, juga tidak bersifat pelanggaran HAM, kalau para penghasut dan penyebar kebencian ditangkap dan dihukumi. Disinilah poin utama presentasi Jones yakni penguatan lembaga hukum dan pengefektifan check and balance, disamping pendidikan usia dini dan deradikalisassi dengan ekspresi suara di jalur demokrastis.

0 komentar:

Posting Komentar