Cari Blog Ini

human security asean

BAB I
PENDAHULUAN
Ide tentang human security membangkitkan kembali perdebatan mengenai apa itu keamanan dan bagaimana mencapainya. Paling tidak ada tiga kontroversi dalam perdebatan tersebut. Pertama, human security merupakan gagasan dan upaya negara-negara Barat dalam bungkus baru untuk menyebarkan nilai-nilai-nilai mereka terutama tentang hak azasi manusia. Kedua, human security, sebagai suatu konsep, bukanlah hal baru. Human security yang secara luas mencakup isu-isu non-militer juga sudah dikembangkan di dalam konsep keamanan konprehensif. Ketiga, barangkali perdebatan yang paling tajam, adalah perbedaan dalam definisi dan upaya untuk mencapai human security oleh masing-masing pemerintah nasional berdasarkan sudut pandang, pengalaman, dan prioritas yang berbeda.[1]
Gagasan human security, bukan hal baru dalam disiplin Hubungan Internasional. Bahwa ancaman tidak hanya datang dari negara lain dalam bentuk ancaman kekuatan militer sudah disadari oleh beberapa analis dan para pembuat kebijakan sejak beberapa dekade yang lalu, misalnya konsep insecurity dilemma dan beberapa perhatian pada keamanan anak-anak dan wanita yang ditunjukkan oleh karya Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown, beberapa teoritisi saling ketergantungan, dan para penganut pandangan kosmopolitanisme dalam hak azasi manusia.[2]
Berakhirnya Perang Dingin menciptakan momentum baru yang memberi ruang bagi penafsiran kembali makna keamanan. Ia tidak semata-mata keamanan negara dari ancaman militer negara lain. Bahkan, sebagai implikasinya, peran militer pun diperluas untuk melakukan tugas-tugas di luar pertahanan teritorial. Selain itu, perhatian terhadap human security juga diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Dan, yang paling mencolok adalah bahwa menguatnya gagasan dan upaya human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak azasi manusia, dan sebagainya.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai human security dan implikasinya terhadap ASEAN sebagai regionalisasi di kawasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Human Security
UNDP(United Nations Development Program) merumuskan human security dalam beberapa komponen sebagai berikut:[3]
  1. keamanan ekonomi (assured basic income)
  2. keamanan pangan (physical and economic access to food)
  3. keamanan kesehatan (relative freedom from disease and infection)
  4. keamanan lingkungan (access to sanitary water supply, clean air and a non-degraded land system)
  5. keamanan sosial (security of cultural identity)
  6. Keamanan individual (security from physical violence and threat), dan
  7. keamanan politik (protection of basic human rights and freedom)
Aspek human need dari human security di Asia Pasifik cukup menonjol setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Krisis tersebut secara dramatis telah meningkatkan kemiskinan, menggagalkan hasil pembangunan, menyebabkan instabilitas politik dan persaingan ekonomi yang tidak seimbang serta ketegangan antar negara yang disebabkan oleh pengungsi dan imigran gelap semakin memperburuk suasana.[4] Hal tersebut juga mendorong semakin diperlukannya good governance, pembangunan yang memperhatikan lingkungan, dan sebagainya. Selain itu diperlukannya jaringan pengamanan sosial untuk kaum miskin, sesuatu yang pernah diabaikan karena negara-negara cenderung mengejar pertumbuhan.hal inilah yang mempengaruhi kehidupan keamanan di negara-negara anggota ASEAN.
Ringkasnya, human security memerlukan perubahan dari pemikiran mengenai keamanan negara menuju kepada gagasan keamanan manusia termasuk didalamnya keamanan individu dan masyarakat.
Di Asia Pasifik ataupun ASEAN sendiri, human security menjadi paradigma keamanan di kawasan. Namun hal itu tergantung dari bagaimana human security sebagai norma yang sedang muncul berinteraksi dengan konsep dan praktek-praktek keamanan bersama yang merupakan norma-norma baru yang muncul sangat tergantung pula dari bagaimana nilai-nilai baru tersebut menyesuaikan dengan norma dan identitas yang telah ada. Berikut ini adalah pembahasan mengenai Human Security di Asia Tenggara.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa mennurut UNDP, Human Security terdiri dari beberapa komponen seperti keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan sosial , Keamanan individual dan keamanan politik. Hal tersebut menyangkut pada isu-isu human security di Asia Tenggara seperti adanya trafficking, terrorism,pekerja migran, pengungsi,adanya kemiskinan, respon terhadap bencana alam,pelanggaran HAM, penyakit ataupun tentang Demokrasi.
B. Human Security di Asia Tenggara
Perbedaan latar belakang,sejarah,status ekonomi,kepentingan nasional,posisi geografi, membuat negara-negara anggota ASEAN sering disertai dengan konflik yang tak terelakkan. Terlebih lagi terjadi krisi ekonomi pada 1998 di Asia yang berdampak pada isu-isu keamanan di Asia Tenggara.
Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun terakhir menekankan pada people centered. Misalnya terdpat dalam Piagam ASEAN yang diadopsi dalam KTT ASEAN ke 13 di tahun 2007 yang menekankan pada mempromosikan kerjasama yang fokus pada ekonomi, politik-kemanan dan sosialo budaya yang people oriented. [5]
Tetapi nyatanya, terdapat isu internal dalam tubuh Asia Tenggara sendiri. Berikut akan dibahas isu-isu human security di Asia Tenggara.
1. Human trafficking (Perdagangan manusia)
Perdagangan manusia menjadi isu yang sentral di kawasan Asia Tenggara karena di kawasan ini Hak Asasi Manusia yang di langgar dengan perdagangan manusia banyak terjadi di hampir setiap Negara anggota ASEAN. Menurut protokol PBB tahun 2000 tentang untuk mencegah, menanggulangi, dan menghukum perdagangan terhadap manusia, khususnya perempuan dan anak-anak: Suplemen Konvensi PBB mengenai kejahatan lintas batas Negara, perdagangan manusia adalah Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.[6]
Dari definisi di atas dapat simpulkan bahwa pengertian perdagangan manusia yang di uraikan dalam protokol PBB tahun 2000 tersebut telah jelas di dalamnya mengenai proses, dan cara-cara yang dilakukan dalam perdagangan manusia. Selain itu dapat dianalisa mengenai tujuan-tujuan dari Human Trafficking tersebut diantaranya untuk kegiatan prostitusi, kerja paksa, perbudakan, pornografi, dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.[7]
Jenis kejahatan ini melibatkan perdagangan buruh ilegal dari Indonesia dan Philipina ke Malaysia dan dari Asia Selatan (Irak dan Afghanistan) ke kawasan Asia Tenggara menuju ke Australia. Thailand adalah sa;ah satu negara tujuan bagi perdagangan wanita yang berasal dari Cina, Myanmar dan Laos serta Kamboja.
Contoh lain : Setiap tahunnya rata-rata sebanyak 3 ribu sampai 4 ribu perempuan dan anak-anak diperdagangkan. Dengan iming-iming pekerjaan dan gaji besar, mereka dibawa ke luar negeri dengan cara illegal atau tanpa surat-surat resmi. Di Indonesia, berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasi sebagai daerah asal korban trafficking, baik untuk dalam maupun luar negeri. Daerah tersebut antara lain, Nanggroe Aceh Darrussalam, Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur.
Upaya ASEAN menangani isu-isu kejahatan transnasional dilakukan dengan pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh ARF (ASEAN Regional Forum). Dalam tahun 2000 ARF EGM (Expert Group Meeting) menyelenggarakan pertemuan di Singapura dan Seoul. Tahun 2001 ARF EGM kembali bertemu di Kuala Lumpur untuk mengatasi kejahatan ini. Semnetara pertemuan di Kuala Lumpur mendorong negara-negara ARF untuk menandatangani UN ”Protocol to Prevent,Suppres,and Punish Traficking in Persons,especially Women and Children.”[8]
Disamping itu, gejala para pencari kerja dari suatu negara ke negara lain yang tidak disertai dengan dokumen resmi merupakan salah satu isu yang juga menimbulkan masalah di kalangan negara-negara ASEAN. Gerakan manusia ini terjadi dari negara-negara yang miskin (Indonesia,Filipina, Myanmar) ke negara yang lebih makmur (Malaysia dan Singapura). Para TKI yang tidak memiloiki dokumen sah menjadikan persoalan yang sering menimbulkan ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia.[9]
2. Terorisme
Terorisme adalah musuh bersama saat ini yang diperangi oleh seluruh negara dunia. Begitu juga dengan di kawasan Asia Tenggara, terorisme telah mengancam kawasan regional Asia Tenggara yang berimbas tidak hanya kepada Negara saja tetapi juga terhadap masyarakat di dalamnya, sehingga keamanan bersama dalam kawasan regional ASEAN perlu di tingkatkan. Terutama sejak terjadinya peristiwa 9/11 yang menyerang Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pejabat senior ASEAN sehingga memutuskan untuk mengadakan pertemuan kembali guna merancang kerja sama mengenai keamanan regional dalam Deklarasi ASEAN mengenai Aksi Bersama untuk Melawan Terorisme.[10]
Contoh Kasus: Peristiwa Bom Bali 2002 merupakan bukti bahwa terorisme global merupakan ancaman keamanan nyata bagi kawasan Asia Tenggara. Tidak hanya Asia Tenggara, kawasan tetangga seperti Asia Timur juga merasa terancam dengan peristiwa tersebut. Apalagi kawasan Asia Timur juga memiliki pengalaman buruk dengan terorisme.[11]
Tanggapan ASEAN dalam menanggapi isu terorisme ini adalah melakukan berbagai pertemuan dalam forum-forum resmi. Tindakan bersama untuk menanggulangi terorisme dideklarasikan di Brunai Darusalam, dua bulan sejak tragedi 9/11 pada 2001, yakni pada pertemuan puncak ASEAN ketujuh. Pada Mei 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia, digelar ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) yang menghasilkan rencana aksi melawan terorisme. Dukungan memerangi terorisme juga disampaikan ASEAN dalam pertemuan puncak ASEAN di Pnom Penh pada November 2002 atau sebulan sejak Bom Bali I.
Dalam memerangi terorisme, negara ASEAN sepakat untuk meningkatkan pertukaran informasi dan intelijen untuk mengidentifikasi secara cepat pihak-pihak yang diduga teroris atau terlibat dalam kelompok teroris, termasuk pergerakan dan pendanaannya. Pemberian informasi terkait dengan perlindungan kehidupan, property dan keamanan berbagai moda perjalanan juga akan ditingkatkan. Pada Mei 2002, digelar pula Konferensi ASEAN Chiefs of Police (ASEANAPOL) di Phnom Penh. Hasil dari konferensi tersebut adalah komitmen bersama dalam memerangi tindakan terorisme.[12]
TANGGAPAN ASEAN TERHADAP ANCAMAN TERORISME
Tanggal dan Tempat
Forum
Hasil
November 2001, Brunei
Pertemuan puncak ASEAN ke-7
Deklarasi tentang tindakan bersama melawan terorisme
Mei 2002,Kuala Lumpur
AMMTC Special Meeting on Terrorism
Rencana Aksi melawan terorisme
Juni 2003,Hanoi
Senior officers meeting on transnational crime
Pembentukan Task Force Pasca ancaman teroris dqan kesepakatan penyerahan oknum yang dicurigai sebagai teroris
ASEAN Intelligence Chiefs Meeting dan ASEANPOL
Pertukaran informasi intelijen
1 Agustus 2002
Pertemuan dengan mitra dialog
Deklarasi kerjasama ASEAN-AS untuk memerangi terorisme
November 2002
Pertemuan punck ASEAN-China ke-6
Deklarasi bersama Cina tentang isu-isu kemanan non-tradisional
Desember 2002
Kerjasama dengan Amerika
Rencana kerjasama ASEAN untuk memerangi isu-isu keamanan transnasional (perompakan,terorisme,obat-obatan, pengiriman manusia)
Januari 2003
ASEAN-EU Ministerial Meeting (AMM) ke-14
Deklarasi kerjasama melawan terorisme internasional
Juli 2004
AMM dan PMC ke-37
Deklarasi (ASEAN-Rusia,ASEAN-Australia) kerjasama melawan terorisme Internasional
Sumber : Bambang Cipto. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Pustaka Pelajar 2006 hal 240
3. Refugees (Pengungsi)
Pengungsi menjadi salah satu tema yang di bahas mengenai keamanan manusia karena ini tidak jauh dengan pemahaman tentang konsep Hak Asasi Manusia. Masalah pengungsian dapat timbul akibat karena adanya konflik di dalam suatu negara. Menurut UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) pengungsi adalah seseorang yang telah dipaksa meninggalkan negeri nya karena penganiayaan, perang, atau kekerasan. Seorang pengungsi memiliki ketakutan yang didirikan penganiayaan karena alasan ras, agama, kebangsaan, pendapat politik atau keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Kemungkinan besar, mereka tidak dapat kembali ke rumah atau takut untuk melakukannya. Perang dan kekerasan etnis, suku dan agama adalah penyebab utama pengungsi melarikan diri negara mereka.[13]
Dalam makalah ini kami memfokuskan terhadap masalah pengungsian yang terjadi di negara Myamar yang berdampak bagi negara Thailand. Pengungsi yang berasal dari negara Myanmar timbul karena kedaan dalam negeri tersebut belum sepenuhnya aman untuk di tinggali karena serangan bersenjata yang dilakukan oleh pemerintah militer Myanmar terhadap warganya sendiri terutama di daerah Karen.[14] Kasusnya adalah adanya temuan Departemen Luar Negeri RI yang mendapati 193 pengungsi Myanmar dan Banglades yang berada di Sabang, NAD yang merupakan indikasi perdagangan manusia (trafficking) dan penyelundupan manusia (people smugling).[15]
4. Demokrasi
Demokrasi hakikatnya adalah mengenai kebebasan individu dan kelompok dalam melakukan hal yang di inginkan tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Begitu juga dengan demokrasi dalam suatu negara yang seyogyanya mengayomi seluruh warga negaranya untuk hidup dalam suatu tatanan pemerintahan yang adil, jujur dan transparan. Beberapa negara berkembang anggota ASEAN telah menjalankan proses demokrasri tersebut, salah satunya adalah Indonesia yang bebas dari masa rejim orde baru.
Selain itu demokrasi menjadi sesuatu yang mengerikan bagi pemerintahan junta militer Myanmar karena mereka yang telah berkuasa sejak 1962 dengan di awali dengan pemerintahan militer jenderal Ne Win dan kini di pegang oleh jenderal Than Swe sebagai tokoh dari SPDC (The State Peace and Development Council) dan perdana menterinya Thein Shein tidak mengingkan pemerintahannya jatuh ke tangan masyarakat sipil.
Implikasi dari adanya pemerintahan militer tersebut terhadap proses demokratisasi di negara Myanmar ialah banyaknya terjadi pelanggaran HAM di negara Myanmar, termasuk salah satunya adalah menahan tokoh politik oposisi Myanmar dari partai National Leageu for Democracy (NLD), Aung San Suu Kyi dan sejumlah tawanan politik lainnya. Selain itu, terjadinya pengungsian secara besar-besaran dari negara bagian Karen ke negara Thailand.[16]
5. Bencana Alam
Studi Kasus : Topan Nargis di Myanmar
Bencana ini terjadi pada 3 Mei 2008 lalu. Palang merah internasional memperkirakan korban tewas akibat topan Nargis di Myanmar mencapai 128 ribu jiwa. Hingga kini, junta Myanmar tidak membuka lebar akses bantuan terhadap korban bencana. Bahkan banyak sukarelawan dan bantuan internasional yang tertahan di Thailand lantaran tidak mendapat visa masuk. Padahal, upaya pertolongan pemerintah setempat kepada para korban tidak maksimal. Selain itu, tingginya curah hujan dan sulitnya medan bencana di sekitar Delta Sungai Irrawady juga mempersulit distribusi bantuan. [17]
Pasca badai, ASEAN meluncurkan enam buku mengenai respons pasca topan Nargis di Bangkok sebagai bagian dari upaya kawasan untuk membudayakan praktek baik pelaksanaan operasi di Myanmar. Salah satu bukunya berjudul: "A Humanitarian Call: The ASEAN Response to Cyclone Nargis".
Setelah topan terjadi, ASEAN telah diminta untuk memfasilitasi dukungan internasional, dibawah mekanisme Kelompok Inti Tripartite (TCG), yang terdiri atas pemerintah Myanmar dan PBB. Dalam buku yang diterbitkan ini, merupakan langkah penting untuk memperkuat kemitraan PBB-ASEAN dan mekanisme kerjanya untuk menanggulangi bencana di kawasan pada masa mendatang.[18]
6. Perdagangan Obat-obatan
The Golden Triangle atau segitiga emas adalah sebuah kawasan yang terletak di Asia Tenggara. Segitiga emas ini terdiri dari daerah Thailand utara,Laos bagian utara,Laos bagian barat,dan Myanmar bagian Timur. Dikawasan inilah narkotika,heroin,dan amphetamine diproduksi dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Bisnis dengan keuntungan berlipat ini membuat pelaku utamanya, khususnya Myanmar sangat sulit ditaklukkan. Junta Myanmar bahkan cenderung mengambil garis lunak dan memberi otonomi bagi etnis Wa yang dikenal sebagai produsen utama amphetamine.Dari kawasan segitiga emas ini,obat-obatan terkarang kemudian dislaurkan ke Thailand. Jalur lain melalui Yunan, Gang Dong,Hingkong,dan Macao. Jalur transit adalah Vietnam,Kamboja,dan Filipina dan dari kawasan ini obat-obatan terlarang tersebut akan diedarkan ke seluruh dunia termasuk ke Asia, yang mulai meningkat daya serapnya terhadap amphetamine.[19]
Thailand termasuk negara yang paling dekat dengan kawasan segitiga emas. Tahun 2003, perdana Mendteri ThaksinShinawatra giat melancarkan perang terbuka terhadap jaringan obat-obatan gelap di negerinya. Pemerintah Thailand menetapkan target bahwa dalam waktu tiga bulan sejak awal februari perang ini akan berakhir dengan kemenangan di pihka pemerintah. Pelaksanaan kebijakan ini kemudian menimbulkan protes publik karena penangkapan dan pelaksanaan ekseskusi terhadap mereka yang dituduh terlibat jaringan obat-obatan amnegakibatkan terjadinya pelanggaran HAM.
Persoalan perdagangan obat-obatan terlaarang ini tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN, tetapi telah mendorong ASEANuntuk mengajak PBB, dalam hhal ini adalah UNDCP( United Nations Office of Drug Control and Crime Prevention).
Pertemuan internasional ini menghasilkan Bangkok Political Declaration in Pursuit of Drug-Free ASEAN 2015. ASEAN bahkan mengembangkan kerjasama khusus dengan China Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs). Kerjasama ini meningkatkab wilayah kegiatan ASEAN ke kawasan Asia Timur, khususnya lewat perbatasan China didalamnya.
Rencana aksi yang dicakup oleh kerjasama regional ini adalah sebagai berikut:[20]
1. Pro-aktif meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya obat-obatan terlarang
2. Memperkuat kepastian hukum dengan memperluas jaringan pengawasan dan meningkatkan kejasama penegakan hukum
3. Membangun konsensus dan berbagi pengalaman praktik baik pengurangan permintaan atas obat-obatan terlarang dan menghancurkan suplai obat-obatan terlarang tersebut dengan mendorong program pembangunan alternatif dan partisipasi masyarakat dalam pemusnahan tanaman obat terlarang.
7. Pembajakan
Pembajakan atau piracy adalah bentuk kejahatan terorganisir yang merupakan salah satu ancamana utama keselamatan pelayaran di selat Malaka. Kejahatan ini sudah berlangsung ratusan tahun di seluruh dunia. ASEAN bahkan telah menyadari potensiancamanpembajakan ini sejak awal dekade 90-an. Dalam tahun-tahun pertaman dekade 90-an beberapa negara angggota melakukan upaya bilateral untuk mengatasi pembajakan. Bahkan ARF telah menyelanggarakan konferensi tentang pembajakan beberapa kali. Namun, sebagai forum, ARF memang tidak memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan praktis guna mengatasi ancaman pembajakan.
Pada peralihan dari abad 20 ke abad 21 angka kejahatan yang disebabkan oleh pembajakn meningkat sangat tajam. Bahkan pada 2003 dari sekitar 445 pembajakan kapal di seluruh dunia sekitar 25% terjadi di Indonesia. Gangguan terhadap keselamatan kapal ini terjadi pada umumnya saat kapal berada di pelabuhan dan sebagian besar target kejahatan adalah kapal-kapal kecil karena biasanya mengangkut barang-barang yang dapat dengan mudah di jual di pasar gelap.
Secara umum perairan di Asia Tenggara dikenal penuh dengan serangan bajak laut bahkan secara khusus Indonesai dikenal sebagai kawasan paling mengkhawatirkan. Tahun 2002 ditandai dengan peningkatan frekuensi serangan bajak laut yang sangat menyolok di Indonesia.Selat Malaka dan India adalah kawasan lain yang rentan terhadap serangan bajak laut. Para bajak laut ini merampas sebagaian kecil atau seluruh muatan kapal yang dibajak,bahkan tidak jarang merreka juga membunuh kru kapal yang dibajak. Pada akhir 1998 tidak kurang dari 23 kru sebuah kapal Cina mati terbunuh karena serangan brutal bajak laut.[21]
Sekitar tahun 1998, saat kondisi ekoonomi Indonesiasangat buruk, serangan bajak laut lebih banyak terjadi di perairan Indoensia. Tahun 1997 hanya terdapat 47 serangan bajak laut. Angka ini naik menjadi 113 pada 1999. Tingginya frekuensi bajak laut di perairan Indonesia pada periode krisis ekonomi bukan tidak mungkin karena kesulitan ekonomi yang melilit bangsa Indonesia saat itu. Instabilitas politik dan ekonomi dengan sendirinya membuat kegiatan penegakan hukum di lautpun mengalami penurunan.[22]
Negara-negara Asia Tenggara menanggapi bajak laut ini dengan melakukan dua hal utama. Pertama, melakukan patroli gabungan antara Malaysia,Singapura, Indonesia. Kedua, antaara 1998-2005 ARF menyelenggarakan serangkaian workshop berkaitan dnegan keamanan kawasan maritim Asia Tenggara.[23]
Ketidakmampuan ASEAN melindungi pengawasan perairan dari serangan bajak laut berakibat meningkatnya seraganbajak laut sesudah dunia memasuki abad-21. Ketiadaan sarana yang memadai untuk mengamankan kawasn perairanASEAN membuat para bajak laut meningkatkan serangan mereka pada kapal-kapal muatan barang.
8. Keamanan Lingkungan
Pembangunan ekonomi yang menjadikan perkemabangan ekonomi di ASEAN menjadi pesat pada dekade 90-an mennimbulkan dampak negatif bagai kawasan itu sendiri. Salah satunya dengan terjadinya kerusakan lingkungan termasuk tanah, air, dan udara sehingga mempengaruhi hubungan internasional di kawasan ASEAN. Karena persoalan lingkungan yang terjadi di ASEAn telah menjadi sumber konflik anatar negara di ASEAN.[24]
Berikut beberapa kasus yang berkaitan dengan keamanan lingkungan di ASEAN:[25]
1. Asap
Pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera menciptakan ancaman kemanan penduduk di kawasan ASEAN, polusi asap yang terjadi tahun 1997 adalah sedemikian parahnya sehingga selama kurang lebih tujuh bulan asap menyelubungi langit Singapura,Malaysia, Tahiland, Australia,Indonesai dan Filipina. polusi asasp ini sangat mebahayakan manusia sebab mengganggu kesehatan mata dan paru-paru.
Karena luasnya dampak lingkungan ini, ASEAN sejak 1995 sudah membicarakan isu asap yang mengganggu kesehatan bagi penduduk ASEAN. Walaupun tidak menemukan cara dalam menagatsi gangguan lingkungan tersebut, ASEAN terus menyelenggarakan berbagai pertemuan.
Tahun 20022 ASEAN akhirnya mengesahkan sebuah perjanjian yang mengatur pengelolaan asap tersebut. The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution mengawasi dan mencegah polusi assp melalui berbagai bentuk kerjasama yang telah disepakati bersama.
2. Deforesasi dan Penebangan kayu ilegal.
Penebangan pohon secara ilegal dapat menyebabkan berkurangnaya fungsi hutan sebagai paru-paru dunia. Selain itu penebangan hutan juga menyebabkan kerusakan tanah,kekuranagan air,polusi udara anatarnegara,emisi gas rumah kaca, dan banjir yang tak terkendali.
Contohnya: Indonesia
C. Respon ASEAN terhadap Human Security di kawasan
Dalam Piagam ASEAN Bab I, pasal 1 (ayat 7) yang dikatakan sebagai Komunitas ASEAN adalah sebuah komunitas yang ditujukan untuk memperkuat demokrasi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Komunitas yang dimaksud adalah sebuah masyarakat yang mampu memberikan ruang yang lebih besar bagi nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, negara-negara anggota ASEAN harus memiliki semangat penghargaan atas HAM dan kepercayaan pada Demokrasi. Salah satu implementasi yang sangat penting berkaitan dengan persoalan diatas adalah pembentukan Badan Hak Asasi Manusia ASEAN, sebagaimana diamanatkan di dalam pasal 14 ASEAN Charter.[26]
Untuk itu, dibentuklah Komisi HAM ASEAN yang diharapkan dapat menjadi sebuah solusi efektif bagi masalah-masalah HAM yang selama ini melemahkan peran dan citra ASEAN di kancah internasional. Pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan sebuah langkah maju dalam penguatan nilai-nilai HAM di ASEAN dan memberikan peluang yang lebih besar akan perbaikan implementasi dan penegakan HAM di ASEAN.[27] Buktinya yaitu dengan dibentuknya AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR).
C.1. PEMBENTUKAN ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION on HUMAN RIGHTS (AICHR)
Dalam Deklarasi Bangkok 1967,terdapat refleksi terhadap masalah-msalah yang berkaitan dengan HAM. Deklarasi tersebut secara tegas merujuk kepada kemajuan social dan pembangunan budaya, penghormatan kepada keadilan dan hukum serta peningkatan standar hidup masyarakat. Tujuan-tujuan tersebut menjadi focus dari berbagai program kerjasama fungsional yang menggambarkan keinginan kuat pemerintah di negara-negara ASEAN untuk memajukan HAM.[28]
Pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan pelaksanaan perintah dari ASEAN Charter yang baru diratifikasi yang tepatnya pada tanggal 15 Desember 2008, dimana pasal 14 dari piagam tersebut secara jelas memerintahkan kepada ASEAN, dalam hal ini Forum Menteri Luar Negeri ASEAN, untuk membentuk sebuah Komisi HAM ASEAN. ASEAN Intergovernmental Commission on Human Right (AICHR) adalah bagiasn dari pelaksanaan ASEAN Charter, dan dilantik pada 23 oktober 2009 pada saat penyelenggaraan ASEAN Summit ke-16.[29]
AICHR dibentuk dengan enam tujuan. Pertama, mempromosikan serta melindungi HAM dan hak kebebasan bangsa ASEAN. Kedua, menjunjung hak bangsa ASEAN untuk hidup secara damai, bermartabat, dan makmur. Ketiga, mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam yakni menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga persahabatan dan kerja sama antara anggota ASEAN. Keempat, mempromosikan HAM di tingkat regional dengan tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban. Kelima, meningkatkan kerja sama regional melalui upaya di tingkat nasional dan internasional yang saling melengkapi dalam mempromosikan dan melindungi HAM. Keenam, menjunjung prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights, Vienna Declaration serta program pelaksanaannya, dan instrumen HAM lainnya, dimana anggota ASEAN menjadi pihak.
Pada intinya, AICHR berfungsi sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. AICHR akan bekerjasama dengan badan-badan ASEAN lainnya yang terkait dengan HAM dalam rangka melakukan koordinasi dan sinergi di bidang HAM.
D. IMPLIKASI HUMAN SECURITY
1. Terhadap peace and prosperity di Asia Tenggara
Dengan adanya banyak masalah yang terjadi di kawasan ini menyebabkan sebagian anggapan bahwa ASEAN hanya bisa berbicara saja tanpa ada actionnya. Kerjasama yang dianggap bisa mencapai keamanan dan kesejahteraan masih dianggap lemah karena adanya kondisi internal di dalam tubuh ASEAN sendiri.
2. Terhadap reputasi ASEAN sebagai regionalisme di Asia Tenggara
Masalah HAM di Myanmar adalah contoh tentang pengaruh situasi HAM di suatu negara terhadap interaksi di dalam dan di luar kawasan termasuk ASEAN. ASEAN sering harus membela posisinya dalam masalah HAM di Myanmar saat berhadapan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sementara itu, secara simbolik masalah HAM adalah taruhan reputasi ASEAN di dunia internasional yang telah mengumandangkan pembangunan ekonomi, HAM, dan keamanan sebagai tiga pilar perdamaian internasional.
Tetapi bagaimanapun juga, prinsip ASEAN yang menganut non-interference akan tetap dipertanyakan dalam hubungannya dengan penegakan HAM.Mantan Menlu RI, Hassan Wirajuda berulangkali menegaskan bahwa paradigma ASEAN mengenai HAM mesti bergeser dari pendirian selama ini, namun tetap dengan menghormati kedaulatan dan integritas negara-negara anggota ASEAN.
E. Tantangan ASEAN
  • Pembentukan mekanisme HAM di tingkat regional masih dianggap dapat mencampuri masalah dalam negeri negara-negara ASEAN.
  • Sebagian besar negara-negara ASEAN dalam pelaksanaan kesepakatan ataupun persetujuan yag telah dicapai oleh ASEAN,Kurangnya tindak lanjut serta implementasai nyata dari kesepakatan yang telah dicapai ASEAN menyebabkan kurang maksimalnya hasil yang dicapai dalam kerjsama antar negara-negara ASEAN selama ini.
BAB III
KESIMPULAN
Konsep Human Security menurut pendapat UNDP (United Nation Development Programm) terdiri dari keamanan ekonomi (assured basic income),keamanan pangan (physical and economic access to food),keamanan kesehatan (relative freedom from disease and infection),keamanan lingkungan (access to sanitary water supply, clean air and a non-degraded land system),keamanan sosial (security of cultural identity),Keamanan individual (security from physical violence and threat), dan keamanan politik (protection of basic human rights and freedom). Di Asia Tenggara sendiri, baru- baru ini menerapkan perhatiannya juga kepada people centered yang menyangkut masalah kemanusiaan. Karena di Asia Tenggara berkembang banyak isu yang meliputi human trafficking, pengungsi yang diakibatkan oleh keadaan politik yang tidak stabil,bencana alam,terorisme dan demokrasi yang mempengaruhi kestabilan politik di negara-negara Asia Tenggara.
Oleh karena itu, dengan banyaknya isu yang ada di kawasan ini maka ASEAN sebagai regionalisasi di kawasan Asia Tenggara membentuk badan hak asasi manusia yang disebut dengan AICHR (ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION on HUMAN RIGHTS ) sebagai institusi HAM di ASEAN yang bertanggungjawab untuk pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN dan diharapkan sebagai titik terang untuk menunjukkan pada dunia Internasional bahwa ASEAN memperhatikan isu Human Security.
DAFTAR PUSTAKA
Cipto, Bambang.2007.Hubungan Internasional di Asia Tenggara.Pustaka Pelajar:Jogjakarta
Nishikawa, Yukiko.“Human Security in Southeast Asia. Viable or empty Slogan?”Security dialogue,Vol.40
http://www.aseansec.org/16793.htm


[2] Log.cit
[3] Log.cit
[4] Log.cit
[5] Yukhiko Nishikawa
[6] http://www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf
[7] Kemudian, perdagangan manusia dapat di ketahui dengan adanya beberapa faktor yang memicu hal tersebut terjadi, diantaranya:
Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafiking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban;Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut;Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu trafiking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua.
Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas;
Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafiking.
Sumber:log.cit
[8] Bambang Cipto. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Pustaka Pelajar 2006 hal231
[9] Ibid
[10] Para Pemimpin ASEAN, pada KTT ke-7 tanggal 5 November 2001 di Brunei Darussalam, mengadopsi Deklarasi ASEAN mengenai Aksi Bersama untuk Melawan Terorisme. KTT mendukung diselenggarakannya sebuah Pertemuan Khusus Pejabat Senior untuk Terorisme dan Pertemuan Khusus Menteri ASEAN pada Terorisme untuk mengoperasionalkan Deklarasi ASEAN mengenai Aksi Bersama untuk Melawan Terorisme. Dalam pertemuan tersebut telah disahkan beberapa program dan inisiatif untuk meningkatkan kemampuan negara-negara anggota ASEAN untuk melawan terorisme. Ini mencakup operasi psikologis / program perang psikologis bagi aparat penegak hukum; pelatihan tentang pengadaan intelijen; dan lokakarya dan seminar mengenai kontra-terorisme. (http://www.aseansec.org/12636.htm diakses tanggal 25 November 2010)
[11] Menurut temuan United Nations Development Programme (UNDP), kawasan yang memiliki indeks pembangunan manusia terendah memiliki kecenderungan dekat dengan kelompok-kelompok teroris. Sebab utamanya adalah bahwa warga di kawasan ini merasa tidak mendapat keuntungan dari kemakmuran yang dijanjikan oleh proses globalisasi dan akses untuk kebebasan. Antipati kepada Amerika Serikat yang dipersepsikan sebagai mesin utama proses globalisasi meningkat, lantaran menurut kelompok yang tertindas ini, AS telah membawa dampak buruk dan bahkan mengancam identitas kelompok tersebut. Alhasil AS, termasuk warga negara dan bisnis dan semua simbolnya, menjadi target perlawanan kelompok itu. Ide terorisme kemudian disebarkan dengan mudah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Secara nyata kelompok teroris di negara yang satu dengan kelompok di negara lainnya mampu membuat jaringan dengan menggunakan peralatan teknologi dari globalisasi, seraya mengabaikan adanya batas-batas negara. Bahkan dengan memanfaatkan globalisasi, kelompok terorisme mendapat kemudahan akses pendanaan, baik yang legal seperti melalui berbagai kelompok usaha dan lembaga-lembaga non-profit maupun kelompok bisnis ilegal. Tersebarnya ide terorisme dengan semua kegiatannya semakin memperluas ancaman teror.
[13] http://www.unrefugees.org/site/c.lfIQKSOwFqG/b.4950731/k.A894/What_is_a_refugee.htm
[14] Arus masuk pengungsi dari negara bagian Karen di Myanmar terus meningkat sejak Juni 2009 ketika dimulainya pertikaian kembali antara Karen National Union (KNU) dan Democratic Karen Buddhist Army (DKBA) yang didukung oleh SPDC yang mengancam keselamatan para penduduk desa dan memaksa mereka melintasi perbatasan. Para pengungsi ini telah diberi ijin menetap sementara di Thailand di bawah pengawasan angkatan bersenjata negara tersebut. Kemenangan yang telah diraih oleh DKBA tetap tidak membuat situasi di negara bagian Karen stabil ataupun aman bagi para penduduk. Daerah yang ditinggalkan oleh para pengungsi dipenuhi dengan ranjau darat dan organisasi-organisasi yang bekerja di daerah tersebut dan memberikan bantuan kepada para pengungsi telah melaporkan banyak penduduk yang terluka atau terbunuh oleh karenanya. Diakses dari http://www.aseanmp.org/wp-content/uploads/2010/02/AIPMC-karen-statement-indo-V.pdf tanggal 25 November 2010
[15] http://nasional.kompas.com/read/2009/01/30/13202615/pengungsi.myanmar.deplu.temukan.indikasi.traficking
[19] Bambang Cipto. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Pustaka Pelajar.2006.Hal.228
[20] Ibid. hal.229
[21] Ibid. hal 226
[22] Ibid.hal.226-227
[23] Ibid.hal.227
[24] Ibid. hal.234
[25] Ibid.hal.235-236
[26] Dalam pembentukan Badan HAM ASEAN, diperlukan komitmen dari negara anggota ASEAN untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai norma dan nilai bersama ASEAN (common values) sebagaimana tercantum dalam Piagam ASEAN. Komitmen tersebut harus disertai dengan dukungan nyata dari negara anggota ASEAN bagi eksistensi dan kemajuan Komisi HAM ASEAN. Tantangan riil yang harus dijawab sesegera mungkin adalah Pemilu Myanmar yang akan dilaksanakan pada tahun 2010 tanpa keikutsertaan tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi.Sumber : http://oseafas.wordpress.com/2010/06/25/pembentukan-asean-intergovernmental-on-human-right-aichr-dan-komitmen-indonesia-dalam-penegakan-ham-demokrasi-di-asia-tenggara/
[27] Pembentukan komisi HAM di ASEAN didukung sekali oleh Indonesia. Salah satu pernyataan dari Menteri Luar Negeri Indonesia 2009 lalu, Hassan Wirajuda dengan tegas menyampaikan adanya keperluan ASEAN memiliki mekanisme HAM yang kuat sehingga setiap masalah pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan melalui mekanisme HAM ASEAN sendiri. Dengan demikian, hal itu akan meminimalkan campur tangan pihak di luar ASEAN.sumber : http://www.antaranews.com/berita/1256362459/aichr-dan-penguatan-perlindungan-ham-di-asean diakses pada 20 November 2010
[28] Pada Konferensi Dunia mengenai HAM yang dilaksanakan di Wina, Austria pada 14-15 Jni 1993 yang mengesahkan Vienna Declaration and Programme of Action of the World Conference on Human Right. Dalam konferensi tersebut menegaskan perlunya mempertimbangkan kemungkinan pembentukan sebuah pengaturan ditingkat regional dan sub regional guna memajukan dan melindungi HAM apabila hal tersebut belum ada, dalam konferensi ini seluruh anggota ASEAN turut menghadiri sebagai tindak lanjut dari konferensi ini para menteri Negara-negara Asia Tenggara bertemu di Bangkok pada bulan April 1993 dan mengesahkan Deklarasi Bangkok yang menyampaikan aspirasi dan komitmen Asia Tenggara terhadap HAM.sumber : http://oseafas.wordpress.com/2010/06/25/pembentukan-asean-intergovernmental-on-human-right-aichr-dan-komitmen-indonesia-dalam-penegakan-ham-demokrasi-di-asia-tenggara/
Kepedulian Negara-negara anggota ASEAN terhadap masalah HAM yang tercermin dalam partisipasi di Konferensi Dunia tersebut, telah, menjadi dasar kesepakatan ASEAN mengenai perlunya pemberdayaan HAM di kawasan Asia Tenggara. Sebagai tindak lanjut, ASEAN kemudian mendeklarasikan keinginan untuk membentuk suatu mekanisme HAM regional. Log.cit
[29] Realisasi rencana pembentukan komisi HAM regional Association of South East Asia Nations (ASEAN) dilakukan dalam 42nd Meeting of the ASEAN Foreign Ministers di Thailand, para menteri luar negeri se-ASEAN telah menyepakati Term of Reference (TOR) pembentukan komisi yang diamanatkan oleh Pasal 14 Piagam ASEAN ini. Pada kesempatan yang sama, para Menlu juga sepakat nama komisi yang digunakan adalah ASEAN Inter-Governmental Commission on Human Rights (AICHR). Keputusan Menlu-Menlu ASEAN ini akan memberi kontribusi menuju penguatan Komunitas ASEAN. Demokrasi dan HAM adalah dua prinsip dasar yang dijaga di dalam Piagam ASEAN dan kita sekarang mengambil langkah-langkah menuju pemenuhan prinsip-prinsip tersebut untuk bangsa ASEAN. Setelah TOR disepakati, langkah berikutnya adalah masing-masing negara anggota ASEAN menunjuk perwakilan untuk hadir dalam acara pendeklarasian AICHR. Rencananya, deklarasi akan digelar pada 15th ASEAN Summit di Phuket, Thailand pada 23-25 October 2009. Log Cit
Menurut Rafendi,sebagai wakil dari Indonesia, kerja komisi AICHR ini terbatas. Komisi, katanya, tidak dapat memberikan sanksi atas pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara dan pembahasan masalah HAM hanya dapat dilakukan dalam tingkat dialog.
Prinsip kerja komisi ini sama dengan prinsip ASEAN yakni konsensus. Bagaimanapun juga, pembentukan komisi ini merupakan langkah maju dari ASEAN untuk mewujudkan salah satu tujuannya yaitu memperkuat demokrasi, meningkatan tata kepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak dan kewajiban negara-negara anggota ASEAN yang sebelumnya pembahasan terhadap HAM ini dianggap’tabu’.

0 komentar:

Posting Komentar