Cari Blog Ini

Partisipasi Indonesia dalam Misi Perdamaian PBB di Republik Demokratik Kongo, Kontingen Garuda XX / MONUSCO, 2005-2011

Ujian Akhir Semester Metodologi Penelitian Hubungan Internasional

Nama : Azmi Muharam

NIM : 108083000006

Prodi/Kelas : Hubungan Internasional / VI B

Partisipasi Indonesia dalam Misi Perdamaian PBB di Republik Demokratik Kongo,

Kontingen Garuda XX / MONUSCO, 2005-2011

I. Pendahuluan

Kondisi misi perdamaian PBB saat ini sedang mencapai tahap tertinggi, terutama pada periode pasca Perang Dingin yang telah ditandai oleh peningkatan besar jumlah misi perdamaian. Pada era Perang Dingin tidak ada lebih dari lima misi perdamaian PBB yang beroperasi. Pada akhir 2008, ada dua puluh dua misi perdamaian yang beroperrasi bersamaan diseluruh dunia. Jumlah personel di lapangan meningkat drastis dari tiga puluh tentara pada tahun 1947 menjadi hampir delapan puluh sembilan ribu di 2008.[1]

Pada tahun 2010 Indonesia menempati peringkat 17 negara penyumbang terbesar misi perdamaian dengan jumlah personil sebanyak 1.618. Salahsatu misi perdamaian terbesar Indonesia ialah KONGA (Kontingen Garuda) XX sebagai pasukan misi perdamaian MONUSCO (United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo) dalam proses perdamaian di Perang Kongo Kedua di DRC (Democratic Republic of the Congo). Hal ini merupakan suatu rumusan kebijakan luar negeri yang tepat untuk Indonesia kontemporer.

Istilah peacekeeping sendiri sebenarnya tidak tercantum dalam piagam PBB. Karena tidak ada bab dalam Piagam PBB yang menjelaskan definisi peacekeeping secara jelas, Sekjen PBB ke-2 Dag Hammarskjold merujuk peacekeeping sebagai ‘Chapter Six and a Half’, sebab posisinya dipandang berada diantara Bab VI dari piagam PBB, yang merupakan metode tradisional PBB dalam menyelesaikan konflik melalui cara-cara damai (peaceful settlement of dispute), antara lain melalui negosiasi dan mediasi, dengan antara metode penggunaan kekuatan secara paksa (force enforcement) sesuai dengan mandat yang diberikan oleh Bab VII dari piagam PBB. [2]

II. Pertanyaan Penelitian

1. Mengapa indonesia berpartisipasi dalam misi perdamaian PBB di DRC ?

2. Bagaimana pengaruh partisipasi Indonesia dalam misi perdamaian PBB di DRC, bagi domestik Indonesia, DRC dan dunia ?

III. Kerangka Pemikiran

Untuk menjelaskan masalah yang ada, maka penulis akan menggunakan pendekatan kebijakan luar negeri dan pendekatan resolusi konflik. Berdasarkan pendekatan-pendekatan ini diharapkan dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk menjelaskan permasalahan yang ada.

A. Pendekatan kebijakan luar negeri

Partisipasi Indonesia dalam misi perdamaian PBB di DRC merupakan Kebijakan luar negeri, sebab hal itu ialah strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainya dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional. Untuk memenuhi kepentingan nasional tersebut, Indonesia dan aktor hubungan internasional lain melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional dan multilareral. [3]

Tujuan kebijakan luar negeri sebenarnya adalah fungsi dari tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. Tujuan kebijakan luar negeri dirancang, dipilih dan ditetapkan oleh pembuat keputusan serta dikendalikan untuk mengubah kebijakan (revisinist policy) atau mempertahankan kebijakan (status quo policy) ihwal kenegaraan tertentu di lingkungan internasional.

Menurut K.J. Holsti, kriteria dalam mengklasifikasi tujuan kebijakan luar negeri ada tiga kriteria yaitu, pertama, Nilai (values), yakni apakah terdiri atas kepentingan nasional yang core/ basic/ vital interest atau secondary interest. Kriteria kedua, jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, yakni apakah jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang, Kriteria ketiga, tipe tujuan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.[4]

Dalam menjelaskan tujuan partisipasi indonesia dalam misi perdamaina PBB di DRC maka penulis tertarik untuk menyandingkan dengan klasifikasi tujuan kebijakan luar negeri pada klasifikasi kedua yaitu berdasarkan jangka waktu. Masalah pokok yang membedakan antara tujuan jangka pendek, jangka menegah dan jangka panjang tidak hanya terbatas pada soal waktu saja tetapi juga menyangkut masalah ruang lingkup atau cakupannya. [5]

Menurut Holsti, kriteria jangka waktu dapat dimengerti sebagai berikut :

· Tujuan jangka pendek adalah dengan perlindungan diri dari unit-unit politik lain,

· Tujuan jangka menengah dibedakan dalam tiga kategori yaitu :

Kategori pertama, usaha pemerintah untuk mengetahui keinginan serta kebutuhan masyarakatnya baik secara kesuluruhan maupun secara privat melalui tindakan-tindakan yang bersifat internasional. Dewasa ini, setiap pemerintahan di dunia pada umumnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan pertambahan ekonomi dinegaranya.

Kategori kedua, usaha pemerintah untuk meningkatkan prestise negaranya. Biasanya dilakukan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, kemampuan militer, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di negara sedang berkembang biasanyan peningkatan prestise negara mengalami banyak hambatan terutama dalam usaha peningkatan standar standar hidup masyarakat melaului pembangunan ekonomi. Sedangkan di negara maju yang pertumbuhan ekonominya telah mencapai taraf tinggi, tujuan jangka menengah berupa peningkatan prestise negara dimata internasional biasanya dilakukan melalui peningkatan kemampuan militer dan peningkatan bantuan ekonomi dengan tujuan memperluas pengaruhnya kepada negara lain serta segi lain yang ditingkatkan adalah hubungan diplomatik, pameran kekuatan militer dan industri serta peningkatan ilmu pengetahuan.

Kategori ketiga, yaitu sejumlah bentuk perluasan pengaruh yang lazim disebut imperialisme. Bentuk perluasan pengaruh tersebut berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lain sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Beberapa negara menuntut negara tetangganya apabila kawasan disekitar negara tersebut tidak aman. Perluasan pengaruh juga dapat dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan di bidang ekonomi dan sosial juga masalah wilayah yang strategis. [6]

· Tujuan jangka panjang adalah menyangkut perencanaan untuk melakukan reorganisasi seluruh dunia dengan jalan membangun militer yang kuat dan menghancurkan negar-negara revolusioner melalui kekerasan perang.[7]

Berdasar buku putih kementerian pertahanan RI, partisipasi Indonesia dalam misi perdamaian merupakan amanat UUD 1945 kepada pemerintah dan rakyat Indonesia untuk ikut aktif mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sejak keikutsertaan Indonesia pertama kali dalam kontingen PBB, yakni di dalam tugas misi perdamaian di Mesir tahun 1957 (UNEF 1957), Indonesia terus mengambil bagian dalam memperkuat kontingen PBB untuk tugas-tugas pengawasan perdamaian, gencatan senjata, perlindungan keamanan dan keselamatan, serta bantuan kemanusiaan. Sampai dengan saat ini Indonesia telah mengirimkan 43 KONGA dengan total kekuatan mencapai 18.381 personel, ke lebih dari 20 negara yang tersebar di tiga benua, yakni Asia, Afrika, dan Eropa.[8]

Keterlibatan Indonesia dalam membangun stabilitas dan perdamaian dunia yang diwujudkan melalui pengiriman misi perdamaian di bawah bendera PBB ke sejumlah negara di berbagai kawasan yang dilanda konflik merupakan sumber utama kebijakan luar negeri berdasar domestic context dengan tujuan meningkatkan prestise dan memperkuat pengaruh Indonesia dalam kerjasama multilateral.

Henry Kissinger, seorang akademisi dan politikus Amerika Serikat mengatakan sebuah istilah mengenai kebijakan luar negeri yaitu “foreign policy begins when domestic policy ends”. Hal ini mengindikasikan sebuah integrasi aspek-aspek domestik dengan aspek-aspek eksternal dalam sebuah kebijakan luar negeri. Oleh karena itu, pilihan kebijakan luar negeri Indonesia di DRC merupakan sebuah formulasi berbagai aspek, baik domestik maupun ekternal. K.J. Holsti merinci dua faktor utama yakni External / Systemic Factor dan The Domestic Context sebagai berikut : [9]

a. External / Systemic Factor meliputi : Struktur Sistem, Karakteristik / Struktur ekonomi dunia, Tujuan dan aksi aktor lain, Masalah global dan regional, serta Hukum Internasional dan opini dunia

b. The Domestic Context meliputi : Sosioekonomik / kebutuhan keamanan, Karakter geografis dan topografi, Atribut nasional, Struktur pemerintah / filosfi, Opini publik, Birokrasi, serta Kebijakan etnis

James N. Rosenau dalam ‘World Politics: An Introduction’ mengutarakan sumber-sumber utama dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dengan lebih ringkas yang meliputi :[10]

· Sumber sistemic (systemic sources), merupakan sumber yang berasal dari lingkungan eksternal suatu negara. Sumber ini menjelaskan struktur hubungan antara negara-negara besar, pola aliansi yang terbentuk antara negara-negara dan faktor situasional eksternal yang dapat berupa isu area atau krisis.

· Sumber masyarakat (societal sources), merupakan sumber yang berasal dari lingkungan internal. Sumber ini mencakup faktor kebudayaan dan sejarah, pembangunan ekonomi, struktur sosial dan perubahan opini publik.

· Sumber pemerintah (governmental sources), merupakan sumber internal yang menjelaskan tentang pertanggung jawaban politik dan struktur dalam pemerintahan. Pertanggung jawaban politik seperti pemilu, kompetisi partai dan tingkat kemampuan dimanan pembuat keputusan dapat secara fleksibel merespon situasi eksternal.

· Sumber idiosinkretik (idiosyncratic sources) merupakan sumber internal yang melihat nilai-nilai pengalaman, bakat serta kepribadian elit politik yang mempengaruhi persepsi, kalkulasi dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar negeri.

B. Pendekatan Resolusi Konflik

Studi tentang resolusi konflik muncul ketika era perang dingin, dimulai pada sekitar tahun 1950-an pada saat pengembangan senjata nuklir dan konflik antara Negara superpower yang ketika itu mengancam kelangsungan hidup masyarakat internasional. Beberapa dari grup akademisi melihat bahwa studi konflik merupakan sebuah fenomena umum yang dapat terjadi di kondisi Negara anarki, yang saling berkompetisi baik dalam politik domestik dari sebuah Negara, hubungan internasional antar Negara, maupun konflik antar individu. Mereka berpendapat dalam menyelesaikan konflik itu dibutuhkan adanya resolusi konflik sebagai bentuk mediasi dari konflik tersebut.[11]

Dalam menjelaskan resolusi konflik Perang Kongo Kedua di DRC, penulis akan menggunakan analisa konflik multi disipliner Johan Galtung. Ilmuwan studi konflik dari Skandinavia ini memanfaatkan pendekatan multidisipliner yang dalam hal ini berarti pendekatan analisi konflik tidak hanya berpijak pada satu metodologi dan teori, tetapi merupakan campuran dari disiplin psikologi, hubungan internasional dan ekonomi. Pijakan dasar analisis konflik multidisipliner Johan Galtung adalah kebutuhan analisis.

Salah satu sumbangan sosiologi konflik Galtung ialah memperlihatkan berbagai individu, kelompok dan organisasi yang membawa angka kepentingannya masing-masing. Kepentingan bisa berwujud dalam bentuk ekonomis maupun politis. Dua kelompok sosial dengan kepentingan ekonomis dalam satu lingkungan yang sama, misalanya dua kelompok pedagang di pasar, masing-masing menciptakan persepsi terhadap kepentingan kelompok luarnya. Proses ini akan membawa pada bentuk perilaku-perilaku tertentu yang menciptakan kontradiksi dan situasi ketegangan.[12]

Johan Galtung menggunakan segitiga konflik Galtung sebagai bukti multidisiplinernya, salahsatu segitiga konflik Galtung berbicara mengenai proses resolusi konflik secara fokus yang terdiri dari :[13]

· Peace Keeping, yaitu Model resolusi konflik Peace Keeping adalah sebuah model proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral.

· Peacemaking yaitu proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan.

· Peacebuilding, yaitu proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative peace (the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.[14]

Berdasarkan hukum internasional, Penyelesaian sengketa (dipute settlement) merupakan tema penting yang tidak dapat diabaikan. Disatu pihak, penyelesaian persengketaan dapat memperlihatkan bukti efektifitas penerapan hukum internasional, dan diihak lain juga dapat memperlihatkan peran PBB sebagai salah satu institusi yang autoritatif dalam mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia. Sebagaimana dinyatakan dalam piagam PBB pasal 1 (1) semua upaya penyelesaian pertikaian damai merupakan cermin prinsip utama hukum internasional.[15]

Namun dalam hukum internasional tidak dinyatakan secara jelas tentang cara atau metode apa yang disebut sebagai cara-cara yang damai. Cara-cara penyelesaian damai hanya didasarkan semata-mata persetujuan dari kesemua pihak secara sukarela. Sebagai implikasinya, dalam hukum internasional terdapat berbagai cara yang tersedia untuk mengakomodasi keinginan dari negara-negara sekaligus sebagai bentuk fleksibilitas dari hukum internasional, termasuk hingga penyelesaian sengketa dengan menggunakan kekerasan dalam hukum internasional, seperti operasi peace keeping.[16]

Menurut John T. Rourke dalam ‘International politics in the world stage’, misi perdamaian melalui organisasi internasional bukanlah ide baru. Immanuel Kant pada dua abad yang lalu telah merumuskan Idea for a Universal History from Cosmopolitan Point Of View (1784). “Melalui perang, melalui pajak dan akumulasi pelucutan senjata yang tak pernah berhenti, setelah kehancuran, revolusi dan bahkan kelelahan yang lengkap”, Kant memprediksi hakikat manusia menggiring masyarakat dengan alasan yang bias mengatakan kepada mereka di awal yakni setiap masyarakat harus melangkah dari kondisi tanpa hukum yang liar kepada liga bangsa-bangsa demi mengamankan perdamaian.[17]

Ide ini telah berevolusi pada penggunaan misi perdamaian dalam struktur internasional oleh Concert of Europe, Liga bangsa-bangsa, North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan PBB. Poin yang penting yang akan dibahas penulis ialah PBB sebagai organisasi global. Misi perdamaian telah terbukti menjadi salah satu alat yang paling efektif yang tersedia di dunia untuk membantu negara tuan rumah menavigasi jalan yang sulitdari konflik ke perdamaian

Misi perdamaian memiliki kekuatan unik, termasuk legitimasi, berbagi beban, dan kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan tentara dan polisi dari seluruh dunia, mengintegrasikan mereka dengan pasukan penjaga perdamaian sipil untuk memajukan mandat multidimensi. Misi perdamaian PBB memberikan keamanan dan dukungan politik dan perdamaian untuk membantu negara-negara membuat transisi, membantu kesulitan awal dari konflik menuju perdamaian.

Akhirnya Pengaruh kebijkan luar negeri Indonesia dalam misi perdamaian PBB di DRC, bagi domestik Indonesia akan membawa Indonesia mencapai kepentingan nasional seperti meningkatkan prestise dan memperkuat pengaruh Indonesia dalam kerjasama multilateral. Adapun pengaruh kebijakan luar negeri Indonesia bagi DRC dan dunia akan mencapai perdamaian apabila dipandu oleh tiga prinsip dasar perdamaian PBB yaitu persetujuan para pihak, ketidak berpihakan, Non-penggunaan kekuatan kecuali dalam membela diri dan pertahanan dari mandat.

Ukuran keberhasilan suatu misi perdamaian dapat dilihat dari kondisi negara yang tengah dilanda konflik. Kehadiran misi perdamaian seharusnya dapat mencegah terjadinya kembali konflik. Oleh karena itu, dimensi post conflict peace building perlu dipertimbangkan sejak awal penggelaran pasukan perdamaian. Dalam hal ini, peranan Peacebuilding Commission (PBC) dalam menyusun mandat dari suatu misi perdamaian dapat lebih ditingkatkan.[18]



[1] Arturo C. Sotomayor, Why Some States Participate in UN Peace Missions While Others Do Not”, Security Studies, vol 19, 2005, hal. 160

[3] Perwita, A.A Banyu dan Yani, Yanyan Mohammad, “Pengantar Ilmu Hubungan internasional”, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2006, hal. 51

[4] Ibid, hal. 53

[5] K. J. Holsti, “Politik Internasional, Kerangka Analisa”, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya , 1987, hal. 190

[6] Ibid, hal. 190

[7] Ibid, hal, 192

[8] Kementerian Pertahanan, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, ebook diunduh dari kemenhan.go.id. Hal. 152

[9] K. J. Holsti, “International Politics, A Framework for Analysis”, USA : Prentice Hall Intl, 1992, hal. 284

[10] Perwita, A.A Banyu dan Yani, Yanyan Mohammad, “Pengantar Ilmu Hubungan internasional”, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2006, hal. 57

[11] Oliver Rambotsham,at.al, “Conflict Resolution, Second Edition”, USA: Polity Press, 2005. Hal. 33

[12] Novri Susan M.A, “Sosiologi Konflik & Isu-isu konflik kontemporer”, Jakarta: Kencana press, 2009. Hal. 82

[13] Ibid. Hal. 121

[14] Oliver Rambotsham,at.al, “Conflict Resolution, Second Edition”, USA: Polity Press, 2005. Hal. 15

[15] Jawahir Thotowi, Pranoto Iskandar, “Hukum Internasional Kontemporer”, Bandung : Refika Aditama, 2006, hal. 223

[16] Ibid.223

[17] John T. Rourke, “international politics on the world stage”, NYC: Mc Graw Hill, 2004, hal. 360

0 komentar:

Posting Komentar