Cari Blog Ini

hakim. humanitarian intervention somalia

I. Pendahuluan

I.1. Latar Belakang
Salah satu bentuk kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) pasca Perang Dingin adalah menjalankan kebijakan intervensi kemanusiaan (Humanitarian Intervention). Konsep kebijakan ini diajukan oleh Presiden AS, Herbert Walker Bush pada masa pemerintahannya di hadapan Kongres AS pada 11 September 1990. Kerangka pemikiran kebijakan yang diajukan oleh Presiden H.W. Bush terangkum dalam kebijakan yang disebut “New World Order”. Secara garis besar, kebijakan tersebut menyatakan bahwa tatanan dunia yang baru adalah dunia yang bebas dari ancaman terror, menjunjung tinggi keadilan, dunia yang lebih aman bagi perdamaian, dunia dimana bangsa-bangsa baik timur&barat, utara&selatan dapat hidup dalam harmoni. Termasuk juga collective security dengan melibatkan kerjasama multinasional.
Implementasi dari gagasan “New World Order” yang diajukan oleh H.W. Bush adalah mengirim pasukan AS untuk membantu Somalia mengatasi krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di negaranya. Krisis kemanusiaan yang terjadi di Somalia awalnya disebabkan karena perang sipil antara faksi yang mendukung Presiden Ali Mahdi Mohamed dan faksi yang mendukung Jenderal Mohamed Farah Aidid pada Januari 1991. Hanya berselang 11 bulan kemudian, jumlah kematian mencapai 300.000 nyawa, sekitar 5 juta penduduk terancam menderita kelaparan, dan hampir 1.5 juta penduduk hidup dalam kondisi lingkungan yang mengancam keselamatan jiwanya. Sehingga, jutaan penduduk Somalia berbondong-bondong mencari tempat pengungsian ke Negara-negara tetangga.
Pada bulan November, Bush mengirim pasukan ke Somalia. Bush memutuskan bahwa jika Negara-negara mengirim pasukan dan DK PBB memberikan legitimasi, maka AS akan memimpin intervensi kemanusiaan multinasional ke Somalia. Pada 3 Desember 1992, DK PBB mengeluarkan Resolusi 794 yang mengesahkan intervensi kemanusiaan di Somalia dibawah kepemimpinan AS, yang dinamakan “Operation Restore Hope”. Pada mulanya, kebijakan Bush untuk melakukan intervensi kemanusiaan di Somalia dianggap berhasil karena telah menyelamatkan ribuan nyawa dan memberikan bantuan kemanusiaan terhadap penduduk Somalia. Tetapi, setelah terjadi pergantian Presiden di AS, H.W. Bush digantikan oleh William Jefferson Clinton, Clinton memutuskan untuk menarik mundur pasukan AS dari Somalia pada Oktober 1993 setelah 18 pasukan AS tewas di Mogadishu, ibukota Somalia.

I.2. Pertanyaan Penelitian
Mengapa Amerika Serikat menjalankan kebijakan Intervensi Kemanusiaan di Somalia pada tahun 1991?



















II. Kerangka Teori

Kebijakan pemerintah AS pada masa Presiden H.W. Bush untuk melakukan intervensi kemanusiaan menimbulkan berbagai tanggapan karena terdapat dilemma antara nilai-nilai kemanusiaan yang memunculkan tanggung jawab untuk melindungi (Responsibility to Protect) dengan prinsip Sovereignty. Oleh sebab itu, timbul pertanyaan mengapa pemerintah AS melakukan intervensi kemanusiaan di Somalia meskipun sebenarnya terdapat dilemma. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang prinsip-prinsip dasar yang membuat masyarakat internasional melakukan intervensi kemanusiaan.
Menurut R.J. Vincent, intervensi diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh negara, sekelompok negara, dan organisasi internasional yang dimaksudkan untuk mencampuri urusan domestik negara lain. Secara tradisional, berarti intervensi merupakan sebuah pelanggaran terhadap kedaulatan suatu negara. Definisi Vincent mengenai intervensi tersebut tidak menawarkan pendapat yang pasti mengenai legalitasnya, sehingga hal ini menimbulkan kontroversi dalam kaitannya dengan intervensi kemanusiaan. Beberapa pakar hukum internasional menganggap bahwa intervensi kemanusiaan merupakan tindakan illegal dengan merujuk pada pasal 2(4) Piagam PBB, karena dalam pasal ini diatur mengenai non-intervention. Sedangkan beberapa pakar berpendapat bahwa ada hak legal untuk bertindak secara unilateral maupun kolektif untuk melakukan intervensi kemanusiaan dengan merujuk pada alasan moral.
Untuk melihat apa yang mendasari perdebatan mengenai intervensi kemanusiaan dapat merujuk pada perdebatan antara Pluralisme dan Solidarisme. Dalam konsep Pluralisme, masyarakat internasional mempercayai bahwa hanya negara yang bisa membuat perjanjian dan saling menghormati kedaulatan dengan berpegang pada prinsip non-intervention. Pluralis berpandangan pesimis terhadap sebuah intervensi karena menurutnya jika negara melakukan intervensi bukan untuk alasan kemanusiaan melainkan untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Oleh sebab itu, negara-negara sebaiknya tidak mengurusi urusan negara lain. Apapun yang terjadi di sebuah negara merupakan tanggung jawab negara tersebut, yang seharusnya menjadi perhatian Negara adalah keteraturan international (international order) dalam struktur yang anarki.
Sedangkan Solidarisme berpendapat bahwa negara memiliki hak legal dan tanggung jawab moral untuk melakukan intervensi dalam kondisi dimana sedang terjadi krisis kemanusiaan (genosida, pembunuhan, dan kekerasan fisik lainnya). Tanggung jawab moral ini merupakan bentuk solidaritas negara-negara yang merupakan bagian dari komunitas internasional untuk membantu sebuah negara yang sedang mengalami krisis kemanusiaan. Tanggung jawab moral ini yang kemudian diimplemetasikan dengan intervensi kemanusiaan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak fundamental setiap individu.
Pada dasarnya, Para pemerintah telah mengesahkan bahwa ‘kedaulatan sebagai pertanggungjawaban’ yang ditunjukkan dengan kecenderungan untuk melindungi warga sipil yang berada dibawah pemerintahannya. Kedaulatan ini yang akan membawa tanggung jawab bagi Negara untuk melindungi setiap warganegaranya. Tetapi, menurut Solidaris jika Negara tidak sanggup melindungi warga negaranya, maka masyarakat internasional bertanggungjawab untuk membantu negara tersebut dan menerima tanggungjawab darinya. Atas dasar inilah akhirnya istilah mengenai Responsibility to Protect dicetuskan oleh International Commision on Intervention and State Sovereingty (ICISS) pada laporannya tahun 2001.
Prinsip dasar dari Responsibility to Protect adalah, Negara tuan rumah yang menerima bantuan mengakui tanggung jawab utamanya adalah memberikan kesejahteraan untuk warganya. tetapi ketika banyak penduduk menderita kerugian yang serius sebagai akibat dari perang sipil, pemberontakan, penindasan dan negara tidak sangup memenuhi tanggungjawab untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan kepada warganya, maka campur tangan (intervensi) bisa menjadi pertimbangan.





III. Pembahasan

Kebijakan AS untuk melakukan intervensi kemanusiaan didasari pada gagasan Presiden AS, H.W. Bush mengenai New World Order. Gagasan ini diajukan oleh Presiden Bush di hadapan Kongres AS pada 11 September 1990. Dalam gagasan tersebut, Bush mengharapkan tatanan dunia yang baru adalah dunia yang bebas dari ancaman terror, dunia yang lebih aman bagi perdamaian dan dunia yang lebih aman bagi perdamaian.
Tujuan dari intervensi kemanusiaan yang dilakukan AS adalah untuk membantu Somalia mengatasi krisis kemanusiaan yang sedang melanda negaranya. Keinginan AS membantu Somalia dalam hal intervensi kemanusiaan ini disebabkan karena Somalia tidak mampu mengatasi krisis yang sedang terjadi.
Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, AS mengirimkan pasukan ke Somalia pada bulan November 1990, yang bertujuan untuk mengurangi kekerasan fisik yang sedang terjadi antara faksi yang sedang bertikai di Somalia. AS memiliki legitimasi untuk memimpin intervensi kemanusiaan tersebut setelah DK PBB mengeluarkan Resolusi 794 pada 3 Desember 1992 yang dinamakan dengan Operation Restore Hope.
Kebijakan intervensi kemanusiaan yang dijalankan oleh pemerintah AS pada masa H.W. Bush merupakan bentuk dari implementasi konsep Solidarisme. Karena, dalam konsep Solidarisme menyatakan bahwa negara-negara memiliki tanggung jawab moral untuk membantu sebuah negara yang sedang mengalami krisis kemanusiaan. Tanggung jawab moral ini yang kemudian diimplemetasikan oleh AS dengan bentuk intervensi kemanusiaan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak fundamental (hak untuk hidup, hak untuk bebas dari rasa takut) masyarakat Somalia yang terancam karena krisis kemanusiaan yang sedang terjadi.
Selain itu, kebijakan untuk melakukan intervensi kemanusiaan juga dipengaruhi oleh gagasan H.W.Bush tentang New World Order. Karena, kondisi Somalia pada saat itu yang sedang mengalami krisis kemanusiaan sebagai akibat dari perang sipil yang terjadi di negaranya, maka AS merasa memiliki tanggung jawab untuk memberi bantuan kepada penduduk Somalia. Gagasan New World Order menjadi dasar bagi AS untuk melakukan intervensi kemanusiaan karena dalam gagasan tersebut menginginkan dunia yang bebas dari ancaman terror dan dunia yang bebas dari ancaman. Maka dengan didasarkan atas keinginan untuk menciptakan tatanan dunia yang baru, Bush memutuskan untuk melakukan intervensi kemanusiaan untuk membantu Somalia mengatasi masalah krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di negaranya dan memulihkan keadaan di Somalia.
Akan tetapi, setelah terjadi pergantian Presiden di AS, Herbert Walker Bush digantikan dengan William Jefferson Clinton, Presiden Clinton memutuskan untuk menarik mundur pasukan AS dari Somalia. Pada saat kepemimpinan Clinton, ketika intervensi kemanusiaan yang sedang dilakukan AS bereskalasi menjadi aktifitas militer dan pasukan AS mulai terlibat dalam kontak militer dengan faksi-faksi yang sedang bertikai di Somalia, maka pada Oktober 1993, Presiden Clinton mengusulkan untuk menarik mundur pasukan dan Kongres menyetujui usulan tersebut. Padahal, tujuan intervensi kemanusiaan AS yang dilakukan pada masa pemerintahan Bush bisa dikatakan cukup ideal karena berhasil membantu menyelamatkan jutaan nyawa penduduk Somalia dari ancaman perang saudara yang sedang terjadi. Meskipun begitu, Clinton melakukan kebijakan yang berbeda, ia memutuskan untuk menarik mundur pasukan AS setelah 18 pasukan AS tewas di Mogadishu, ibukota Somalia.
Kebijakan Clinton untuk menarik mundur pasukan AS karena dipengaruhi oleh Doktrin Clinton yang disebut Doctrine of Enlargement and Policy Successes. Dalam doktrin tersebut, terdapat anggapan yang menyatakan bahwa intervensi kemanusiaan dalam situasi krisis sebaiknya dilakukan secara multirateral dan dengan pertimbangan yang rasional (maksudnya adalah ketika AS memutuskan untuk melakukan intervensi kemanusiaan, AS juga harus melihat apakah resiko yang ditimbulkan tidak terlalu besar dan biaya yang dikeluarkan tidak terlalu mahal).
Berdasarkan pertimbangan tersebut yang terdapat dalam doktrin Clinton, maka bisa dipahami mengapa pemerintah AS pada masa Clinton memutuskan untuk menarik mundur pasukan AS dari Somalia. Kebijakan pemerintah AS tersebut dilakukan karena mempertimbangkan bahwa resiko yang ditimbulkan dari kebijakan AS untuk intervensi kemanusiaan terlalu besar. Selain itu, anggaran yang harus ditanggung oleh pemerintah AS juga tidak sedikit. Berdasarkan data, pasukan AS yang tewas di Somalia mencapai 44 jiwa, dan sekitar 175 jiwa dirawat terpisah karena mengalami masa kritis. Selain resiko kematian, anggaran yang harus ditanggung pemerintah AS ketika melakukan intervensi kemanusiaan mencapai 2 miliar U$D. Oleh sebab itu, dibawah kepemimpinan Presiden Clinton kebijakan AS untuk melakukan intervensi lebih cenderung bersifat multilateralisme, sehingga beban resiko dapat ditanggung bersama.
Dalam hal ini, kebijakan AS untuk menarik mundur pasukan cenderung berdasarkan pada gagasan Pluralisme yang menyatakan bahwa sebuah negara melakukan intervensi bukan karena alasan kemanusiaan melainkan untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Hal ini dapat dipahami karena ketika pasukan AS sudah terperangkap dalam situasi darurat dimana intervensi yang terjadi sudah bereskalasi menjadi aktifitas militer, maka berdasarkan pertimbangan rasional seperti yang terdapat dalam doctrine of enlargement keputusan yang seharusnya diambil adalah dengan melibatkan negara-negara lain untuk melakukan aksi kolektif dalam menjalankan intervensi kemanusiaan di Somalia. Karena, apabila AS tetap bertindak secara unilateralisme, maka akan membawa resiko yang besar dan harus menanggungnya sendiri. Hal ini tentunya bukan merupakan keinginan AS dalam melakukan intervensi kemanusiaan di Somalia. Tujuan AS melakukan intervensi kemanusiaan di Somalia adalah untuk mewujudkan gagasan mengenai tatanan dunia baru yang mengharapkan dunia yang bebas dari ancaman terror dan dunia yang lebih aman bagi perdamaian. Apabila tujuan-tujuan ini berpotensi sulit untuk dicapai, maka pilihan lainnya adalah mempertimbangkan kebijakan alternatif untuk menarik mundur pasukan.



IV. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan di atas, maka bisa dilihat bahwa kebijakan pemerintah AS pada masa Presiden H.W.Bush untuk melakukan intervensi kemanusiaan di Somalia adalah karena alasan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas sebagai bagian dari komunitas internasional. Alasan ini bisa dipahami karena kondisi Somalia pada saat itu yang sedang mengalami krisis kemanusiaan. Sehingga, banyak pihak yang menganggap kebijakan H.W.Bush untuk melakukan intervensi kemanusiaan cukup ideal.
Akan tetapi, meskipun kebijakan Presiden Bush untuk melakukan intervensi kemanusiaan dianggap berhasil, pada masa Clinton kebijakan tersebut dianggap tidak popular. Karena pada masa Clinton, Ia mengeluarkan doktrin Enlargement and Policy Sucessesses. Doktrin tersebut berisi pandangan yang menyatakan bahwa sebuah kebijakan untuk melakukan intervensi kemanusiaan pada saat krisis harus mempertimbangkan alasan-alasan rasional (pertimbangan bahwa kebijakan tersebut beresiko kecil dan tidak memerlukan dana yang cukup banyak). Oleh sebab itu, kebijakan Clinton untuk menarik pasukan dianggap sebagai keputusan yang tepat. Hal ini dapat dipahami, karena kebijakan AS untuk melakukan intervensi kemanusiaan di Somalia memiliki resiko yang besar, dan anggaran yang dikeluarkan AS juga tidak sedikit. Meskipun pasukan AS ditarik dari Somalia, dalam doktrin Enlargement and Policy Sucessesses, alternative lain yang harus dilakukan ketika melakukan intervensiyang berisi adalah melakukannya secara mutirateral, sehingga tanggung jawab untuk melakukan sebuah intervensi kemanusiaan bukan tugas AS sendiri.










Daftar Pustaka

Baylis,John & Smith,Steve (2006). The Globalisation of World Politics: an Introduction to Internasional Relation. Oxford University Press.

Wittkopf, Eugene R. et, all (2008). American Foreign Policy (Pattern and Process). Thomson Wadsworth: California

Synopsis. The Responsibility to Protect : Core Principles.

Garis besar kebijakan Presiden Amerika H.W. Bush ini diakses melalui http://millercenter.org/president/bush/essays/biography/5 dengan judul American President, an online reference resource. George Herbert Walker Bush: Foreign Affairs, pada 11 April 2011

Garis besar kebijakan Presiden Amerika W. J. Clinton ini diakses melalui http://millercenter.org/president/clinton/essays/biography/5 dengan judul William Jefferson Clinton: Foreign Affairs. American President, an online reference resource, pada 11 April 2011


Glanville, Luke. Somalia Reconsidered: An Examination of the Norm of Humanitarian Intervention. Diakses melalui http://www.jha.ac/articles/a178.pdf pada 11 April 2011

Shibata, Makalena Y. a Case Study on the U.S Policy in Humanitarian Intervention: Somalia, Rwanda, and Liberia. Diakses melalui https://www.afresearch.org/skins/rims/display.aspx?rs=enginespage&ModuleID=be0e99f3-fc56-4ccb-8dfe-670c0822a153&Action=downloadpaper&ObjectID=0b12f4c2-d000-46c9-b231-180d6cefe339 pada 11 April 2011

0 komentar:

Posting Komentar